Kamis, 24 Desember 2009

Curhat Soal Warisan Orangtua


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:

1. Almarhum ayah saya

2. Puteri (hilang akal sehat)

3. Puteri (bibi)

4. Putera (paman)

5. Puteri (anak pungut)

Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?

Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.

Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:

· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.

· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.

· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.

· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.

Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.

Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.

Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:

1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?

2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?

3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?

4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?

Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

D - ……

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.

Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?

Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.

Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:

- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak

- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.

2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.

2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.

3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.

Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam…

Source: www.mediasilaturahim.com

Senin, 21 Desember 2009

Kedudukan dan Hakikat Hijrah

Oleh: Nashruddin Syarief

Penetapan hijrah sebagai patokan awal kalender Islam di masa kekhilafahan ‘Umar ibn al-Khaththab mengisyaratkan pentingnya kedudukan hijrah dalam sejarah perjuangan Islam.[1] Karena memang pada faktanya hijrah ke Madinah bukanlah sebentuk mencari suaka politik seperti halnya hijrah ke Habasyah yang dilakukan oleh para shahabat atas instruksi Nabi saw. Hijrah ke Madinah adalah sebentuk proklamasi kemerdekaan Islam di atas wilayahnya sendiri dengan kekuasaan penuh untuk mengendalikan dakwah dan syari’at Allah swt. Dengan hijrah kaum Muslimin mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengatur dirinya sendiri dan menahan setiap gangguan yang datang dari luar.

Hijrah adalah sebuah pilihan sadar untuk lebih memilih Allah dan Rasul-Nya dibanding dunia yang sudah dimiliki. Dia dengan sendirinya mensyaratkan keimanan yang tinggi. Mengaku beriman tapi tidak mau hijrah merupakan isyarat bahwa ia masih menomorduakan Allah dan Rasul-Nya. Lihat bagaimana pengorbanan kaum Muhajirin dengan apa yang mereka tempuh. Mereka meninggalkan keluarga dan kerabat hanya karena tidak mau menanggalkan Islam seperti dikehendaki penguasa. Rumah mereka yang lengkap dengan semua perabotnya rela mereka tinggalkan hanya karena ingin beragama dengan benar. Usaha mereka yang sudah puluhan tahun digeluti dan menghasilkan pendapatan yang mencukupi pun dengan ikhlas mereka tinggalkan, hanya karena tidak mau tunduk kepada penguasa kafir. Status mereka yang semula kaya, rela dikorbankan menjadi miskin. Jika semula mereka hidup mapan di Makkah, maka dengan hijrah mereka siap menjalani hidup sebagai pengungsi di negeri orang. Semuanya itu mereka tempuh demi Allah dan Rasul-Nya, semua itu demi Islam. Maka pantas sekali jika kemudian mereka diganjar dengan kedudukan yang utama oleh Allah swt.

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.[2]

Demikian pula dengan orang Islam yang merelakan wilayahnya jadi tempat hijrah. Mereka tidak merasa berat hanya karena banyak pengungsi di sekeliling rumahnya. Mereka tidak merasa berat untuk sekadar memberi tempat dan makanan kepada para Muhajir fi sabilillah. Orang-orang seperti ini juga orang-orang yang sudah terbukti benar pengakuan keimanan mereka. Anshar, demikian mereka disebut, dimuliakan juga oleh Allah swt atas kerelaannya membantu para Muhajir.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan (keberatan) dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59] : 9)

Hijrah adalah sunnah yang sudah berlaku bagi para Nabi dan umat mereka sebelum Nabi Muhammad saw diutus. Karena tabiat jalan dakwah akan selalu mendapatkan penentangan fisik yang sangat luar biasa dari musuh-musuhnya. Dalam kondisi seperti itu, para Nabi dan umatnya dituntut untuk bisa menyelamatkan agama Allah swt dengan hijrah. Lihat misalnya Nabi Nuh as dengan pembuatan bahteranya. Nabi Ibrahim dengan umatnya yang harus berpindah-pindah dari Irak, ke Syam, ke Mesir lalu kembali ke Syam. Semuanya itu disebabkan mereka siap menyatakan berlepas diri dari apa yang dianut oleh masyarakat jahiliyyah. Demikian juga Nabi Musa as dan pengikutnya yang harus menyeberangi lautan demi menghindar dari kekejaman Fir’aun. Dan Nabi ‘Isa as yang harus menyatakan kepada pengikutnya, man anshari ilal-’Llah; siapa yang siap untuk menjadi penolongku menuju kepada Allah?

Maka keberpihakan kepada agama dan kerelaan menanggalkan duniawi itulah yang menjadi spirit pokok dari hijrah. Keengganan untuk memilih jalan tersebut menandakan betapa tipisnya keimanan seseorang ketika dihadapkan pada pilihan antara Allah swt dan dunia. Jika kita masih mengaku Islam, tapi hanya karena kesibukan pekerjaan duniawi kita, tidak ada waktu yang bisa disempatkan untuk memperdalam ilmu agama, maka keimanan kita pun dipertanyakan. Pilihan untuk berjilbab di satu sisi yang bentrok dengan kebijakan manajemen yang tidak mengizinkan jilbab di sisi lain, merupakan ujian keimanan kita yang sesungguhnya. Pilihan untuk menggunakan aturan-aturan agama yang kenyataannya bentrok dengan aturan-aturan sekular pun merupakan ujian keimanan untuk kalangan politisi dan birokrat. Ketidakmampuan diri untuk lepas dari jeratan sistem riba juga menjadi ujian keimanan untuk kalangan ekonom. Allah swt sudah mewajibkan hijrah sampai akhir zaman. Maka ketika kepentingan Alah bentrok dengan kepentingan dunia, hijrahlah kita semua menuju Allah dan Rasul-Nya.
http://persis.or.id/?p=1072

[1] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.th. (5 jilid), 2 : 569.
[2] QS. Al-Hasyr [59] : 8

Sabtu, 19 Desember 2009

Ibadah-Ibadah Sunnah Bulan Muharram

Yan-Yan Hardiansyah

(Mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadis STAIPI Garut)

Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau yang dimuliakan Allah. Empat bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah: 36)

Para ulama menyatakan bahwa Muharram itu artinya “dilarang”. Bulan ini pada zaman Jahiliyah dianggap sebagai bulan yang suci dan juga dimuliakan sehingga setiap orang tidak boleh melakukan peperangan atau persengketaan sedikit pun. Begitulah wujud penghormatan masyarakat Jahiliyah terhadap bulan ini. Namun setelah Islam datang kebiasan seperti itu dihilangkan.

Dalam Islam, bulan Muharram memiliki keutamaan tersendiri dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya. Ia disebut sebagai Syahrullah (bulan Allah). Jika saja kita melakukan amal ibadah maka pahalanya akan dilipatgandakan sebaliknya jika kita melakukan maksiat maka dosanya pun dilipatgandakan pula. Selain bernilai dari sisi pahala ibadah, bulan ini juga ternyata memiliki sisi histories yang luar biasa. Pada bulan tersebut, tepatnya tanggal 10 Muharram, Allah menyelamatkan umat Nabi Musa dari incaran pasukan Fir’aun.

Selain itu juga, Umar bin Khattab menjadikan bulan ini sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyyah. Pada awalnya ada di antara sahabat yang mengusulkan Rabi’ul Awal sebagai awal bulan. Ada pula yang menyatakan bulan Ramadhanlah sebagai bulan yang pertama dalam kalender Hijriyyah. Namun Umar beserta sejumlah sahabat lainnya lebih memilih bulan Muharram sebagai bulan yang pertama dalam Islam. Alasannya adalah pada bulan ini telah bulat keputusan Rasulullah Saw untuk hijrah pasca peristiwa Ba’iatul ‘Aqabah di mana terjadi bai’at 75 orang Madinah yang siap membela dan melindungi Rasulullah Saw, apabila beliau datang ke Madinah. Dengan adanya bai’at ini Rasulullah pun melakukan persiapan untuk hijrah dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.

Dari kedua keutamaan ini maka imbasnya, Rasulullah saw memberikan perhatian yang lebih terhadap bulan ini. Bahkan orang Yahudi pun senantiasa berpuasa di hari ke 10 pada bulan tersebut sebagai bentuk rasa syukur mereka atas terselamatkannya mereka dari kejaran Raja Fir’aun dan bala tentaranya yang ingin memusnahkan mereka. Dengan demikian ada beberapa amalan sunnah yang diajarkan Rasulullah Saw kepada umatnya sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan ini.

Sebelum datangnya bulan Ramadhan, shaum pada tanggal 10 Muharram hukumnya wajib namun setelah Allah mewajibkan shaum di bulan Ramadhan maka shaum di bulan Muharram tersebut menjadi sunnah. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ketika Nabi Saw datang ke Madinah, ia melihat seorang Yahudi yang sedang melaksanakan shaum satu hari, yaitu ‘Assyura (10 Muharram). Mereka berkata: “Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Fir’aun. Maka Nabi Musa As berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul Saw bersabda: “Saya lebih berhak mengikuti Musa as dari pada mereka.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang lain pula dinyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yakni Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah setelah ibadah wajib adalah shalat malam. (HR. Muslim)

Meskipun ada kemiripan dengan shaumnya orang-orang Yahudi namun Rasulullah menegaskan dan juga memerintahkan kepada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar puasa hari ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari ‘Asyura.

Dalam Kitab Zaadul Ma’aad disebutkan bahwa shaum di bulan ‘Asyura dibagi menjadi tiga urutan, yaitu: urutan yang pertama, shaum pada tanggal 10 ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9-10-11). Urutan yang kedua, shaum tanggal 9 dan 10. Shaum pada tanggal tersebut banyak disebutkan dalam sejumlah hadits. Urutan yang ketiga yakni shaum pada tanggal 10 saja.

Dari ketiga urutan di atas yang paling kuat menurut para ulama adalah shaum selama 3 hari (9,10, dan 11) dengan alas an kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka shaum tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan shaum tasu’a (tanggal 9) dan ‘Asyuro (tanggal 10). Nabi Saw sendiri memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi. Namun Nabi Saw belum sempat melaksanakan Shaum pada tanggal 9 berhubung beliau telah meninggal dunia.

Selain melaksanakan shaum sunnah, di bulan ini pula hendaknya memperbanyak sedekah dan menyediakan lebih banyak makanan bagi keluarganya. Tradisi ini memang tidak didapatkan dalam hadits namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa perbuatan itu baik untuk dilakukan.

Tidak hanya shaum dan juga sedekah, pada bulan ini pun, kaum muslimin sering menjadikannya sebagai momentum untuk menyantuni anak yatim. Namun, bukan berarti perbuatan seperti itu, hanya dilakukan pada bulan Muharram saja namun di bulan-bulan yang lain pun dianjurkan.

Begitulah tuntunan Rasulullah dalam mengisi bulan Muharram ini dengan ibadah-ibadah Sunnah. Mudah-mudahan kita semua bisa mengamalkan sunnah-sunnah tersebut. Amin. Wallahu a’lam bis-showab

http://persis.or.id/?p=1065

Merayakan Tahun Baru Hijriah

Oleh: Nashruddin Syarief

Sebagian umat Islam dengan dalih keagamaan meyakini bahwa tahun baru hijriah harus dirayakan karena titik tekan hijrahnya. Keyakinan tersebut tentunya sangat apologetik (mencari-cari alasan), karena pada faktanya hijrah Rasulullah saw terjadi pada tanggal 2-12 Rabi’ul-Awwal tahun 13 bi’tsah/kenabian, bukan pada awal bulan Muharram.[1]

Maka dari itu—dan ini memang sudah jamak disadari oleh mayoritas masyarakat Muslim—penyambutan tahun baru hijriah sebenarnya hanya terletak pada penyambutan tahun barunya, untuk menyaingi tahun baru masehi. Itu berarti motifnya bukan mengamalkan ajaran agama, tapi untuk tasyabbuh pada tahun baru masehi. Memang dari segi tujuan ada baiknya, yakni mengubah tradisi perayaan tahun baru masehi yang kental dengan pesta, menjadi lebih berpihak pada Islamnya dengan nuansa-nuansa Islami. Akan tetapi tentu tidak cukup berhenti sampai di sana. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempunyai identitas mandiri, tidak ikut-ikutan pada budaya orang lain. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya agar tidak mempunyai mental pengekor yang selalu merasa minder jika tidak bisa menyamai orang-orang non-Islam. Untuk menjadikan Islam lebih tinggi di atas non-Islam tidak perlu menempuh cara-cara yang sama dengan yang telah ditempuh umat non-Islam. Pesan Rasul saw:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berati ia bagian dari mereka.[2]

Maka dari itu, ketika Nabi saw datang hijrah ke Madinah dan menemukan penduduknya suka merayakan hari Nairuz dan Mihrajan sebagaimana biasa dirayakan di masa Jahiliyyah, Nabi saw langsung melarangnya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ r الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan. Tanya Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.”[3]

Terkait hadits di atas, Imam al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa dua hari yang biasa dirayakan penduduk Madinah waktu itu adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada pada titik bintang haml/aries. Bulan Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan bulan Muharram dalam tahun hijriah. Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru. Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas.[4] Kedua perayaan tersebut sangat tidak disetujui oleh Rasulullah saw. Tidak perlu mengekor pada tradisi jahiliyyah, demikian kurang lebih pesan Rasulsaw, kita umat Islam pun punya perayaan tersendiri; ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha.

Sangat jelas sekali apa yang disampaikan Anas dalam hadits di atas. Rasul saw tidak merestui adanya perayaan tahun baru. Hanya ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja, titik, tidak ada lagi. Dan masih kurang jelas apa lagi Islam dalam memberikan tuntunan kepada umatnya agar tidak terbawa-bawa tradisi jahiliyyah. Bahkan jika dikaitkan dengan momentum hijrah ini, maka yang harus dilakukan justru menanggalkan semua bentuk perayaan yang biasa dirayakan bangsa-bangsa jahiliyyah, di antaranya tahun baru, dengan beralih (hijrah) pada tuntunan yang benar-benar berasal dari Islam.

Itu semua bukan berarti bahwa Islam tidak memberikan perhatian pada pergantian waktu. Karena sebagaimana kita tahu, waktu merupakan hal yang disorot secara tajam oleh al-Qur`an. Dari mulai titah untuk selalu memperhatikan waktu fajar (wal-fajri), waktu shubuh (was-shubhi idza tanaffas), waktu pagi (wad-dluha), waktu siang (wan-nahari idza tajalla), waktu sore (wal-’ashri), sampai waktu malam (wal-laili idza yaghsya), dan waktu secara menyeluruh itu sendiri (wal-’ashri). Semuanya itu selalu dikaitkan oleh Allah swt dengan sejauh mana amal yang sudah kita perbuat, untuk dijadikan sarana evaluasi atas semua yang telah kita kerjakan. Artinya, Islam tidak memandang pergantian tahun sebagai sesuatu yang istimewa lebih dari yang lainnya, hanya pergantian biasa saja seperti pergantian siang dan malam, tidak lebih dari itu. Dan yang diinstruksikan oleh al-Qur`an untuk diperhatikan justru yang lebih intensif dari tahun, yakni pergantian waktu di setiap hari dan malamnya.

Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.


[1] Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthy, Fiqh as-Sirah, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Sirah Nabawiyyah: Analisis Ilmiah Manhajiyyah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, Jakarta: Robbani Press, 2008, Cet. XIII, hlm. 171-174

[2] Sunan Abi Dawud 4 : 44 no.4031, bab fi labsi asy-syuhrah; Musnad al-Bazzar 7 : 368 no.2966 dan 2 : 41 no.5002 dari Hudzaifah al-Yaman; Musnad asy-Syihab 1 : 244 no.310 bab man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum dari Thawus

[3] Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-’idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-’idain no. 1567

[4] Al-Mubarakfuri, ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, al-Maktabah al-Syamilah, 3 : 88

http://persis.or.id/?p=1070

Kamis, 17 Desember 2009

Meninggalkan TAHLILAN...Siapa Takut??? (Maksud dari Pesan Tersebut)

Bismillah...

Setelah dikirimnya pesan "Meninggalkan TAHLILAN...Siapa Takut???" banyak sahabat Pecinta Qur'an & Sunnah yang membalas pesan tersebut pada inbox saya, ada sebagian yang mendukung dan mengiyakan tapi banyak pula yang menentang, ada satu pesan yang saya kira penting untuk dijawab dan diluruskan, mungkin banyak pula yang mempunyai pemikiran seperti sahabat kita yang satu ini, di bawah saya coba cantumkan pesan beliau dan jawaban saya (pada yang bersangkutan, mohon maaf saya publikasikan percakapan kita pada semua Anggota Group tanpa persetujuan anda)

---------------------------------------------------------------------------------------
Pesan yang masuk ke inbox saya :

dlm hal ni saya hny mo sherring kita hrs jgn slh persepsi jgn saling ingin benar satu sama lain'y,jgnlah hal yg seperti qunut, tahlil dsb selalu dibuat mnjadi perdebatan(kusir),inilah kelemahan kt sebagai sesama muslim msh mndebatkan hal2 yg seperti ni padahal msh ada hal yg lebih bsr hars diselesaikan klo bs kembalikan smua ni kepada diri kt masing2,salg instropeksi "apakah selama ni kt tlh mnejalankan perintah Allah secara menyeluruh...."?mo dikerjain or tdk itu bkn kehendak kita,krna kt da Allah yg kan menilai itu baik wat kt atau tdk,krna klo kt lht bnyk mnfaat dr tahlilan tsb.
@dzikrullah(tasbih,takbir,tahlil&mengagungkan nama Allah)
@ukuwwah lebih terjalin
@lebh bnyk mnfaat daripada mudharat'y,,,dsb.
yg slh klo hal trsebt dijadikan hal yg wajib,merugikan dr sndiri,didlm'y terdapt bacaan yg tdk ada tuntunan'y or da mksd trtentu...(dosa)!!!
dan dlm quran pun diperintahkan "berlomba2lah kamu dlm hal kebaikan..."
-mdh2han Allah selalu mwelindungi kt dr perbuatan tercela....amin

----------------------------------------------------------------------------------------
Jawaban saya :

Terima kasih atas perhatian anda akan pesan yang saya kirimkan.

Perlu dipahami dalam hal ini saya tidak sedikitpun bermaksud ingin benar sendiri dan membuka ruang untuk berdebat kusir di antara kita sesama muslim. Saya menghormati sesama muslim yang masih melaksanakan TAHLILAN, walaupun secara pribadi saya mempertanyakan apa yang menjadi rujukan atas ritual TAHLILAN tersebut.

Tujuan saya dalam menyampaikan tulisan di atas adalah hanya sebagai bahan introsfeksi untuk kita semua bahwa ternyata landasan ibadah yang kita lakukan masih berstandar ganda (ada standar lain selain Al-Qur'an & As-Sunnah), dalam hal ini standar akal/logika dan kepatutan menurut adat.

Saya sependapat dengan anda ("msh ada hal yg lebih bsr hars diselesaikan"), dengan CATATAN, kita sebagai muslim telah mempunyai pondasi akidah yang kuat, yaitu pondasi akidah yang berlandaskan Al-Qur'an & As-Sunnah. Dengan kata lain, saya berpendapat permasalah ritual TAHLILAN tidak bisa dianggap sebagai masalah sepele yang bisa dikesampingkan begitu saja, karena menurut sepengetahuan saya, banyak hal yang bertentangan dengan Sunnah Rosul... salah satu contohnya : dalam ritual TAHLILAN ada moment dimana kelompok yang TAHLILAN akan MENGHADIAHKAN BACAAN Al-Qur'an pada yang telah meninggal, prilaku ini TIDAK ADA SATUPUN dalil yang menjadi dasar rujukannya, malah sebaliknya Menurut madzhab Syafii, seperti dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya mengatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai. Dalilnya adalah "Dan seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang dia usahakan" (QS An Najm 53: 39).

Anda sendiri juga telah mengakui bahwa ibadah yang tidak ada tuntunannya maka tidak boleh dilaksanakan, ini saya kutip pernyataan anda (yg slh klo hal trsebt dijadikan hal yg wajib,merugikan dr sndiri,didlm'y terdapt bacaan yg tdk ada tuntunan'y or da mksd trtentu...(dosa)!!!),

Hal ini yang saya kritisi dari orang2 yang selalu melakukan ritual TAHLILAN, apa yang menjadi rujukannya, dalam salah satu pesan balasan pada saya ada yang menuliskan apa salahnya berdo'a, mengagungkan nama Allah, menjalin ukhuwah dll, saya menjawabnya memang tidak salah semua amalan tersebut dilakukan, siapa yang berani bilang bahwa berdo'a, menganggungkan nama Allah, menjalin ukhuwah adalah amalan yang salah???? TIDAK ADA SATUPUN YANG MENGATAKAN HAL TERSEBUT, TERMASUK SAYA. Hanya kita mesti bijak dalam beribadah, apakah ritual TAHLILAN dengan segala tahap-tahapannya diatur oleh Al-Qur'an & As-Sunnah???? Apakah Rosul dan para sahabat pernah melakukan TAHLILAN?? Apakah karena hanya berladaskan logika bahwa ritual ini dianggap baik makan menjadi BENAR dalam ukuran ibadah?? Saya kira tidak, Ibadah haruslah sesuai dengan Al-Qur'an & As-Sunnah, ini dasarnya :

Hukum asalnya adalah haram, sampai ada dalil syar’i yang memerintahkan seseorang untuk mengerjakan

"Barang siapa yang melakukan sesuatu amal yang bukan dari perintah kami (Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya) maka amalan itu tertolak".(HR Muslim)

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu buat kamu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kamu, dan telah Aku redai Islam menjadi agamamu". (al-Maidah:3)

"Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini sedangkan ia bukan (dari kami) maka ia tertolak". (HR Bukhari dan Muslim)

Akhirnya, tanpa mengurangi rasa hormat pada sebagian muslim yang masih melakukan ritual TAHLILAN saya mengajak, mari kita telaah kembali dasar rujukan atas ritual TAHLILAN tersebut, jangan hanya merasa baik dan benar menurut adat lalu kita menapikan keterangan-keterangan yang Hak (bersumber dari Al-Qur'an & As-Sunnah).
Wallhu'alam bisowab....

Demikian saudaraku yang budiman,
salam hangat...

Tambahan... untuk menambah bahan bacaan, anda bisa cek di :
http://www.assalaam.or.id/forum-santri/ibadah/430-yasinan-dan-tahlilan.html
http://www.almanhaj.or.id/content/2272/slash/0

---------------------------------------------------------------------------------------

Demikian maksud dan tujuan saya mengirimkan pesan "Meninggalkan TAHLILAN...Siapa Takut???"

TIDAK ADA SEDIKITPUN NIATAN DALAM DIRI UNTUK BERDEBAT KUSIR ATAU MENDISKREDITKAN SEBAGIAN MUSLIM LAIN YANG MASIH MELAKUKAN RITUAL TAHLILAN.

MELALUI PESAN INI PULA, SAYA MOHON MAAF PADA SEMUA PIHAK YANG MERASA TERDHOLIMI.

Mari kita pelajari agama Islam dengan kepala dingin dan landasan yang kuat, sehingga keimanan kita akan semakin teruji...

Wallohu'alam bisowab....

Rabu, 16 Desember 2009

Warisan Orangtua 2 & 3

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ada seorang laki-laki meninggalkan warisan sebuah rumah. Ketika meninggal, dia meninggalkan seorang isteri, 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan), 15 cucu dan 1 cicit. Sekarang anaknya yang perempuan dan cucunya yang perempuan sudah meninggal. Kini rumah itu hendak dijual. Yang ingin saya tanyakan adalah:

- Bagaimana cara pembagian warisannya ketika rumah itu laku terjual dan sudah menjadi uang?
- Apakah anaknya yang sudah meninggal tetap mendapatkan warisan?
- Apakah cucunya juga mendapatkan warisan?

Saya minta penjelasan secara terperinci. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara I, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu-satu. Mudah-mudahan dapat membantu:

1. Berdasarkan data yang Anda berikan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah isteri dan 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan). Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka kelima anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi kelima anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11). Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 4 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 4, hasilnya 0,21875. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,21875 dibagi 2, hasilnya 0,109375. Andaikata harga rumah tersebut 1 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

a) Isteri : 0,125 x 1.000.000.000 = Rp. 125.000.000,-
b) 1 anak laki-laki : 0,21875 x 1.000.000.000 = Rp. 218.750.000,-
c) 1 anak perempuan : 0,109375 x 1.000.000.000 = Rp. 109.375.000,-

2. Karena anak perempuan tersebut meninggal setelah meninggalnya sang ayah, hanya saja warisan sang ayah belum dibagi, maka dia berhak mendapat bagian yaitu 0,109375 atau Rp. 109.375.000,- (andaikata warisannya senilai 1 Milyar). Bila warisan itu sudah dibagi, maka bagian untuk anak tersebut diserahkan kepada ahli warisnya untuk dibagi.

3. Karena ada anak, maka cucu menjadi mahjub (tertutup) sehingga dia tidak berhak mendapat warisan.

Wallaahu A’lam….


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Maaf Pak, saya mau ikut nanya. Warisan itu harus segera dibagikan, tetapi bagaimana kalau ada salah satu ahli waris yang tidak setuju? Ibu saya sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan 1 buah rumah yang dulunya merupakan warisan dari orangtuanya (nenek saya). Sementara ayah saya ikut menyumbang pembangunan rumah tersebut. Bagaimana pembagian warisannya? (Ahli waris: ayah saya, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan).

Saat ini, rumah itu ditempati oleh ayah saya, keluarga kakak saya yang perempuan dan keluarga adik saya. Kakak saya yang perempuan tersebut merasa keberatan bila rumah itu dibagikan, padahal semua keluarga sudah sepakat untuk membaginya termasuk ayah saya. Bagaimana solusinya Pak? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Dari penjelasan Anda, nampaknya rumah itu memang hak milik ibu, karena ayah hanya sekedar membantu. Biasanya dalam hubungan antara suami isteri, kalau niatnya hanya sekedar membantu, maka hal itu tidak akan mempengaruhi kepemilikan kecuali bila ada perjanjian antara kedua belah pihak ketika hendak membangun rumah.

Solusi yang tepat dalam kasus yang Anda sampaikan ini sangat tergantung pada kondisi masing-masing ahli waris, terutama kebutuhan sang ayah akan tempat tinggal dan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut. Yang dimaksud dengan kebutuhan ayah akan tempat tinggal adalah, apakah setelah harta waris itu dibagi ada jaminan tempat tinggal untuk sang ayah ataukah tidak. Bila ada, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada, maka sebaiknya pembagian itu ditunda tetapi dengan catatan bagian masing-masing ahli waris sudah ditetapkan, bila perlu menggunakan bukti tertulis. Dalam hal ini, berlakulah prinsip syirkah jabar (perserikatan atas sesuatu secara paksa karena faktor warisan). Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut adalah, apakah kondisi anak-anak yang menjadi ahli waris itu sangat membutuhkan bagian tersebut, terutama untuk menunjang perokonomian keluarganya masing-masing? Bila memang ada yang membutuhkan, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada yang membutuhkan, maka bisa menggunakan prinsip syirkah jabar. Hanya saja melihat penjelasan Anda bahwa semua keluarga telah sepakat untuk membaginya termasuk ayah, kecuali kakak perempuan, maka menurut saya sebaiknya harta warisan itu dibagi secepatnya. Bicarakan kembali dengan ayah dan saudara-saudara Anda dengan mempertimbangkan hal-hal yang saya jelaskan di atas.

Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah:
- Karena ada anak, maka ayah mendapat ¼ atau 0,25
- 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan mendapat ¾ atau 0,75
- Bagian 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan sama dengan bagian 3 anak laki-laki, karena 1 anak laki-laki sama dengan 2 anak perempuan. Jadi bagian untuk 1 anak laki-laki adalah: ¾ dibagi 3 = 0,25
- Sedangkan bagian 1 anak perempuan adalah 0,25 : 2 = 0,125

Wallaahu A’lam
Source: www.mediasilaturahim.com

Senin, 14 Desember 2009

Meninggalkan TAHLILAN...Siapa Takut???

Tidak ada seorangpun di antara ulama yang faham akan al Qur'an dan As Sunnah yang berani mengatakan bahwa tahlilan untuk memperingati kematian seseorang itu berasal dari tuntunan Islam. Akan tetapi pemahaman orang awam tidaklah demikian. Sejak lahir mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim (red: lebih tepatnya mengaku muslim) yang biasa melakukan ritual ibadah tahlilan untuk memperingati keluarganya yang sudah meninggal. Mereka mengira bahwa ritual ibadah tahlilan itu merupakan tuntunan Islam dan seolah-olah menjadi satu kewajiban tersendiri di luar rukun Islam yang harus mereka tunaikan.
Mereka menganggap satu aib bila ada orang yang kematian anggota keluarga kok tidak melaksanakan tahlilan. Sehingga walaupun miskin mereka akan melaksanakan acara itu meskipun harus menjual harta kekayaan mereka atau harus menanggung hutang. Mereka juga menganggap orang yang tidak melaksanakan ritual tersebut bila orang tuanya meninggal dunia sebagai orang yang tidak berbakti kepada orang tua. Ritual ibadah tahlilan telah dianggap masyarakat sebagai satu cara untuk berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal.

Sikap keliru seperti itu telah dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menyulut konflik horizontal antara kelompok yang menjunjung tinggi ritual ibadah tahlilan untuk memperingati kematian dengan kelompok masyarakat yang tidak mau melakukan tahlilan karena bukan dari tuntunan Islam. Orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan tersebut biasanya orang yang mendapatkan keuntungan dari ritual ibadah itu seperti modin, bayan, dan sejenisnya. Tokoh-tokoh ini yang paling dirugikan bila masyarakat meninggalkan acara tahlilan. Banyak di antara mereka yang menghasut masyarakat menuduh kelompok pengajian yang tidak mengajarkan dan tidak menganjurkan tahlilan sebagai aliran sesat. Orang-orang awam yang merasa bahwa tahlilan itu tuntunan Islam langsung saja menerima hasutan itu. Faktanya orang-orang Islam pada umumnya melakukan tahlilan kok kelompok ini tidak melakukan, berarti kelompok ini sesat. Sehingga ketika mereka berbuat anarki menggrebek pengajian yang tidak mengajarkan tahlilan dan membubarkannya tidak merasa bersalah. Bahkan merasa telah melakukan amal shaleh. Mereka tidak peduli lagi bahwa hukum Negara menjamin orang untuk merdeka dalam beragama dan beribadah menurut keyakinan masing-masing. Mereka tidak peduli lagi bahwa berbuat anarki, main hakim sendiri itu termasuk perbuatan melanggar hukum negara. Mereka tidak peduli lagi bahwa sesama muslim itu bersaudara, sehingga memperlakukan sesama orang Islam yang tidak tahlilan sebagai musuh. Mereka tidak peduli lagi bahwa dalam ajaran Islam, yang benar itu adalah yang sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Padahal ritual ibadah talilan untuk memperingati kematian itu tidak ada dalilnya sama sekali dalam Al Qur'an maupun As Sunnah.

Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah kematian istrinya Khodijah tetapi tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Beliau juga kematian pamannya Hamzah, si singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian pamannya. Para sahabatnya banyak yang meninggal dunia dalam berbagai pertempuran dalam rangka menegakkan Islam, tetapi tidak satupun yang pernah beliau peringati dengan tahlilan. Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw. Memang Islam tidak menuntunkan orang untuk memperingai kematian. Peringatan kematian pada hari ke 1, 3, 7, 40, 100 dst adalah TRADISI HINDU. Mereka berkeyakinan bahwa ruh orang yang mati pada hari-hari itu kembali ke rumahnya. Kalau pada saat kembali disana tidak ada keramaian maka ruh itu akan menyusup ke tubuh orang yang menyebabkan dia akan kesurupan. Maka pada hari-hari itu mereka melakukan ritual peribadatan untuk mencegah agar ruh tidak mengganggu anggota keluarga.

Kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, mengapa kita tidak berani meninggalkan upacara peringatan kematian? Panutan kita adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?

Orang sering berkilah bahwa tahlilan yang merupakan bagian dari upacara peringatan kematian itu adalah untuk mengirimkan pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Quran, lalu apa salahnya? Bukankah kita dituntunkan untuk mendoakan orang tua kita yang sudah mati? Rasulullah saw memberitakan bahwa semua amal manusia terputus setelah mati kecuali tiga perkara yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya (HR Muslim). Hadist itu shahih dan sharih, akan tetapi hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan TIDAK ADA tuntunannya sama sekali. Menurut madzhab Syafii, seperti dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya mengatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai. Dalilnya adalah "Dan seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang dia usahakan" (QS An Najm 53: 39).

Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fighiyah mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan TIDAK DAPAT DIKIRIMKAN kepada orang lain. (Al Um juz 7, hal 269) Beliau juga mengatakan bahwa beliau tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tagisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Um, juz I, hal 248) Imam Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).

Nah, kalau mengirimkan pahala kepada si mayit, berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan membuat hidangan untuk orang-orang yang berkumpul tiak ada dalilnya dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan ditentang oleh para ulama besar lalu siapa yang kita ikuti? Mengapa kita takut meninggalkannya? Sebaliknya menurut sunnah yang seharusnya yang membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Adapun dalilnya: dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang, kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR Tirmidzi juz 2, hal 234, dia berkata hadist ini hasan). Mestinya tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan membuatkan makanan untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga si mayit untuk memberi makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya.

Kalau memang tidak ada tuntunannya dalam agama, mengapa kita takut meninggalkannya. Kalau memang belum berani okelah, tetapi jangan sampai menentang orang yang sudah berani meninggalkannya. Sebaiknya kalian berdo'a memohon kepada Allah untuk segera diberi keberanian untuk meninggalkannya. Untuk apa takut kepada manusia kalau akhirnya harus menaggung resiko masuk neraka karena mangamalkan bid'ah. Karena tidak ada tuntunannya dalam agama, berarti upacara peringatan kematian itu termasuk bid'ah dalam ibadah. Kullu bid'atin dlolalah wa kullu dlolalatin finnari (Semua bid'ah (dalam ibadah) adalah sesat dan semua kesesatan itu masuk naraka) (HR An Nasa'i juz 3, hal 188) Sebagai seorang muslim yang baik yang mengharapkan kasih sayang Allah sebaiknya segera kita tinggalkan tahlilan, kita ganti dengan membaca tahlil sebanyak-banyaknya, setiap saat setiap kesempatan yang memungkinkan, tetapi tidak dalam upacara peringatan kematian. Siapa takut?

Sumber : MTA-online
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=1576

Jumat, 11 Desember 2009

BAGI PEREMPUAN YANG SUKA BERPAKAIAN TAPI TELANJANG!!!!!

Asalamualaikum.......
Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini. Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.

Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.
Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ....

sumber:http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/1613-wanita-yang-berpakaian-tapi-telanjang-sadarlah.html

Amalan-Amalan Musyrik dan Bid’ah Pada Bulan Muharram

Yan-Yan Hardiansyah

(Mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadis STAIPI Garut)

Bulan Muharram, selain berisi banyak anjuran ibadah seperti sudah dipaparkan sebelumnya, juga dipenuhi dengan tradisi-tradisi di tengah masyarakat yang mengarah pada kemusyrikan dan bid’ah. Amalan-amalan dan upacara-upacara yang mengarah kepada kemusyrikan itu biasanya berakar pada tradisi dan ajaran-ajaran sesat. Namun, anehnya banyak kalangan yang justru mendukung acara-acara tersebut dengan dalih sebagai warisan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Tidak jarang pula pemerintah malah menjadi sponsor dan mendanai acara-acara tersebut dengan alasan ekonomis: agar menjadi daya taik pariwisata. Padahal, tindakan seperti itu jelas menantang azab Allah Swt. Na’udzubillah.

Berikut akan diulas sedikit mengenai acara apa saja yang sering dilakukan setiap bulan Muharram dan mengarh kepada kemusyrikan dan juga bid’ah. .

Tradisi Jawa

Dalam tradisi jawa kita mengenal “Sura” yang terambil dari kata ‘asyura’ yang berarti hari ke-10 pada bulan Muharram. Pada bulan ini muncul pemahaman yang menjadi bukti adanya pensakralan. Muharram dianggap sebagai bulan keramat sehingga banyak aktivitas yang dikurangi bahkan dihentikan salah satunya adalah pernikahan. Mereka beranggapan bahwa nikah pada bulan ini akan mengakibatkan malapetaka bagi kedua mempelai. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Ia menyatakan, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Sura (Muharram), dan ternyata tertimpa mushibah!” .

Dengan adanya peristiwa ini maka logika sebagian masyarakat awam akan membenarkannya. Lantas membuat acara ritual untuk tolak bala. Di antaranya mgengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram). Sebagian yang lain mengadakan sadranan berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu dihanyutkan di laut selatan dengan disertai kepala kerbau. Tujuannya tiada lain untuk mengalap berkah dari sang Ratu Pantai dan supaya ia tidak mengganggu penduduk sekitar.

Selain itu juga acara yang sudah menjadi tradisi pada bulan Muharram yakni kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kiai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Acara ini mendapatkan respon yang begitu besar dari warga solo dan sekitarnya. Sehingga mereka rela berjubel dan bersusah payah menghadiri acara tersebut. Tujuannya tiada lain untuk mendapatkan berkah dari sang kerbau berupa kemudahan rezeki, dagangan yang laris, dan sebagaianya.

Itulah sebagian besar acara yang sering dikerjakan pada bulan Muharram di Jawa. Acara tersebut bisa kita temukan di sekitar pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Jogjakarta, Cilacap, dan lainnya. Hal ini bukan muncul begitu saja. Jauh sebelum Islam datang, sebagian besar masyarakat kita memiliki kepercayaan animisme & dinamisme. Dalam kepercayaan tersebut ada prosesi ritual seperti itu dan tampaknya sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jawa sehingga untuk melepaskannya sangat sulit. Bahkan meskipun Islam sudah jadi agama yang mereka anut, tetap saja mereka tidak bisa meninggalkannya. Dengan alasan, ini adalah warisan leluhur yang tidak boleh diganggu gugat apalagi ditinggalkan.

Tradisi Syi’ah

Selain dinilai keramat. Muharram juga ternyata merupakan bulan yang penuh dengan duka. Pada bulan tersebut, tepatnya tanggal 10 Muharram. Komunitas yang mengatasnamakan dirinya Syi’ah senantiasa melakukan acara akbar terutama pada tanggal tersebut. Acara ini diadakan untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Ratusan pemuda Syi’ah melakukan pawai besar-besaran dengan hanya mengenakan sarung saja. Di punggung mereka tersedia rantai besi untuk dijadikan sebagai alat penyiksaan terhadap diri mereka sendiri. Banyak diantara mereka yang luka memar sampai berdarah bahkan sampai melukai dahi mereka sendiri. Suasana seperti itu akan terlihat mulai dari tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram. (Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51)

Memperhatikan hal tersebut Imam Al-Musawi tokoh ulama mereka menyatakan: “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. (hal. 85)

Tidak serta merta apa yang mereka lakukan jauh dari konsep yang mereka pelajari. Justru apa yang nampak merupakan cerminan dari apa yang mereka yakini dalam beberapa kitabnya, yakni Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, menyatakan : “…Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pda hari ‘Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan Imam yang adil”.

Selain itu juga dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan ” Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling mulia”. Riwayat yang lainnya juga menyebutkan: “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia di banding Makkah Al-Mukarramah hanya dikarenakan Al-Husain dimakamkan di sana. (Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah al-Itsna Asyriyah Dr. Nashir Al-Qifari, hal. 460- 464)

Koreksi Terhadap Tradisi di Bulan Muharram

Berbagai macam ritual yang ada pada bulan Muharram sebagaimana disebutkan diatas. Nampaknya telah jauh dari nilai dasar ajaran Islam. Pada prinsipnya dalam ajaran Islam segala kekuatan adalah milik Allah. Tidak dibenarkan bagi hambanya untuk berlindung, meminta berkah kepada selain Allah. Jika berbuat demikian, Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang muysrik. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Dan sekali-kali mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Orang yang menyandarkan dirinya pada waktu termasuk menentukan celaka dan juga bahagianya karena waktu tertentu maka Allah menyatakan dalam hadits qudsinya: “Manusia menyakiti Aku, dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah (pemilik dan pengatur masa) Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti” (Bukhari 4826, Muslim 2246)

Dalam hadits tersebut Imam Al-Baghawi berpendapat bahwa dahulu orang-orang Arab terbiasa mencela masa apabila tertimpa mushibah. Mereka mengatakan: “Makna tertimpa masa bencana”. Maka jika mereka menyandarkan mushibah yang menimpa kepada masa, berarti mereka telah mencaci pengatur masa itu yakni Allah SWT. Karena pengatur urusan yang mereka lakukan itu pada hakikatnya adalah Allah. Oleh karena itu mereka dilarang mencela masa. (Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, hal. 51)
Oleh karena itu keyakinan menyakralkan waktu-waktu tertentu termasuk pada bulan Muharram bahkan dianggap sebagai waktu yang keramat maka hal ini jelas telah melakukan tindakan syirik besar yakni meyakini adanya kekuatan lain yang lebih besar dibandingkan kekuatan Allah SWT.

Demikian halnya dengan tradisi ritual yang dilakukan oleh Syi’ah. Di dalamnya tercermin sikap Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap imamnya. Rasulullah Saw melaknat perbuatan ini melalui sabdanya: “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)” (HR. Bukhari 435, Muslim 531)

Dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa Nabi pernah dikabari mengenai gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia), dengan dihiasi berbagai macam ornamen. Lantas mengenai hal ini beliau bersabda: “Mereka itu, apabila ada orang shalih meninggal, mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu gambar-gambar (patung-patung). Mereka itulah makhluk yang paling jelek disisi Allah” (HR. Bukhari: 427, Muslim: 528)

Perbuatan diatas mengisayaratkan bagaimana sikap ghuluw yang mereka tunjukkan kepada Nabi mereka. Padahal hal itu tidak diperintahkan oleh Allah dan juga Rasul-Nya. Bahkan Allah dan juga Rasulnya melaknat perbuatan tersebut dan menyebut mereka sebagai makhluk yang paling jelek disisi Allah SWT.

Dengan demikian ada dua hal yang dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan. Pertama bahwa tradisi jawa yang ada pada bulan Muharam adalah kemusyrikan yang nyata. Kedua tradisi Syi’ah yang dilakukan tiap tahunnya adalah bentuk kemusyrikan yang dilaknat Allah SWT. Kita sebagai kaum muslimin harus terus berupaya menyadarkan pada mereka mengenai kesalahan yang mereka lakukan. Semoga saja mereka segera bertaubat. Wallahu ‘Alam.

http://persis.or.id/?p=1067

Kamis, 10 Desember 2009

Warisan Orangtua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya ingin bertanya tentang aturan warisan orangtua untuk anak-anaknya. Seandainya ada suatu keluarga besar, mereka mempunyai banyak anak perempuan dan anak laki-laki, dimana semuanya sudah menikah kecuali satu anak perempuan. Sang ayah mempunyai bisnis yang lancar dan dia meminta sang anak yang belum menikah untuk membantunya menjalankan usaha tersebut. Hingga akhirnya sang anak perempuan tersebut sudah cukup dipercaya untuk menjalankan usaha sang ayah sampai sang ayah meninggal dunia. Jadilah anak perempuan itu sebagai orang yang menjalankan usaha sang ayah hingga saat ini.

Suatu saat, salah seorang saudara laki-laki mereka yang sudah menikah mengalami kesulitan finansial. Dia terlilit hutang sana sini karena usahanya gagal, hingga anak laki-laki tersebut beserta isteri dan anak-anaknya diusir dari rumah kontrakan mereka karena tidak sanggup lagi membayar uang kontrakan. Akhirnya mereka menumpang di rumah salah satu saudaranya.

Yang ingin saya tanyakan, usaha yang dijalankan anak perempuan ini merupakan usaha sang ayah. Jadi, bukannya sudah menjadi kewajiban anak perempuan tersebut untuk menolong saudaranya yang sedang kesusahan? Karena setahu saya, orangtua tetap bertanggung jawab terhadap anak laki-lakinya sampai kapanpun, sementara usaha yang dijalankan itu adalah usaha sang ayah. Bagaimana jika anak perempuan itu tidak mau menolong karena dia menganggap penghasilan dari usaha itu merupakan miliknya dan hasil kerja kerasnya selama ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

N - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Dari penjelasan Anda, nampaknya harta sang ayah (dalam hal ini adalah usaha yang dijalankan tersebut) belum dibagi hingga sekarang, bahkan nampaknya belum ada pembicaraan di antara anak-anak yang ditinggalkan untuk membaginya. Sebab, penekanan Anda hanya pada tuntutan anak lak-laki yang sedang kesulitan itu, apakah dia berhak mendapatkan bantuan dari saudara perempuannya yang menjalankan usaha tersebut ataukah tidak. Padahal yang seharusnya menjadi penekanan adalah masalah pembagian harta warisan sang ayah, dimana semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, tentunya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ilmu faraa`idh (ilmu waris).

Bila seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya pembagian harta warisan yang ditinggalkan dilakukan secepatnya, tentunya setelah kewajiban-kewajiban terhadap si mayit sudah dijalankan terlebih dahulu, seperti pengurusan jenazahnya, penunaian wasiatnya serta pelunasan hutang-hutangnya (bila ada), sesuai firman Allah swt.: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas dilakukan) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris di kemudian hari, karena persoalan harta waris merupakan persoalan yang sangat sensitif yang dapat menimbulkan perpecahan dan putusnya tali silaturahim antara seseorang dengan saudaranya atau dengan anggota-anggota keluarga lainnya bila tidak dilakukan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya untuk mempercepat pembagian harta waris itu juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampurbauran antara harta si mayit dengan harta-harta yang lain, termasuk harta orang yang mengelolanya.

Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas, semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut. Bila tidak ada isteri dan orangtua dari ayah, maka semua anak menjadi pewaris seluruh harta sang ayah, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan, sesuai firman Allah swt.: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Tetapi bila ada isteri (isteri ayah), maka isteri mendapatkan 1/8, sementara yang 7/8 menjadi bagian semua anak, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh 2 bagian anak perempuan.

Karena yang ditinggalkan sang ayah berbentuk usaha, maka masing-masing ahli waris akan memperoleh saham sesuai bagian warisannya. Jadi usaha tersebut bukan hanya milik anak perempuan yang mengelolanya saja, melainkan milik semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali bila sebelum meninggal dunia sang ayah telah memberikan usaha tersebut kepada anak perempuan yang mengelolanya itu dengan menggunakan akad hadiah. Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah semua anak (laki-laki dan perempuan), isteri ayah (bila ada) dan orangtua ayah (bila ada).

Mengenai keengganan saudara perempuan itu untuk menolong, sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian harta waris. Ia lebih terkait dengan aspek sosial dalam Islam, dimana seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan untuk menolong saudaranya sesama Muslim yang sedang kesusahan, apalagi bila orang yang memerlukan pertolongan tersebut masih merupakan kerabatnya. Wallaahu A’lam….

Source: http://www.mediasilaturahim.com

Selasa, 08 Desember 2009

Shalat Dhuha

Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul


Keutamaan Shalat Dhuha
Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda

“Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim[2]

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman.

“Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, dia berkata :”Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)”. Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)”. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. [4]

Hukum Shalat Dhuha
Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]

Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya. [6]

Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha

Waktu Shalat Dhuha
Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.

Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut adalah ; “Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat”.

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka’at [7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya” [8]

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya”. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[9]

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan shalat Dhuha (pagi).

Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat Dhuha. Lalu dia berkata “Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan”[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya
Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat shalat Dhuha” Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman :”Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani, di mana dia bercerita :”Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya, Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat” [15] Diriwayatkan Asy-Syaikhani. [16]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha saat ditanya oleh Mu’adzah :”Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhua?” Dia menjawab : “Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah” [18]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat” [19]

Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Ruku’lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat”. Dan juga seperti sabda beliau :”Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah” Wallahu a’lam

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
http://www.almanhaj.or.id/content/2357/slash/0

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah