Senin, 24 Mei 2010

Syirik Jaman Sekarang Lebih Parah Dibanding Jaman Dahulu

Apabila kita membandingkan kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu dengan kesyirikan yang dilakukan manusia zaman sekarang dan bahkan banyak yang mengaku sebagai muslim, terlihat bahwa kesyirikan zaman sekarang lebih parah daripada kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu. Kaum Musyrikin dahulu tidak mempersekutukan Alloh dalam sifat Rububiyah-Nya. Mereka meyakini bahwa yang mengusai alam semesta ini, yang berkuasa atas segala sesuatu, yang mampu menolong mereka dari mara bahaya hanyalah Alloh ‘Azza wa Jalla semata tidak ada yang lainnya.

Alloh menceritakan perihal kaum musyrikin zaman dahulu di dalam firman-Nya, yang artinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Alloh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alloh)” (QS: Al-Ankabut: 65)

Asy-Syaikh As Sa’di mengatakan: “Kemudian Alloh menerangkan bagaimana tauhid kaum musyirikin tatkala mereka berada dalam mara bahaya dan ketakutan yang mencekam yakni ketika mereka berada di atas bahtera. Pada saat mereka ditimpa ombak yang besar ditengah lautan, mereka meninggalkan sesembahan mereka yang lain dan mereka hanya berdoa kepada Alloh semata (sebab mereka yakin bahwa yang hanya bisa menolong mereka pada saat itu adalah Alloh semata). Maka tatkala mara bahaya itu telah hilang dari mereka dan Alloh selamatkan mereka sehingga mereka sampai di daratan, maka tiba-tiba saja mereka kembali mempersekutukan Alloh dengan tandingan-tandingan, padahal tandingan tersebut mereka yakini tidaklah mampu menyelamatkan mereka” (Taisir Karimir Rohman)

Kesyirikan Saat Ini

Lalu bagaimanakah kondisi sebagian orang yang mengaku-ngaku merupakan bagian dari kaum muslimin sekarang. Diantara mereka ada yang meyakini bahwa ada penguasa lain di alam ini. Ada yang meyakini bahwa yang menguasai pantai laut selatan adalah Nyi Roro Kidul, yang menguasai (atau dalam bahasa mereka “mbahu rekso”) Gunung Merapi adalah mbah ini dan itu, yang menguasai jembatan ini, pohon ini dan yang menyuburkan pertanian adalah mbah anu dan lain sebagainya. Lalu diantara mereka ada pula yang apabila akan ditimpa kesusahan atau mara bahaya, tidak meminta tolong kepada Alloh ‘Azza wa Jalla semata (sebagaimana kaum musyik dulu), namun malah datang kepada dukun-dukun, paranormal-paranormal, ataupun dengan istilah yang lebih unik yaitu Juru Kunci yang pada dasarnya mereka tersebut tidak berkuasa sedikitpun untuk menghindarkan mereka dari bahaya.

Mereka mendatanginya untuk meminta penolak bala, nasehat-nasehat penolak bala seperti membuat sesajen-sesajen dan ritual-ritual yang tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan kesyirikan tersebut diperparah dengan bungkusan-bungkusan “Islami”, seperti membacakan kertas-kertas atau buah-buahan atau sayur lodeh dan sesajian lainnya dengan ayat-ayat seperti ayat Al-Quran. WAllohu ‘Alam, Na’udzu Billah. Sehingga manusia yang tidak memiliki Tauhid dan Akal yang benar mengganggap kesyrikan tersebut sebagai Syariat Islam.

Bukankah ini lebih parah dibandingkan kaum musyrikin terdahulu? Maka semoga Alloh ‘Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin

Mintalah Hanya Kepada Alloh.

Meminta perlindungan atau isti’adzah merupakan salah satu macam dari do’a, sehingga termasuk dalam ibadah. Sehingga didalamnya berlaku kaidah ibadah secara umum yaitu tidak boleh bagi siapapun juga untuk menujukan ibadah tersebut kepada selain Alloh ‘Azza wa Jalla. Sehingga barang siapa yang meminta perlindungan kepada selain Alloh maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan kepada Alloh. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh, maka janganlah kamu menyembah seorang pun didalamnya di samping (menyembah) Alloh” (QS: Jin: 18)

Diantara contoh isti’adzah kepada selain Alloh adalah ruwatan, membunyikan klakson ketika melewati tempat angker dan permisi ketika melewati tempat angker serta contoh-contoh yang disebutkan diatas.

Kandungan Isti’adzah

Dalam isti’adzah terkandung dua amalan, yakni amalan zhohir dan amalan batin. Amalan zhohirnya adalah ketika dia meminta perlindungan itu sendiri kepada yang lain bisa dengan sesama makhluk atau dengan sang kholiq, yakni agar terjaga dan terselamatkan dari kejelekan. Dan amalan bathinnya adalah berupa bersandarnya hati, tenangnya hati dan sikap pasrahnya menyerahkan hajatnya kepada orang atau siapa yang mampu melindunginya.

Maka apabila isti’adzah pada dua macam ini, yakni amalan zhohir dan amalan batin, maka tentulah isti’adzah ini harus ditujukan hanya kepada Alloh, tidak boleh kepada selain-Nya. Mengapa?

Karena didalamnya terkandung amalan hati, dimana berdasarkan ijma’ ulama tidaklah boleh bagi siapapun juga untuk ber-tawajjuh (menghadap), ber-ta’alluq (bergantung) dan menyandarkan hatinya kepada selain Alloh.

Namun apabila yang dimaksud dengan isti’adzah adalah hanya terbatas pada amalan zhohir saja, maka boleh ditujukan kepada selain Alloh (kepada makhluk). Dan perkara seperti ini tentu saja tidak kita ingkari. Terkadang seseorang meminta bantuan kepada saudaranya yang lain agar terhindar dari kejelekan atau marabahaya .Seperti seorang yang minta bantuan polisi dari ancaman pembunuhan atau lainnya. Maka hal seperti ini hukumnya mubah (boleh) namun dengan syarat berikut ini:

Perkara tersebut adalah perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk.
Maka tidak boleh seseorang hamba meminta perlindungan dari bahaya badai dan gempa serta tsunami kepada Nyi Roro Kidul atau kepada makhluk yang lainnya, meminta perlindungan dari bahaya paceklik kepada dukun, kyai ataupun nabi sekalipun. Mengapa? Karena jelas-jelas perkara ini perkara yang sedikitpun tidak mereka kuasai.

Orang yang dimintai tersebut masih hidup
Maka tidak boleh meminta kepada orang-orang yang telah mati, meskipun dia seorang wali atau nabi sekalipun.

Orang yang dimintai tidak dalam keadaan ghoib (terjadi komunikasi)
Maka salah perbuatan orang-orang thoriqot atau kaum sufi yang mereka meminta kepada syaikh-syaikh thoriqotnya (yang tidak hadir) agar terhindar dari suatu bahaya.
Dari ketiga syarat diatas, maka barang siapa yang ketika dalam isti’adzahnya kepada selain Alloh (kepada makhluk) itu tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka sesungguhnya dia telah melakukan kesyirikan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dalam hal isti’adzah.

Ancaman Kepada Kesyirikan

Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni apabila dia dipersekutukan dan dia mengampuni dosa-dosa selainnya kepada siapa yang dikehendakinya” (QS: An Nisa: 116). Rasulullah shalallahu 'alahi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mati sedangkan dia membuat tandingan-tandingan untuk Alloh maka dia masuk neraka” (HR: Bukhori)

Dalam kaitan dengan isti’adzah Alloh menceritakan yang artinya: “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS: Al-Jin: 6). Dari ayat ini Alloh ‘Azza wa Jalla menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Alloh, maka tidaklah dia akan mendapatkan suatu ketenangan, bahkan sebaliknya dia akan bertambah takut dan mendapatkan dosa.

(Dikutip dan diolah dari: Buletin At-Tauhid edisi 19 Sya’ban 1426 H)

www.media-muslim.info

Apakah Orang Seperti Saya Tidak Pantas Di Surga?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Afwan Ustad, saya mau curhat. ustad, saya sedang merasa dizhalimi oleh salah seorang akhwat. Dia seorang yang faham ilmu agama, hafidz al-Qur'an, dan keturunan ulama besar di Jawa.

Kami pernah terlibat perselisihan dalam urusan dunia yang cukup rumit. Dulu, suami saya adalah calon suami wanita tersebut. Sampai sekarang, dia merasa sakit hati karena suami lebih memilih saya daripada dia. Alasan suami tidak memilih dia adalah karena pernah dihina oleh orangtuanya yang merasa mereka adalah keluarga ulama besar, sementara suami hanya dari keturunan ulama kampung. Keluarganya mengatakan bahwa mereka tidak mungkin jadi keluarga karena ada perbedaan strata sosial. Karena itulah, suami saya memilih untuk mundur dan meminang saya.

Ustadz, saya hanyalah wanita umum yang tidak faham agama dengan baik, bukan penghafal al-Qur'an dan bukan pula lulusan pesantren. Terus terang, saya sangat tersanjung karena suami telah memilih saya. Namun, masalah terus berlanjut. Wanita tersebut tidak terima karena suami saya telah meninggalkan dia. Dia selalu menyindir saya dan selalu mengganggu suami lewat sms dan telpon. Bahkan, dia pernah mengajak suami saya untuk bertemu di satu tempat tertentu tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya saya sakit hati terhadap wanita tersebut, tapi saya berusaha untuk tidak membencinya. Ironisnya lagi, dia malah menceritakan hal bohong kepada orang lain dan memfitnah saya.

Ustadz, apakah neraka itu hanya untuk orang-orang seperti saya yang bukan penghafal al-Qur'an? Apakah orang seperti saya tidak pantas di surga? Apakah orang-orang seperti saya tidak boleh berdoa kebaikan dan kebahagiaan?

Tolong Ustadz, beri saya pencerahan. Terima kasih Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X-…….

Jawaban:

Wa'alaikumsalam Wr. Wb. 

Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Anda dan suami yang belum lama melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan suami bisa menjadi pemimpin yg baik hingga kalian berdua pun dapat mewujudkan rumah tangga yg sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, dan pada akhirnya kebahagiaan di dunia dan akhirat pun dapat terwujud, amin Ya Robbal-‘aalamiin. 

Saudariku, apa yang Anda alami itu memang sering terjadi di kalangan masyarakat kita. Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya pemahaman yang baik tentang ajaran-ajaran al-Qur'an dan hadits serta kurangnya komitmen untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, mulai dari hal yang terkecil. Saya yakin bahwa wanita yang Anda ceritakan itu pasti mengetahui bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH bukan diukur berdasarkan status sosial, ras, jabatan ataupun ilmu agamanya, tetapi diukur berdasarkan ketakwaannya. Sebanyak apapun ilmu agama yang dimiliki seseorang, tapi kalau tidak diamalkan, maka hal itu tidak akan menambah kemuliaannya di mata ALLAH. Hal itu justru malah menambah hina di mata-Nya. Tidak sedikit dalil yang menunjukkan hal itu, di antaranya: Firman Allah swt.: “Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13) Hadits Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian.” (HR. Muslim) Pada riwayat lain disebutkan: “hati dan amal kalian.” Hadits Nabi saw.: “Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan (manfaatkan).” (HR Tirmidzi) Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu akan dimintai pertanggungjawaban oleh ALLAH atas ilmunya, apakah diamalkan atau tidak. Dari sini, dapat difahami bahwa bila ilmu tersebut diamalkan, maka kemuliaannya di mata ALLAH akan bertambah. Tetapi bila tidak diamalkan, maka kemuliaannya justru akan berkurang.

Lalu, kenapa hal seperti itu bisa terjadi pada diri wanita tersebut, padahal dia adalah orang yang tahu agama, bahkan hafal al-Qur`an? Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya komitmen yang baik untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Karena itu, Anda tidak perlu cemas, stres, apalagi sampai putus asa terhadap rahmat ALLAH! Yakinlah bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH diukur berdasarkan ketakwaannya, seperti yang ditegaskan ALLAH dalam surah al-Hujuraat tersebut. Jadi, kemuliaan seseorang bukan diukur berdasarkan banyak tidaknya ilmu agama yang dimiliki. Ketakwaan itu sendiri sangat ditentukan oleh komitmen seseorang untuk mengamalkan apa yang dia ketahui, bukan oleh banyaknya ilmu yang dia miliki.

Saudariku, ketahui pula bahwa surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, bukan orang-orang yang berilmu. ALLAH swt. berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-135)

Sekarang hadapi masalah Anda dengan hati dan pikiran yg jernih. Lakukan dua pendekatan: pendekatan horisontal, yaitu dengan membicarakan masalah ini dengan suami. Tentunya sebisa mungkin hindari emosi, karena emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Emosi justru akan menambah runyam masalah. Yang kedua adalah pendekatan vertikal, yaitu dengan cara berdoa kepada ALLAH swt.. Memohonlah kepada-Nya agar Anda diberi ketabahan dalam menyelesaikan masalah ini, semoga suami bisa menghadapi masalah ini secara dewasa, dan semoga wanita tadi diberi hidayah oleh ALLAH swt. Selamat mencoba! Wallaahu A’lam….

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

www.mediasilaturahim.com 
www.media-silaturahim.blogspot.com

Bila Ayah Tiri Lepas Tanggung Jawab, Apa Dapat Warisan?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau menanyakan sesuatu. Begini ceritanya, ibu saya sudah meninggal sekitar 3 bulan yang lalu. Sekarang ayah tiri saya mengutak-atik harta warisan yang ditinggalkan ibu saya. Bahkan, sebenarnya hal itu sudah dia lakukan sebelum ibu meninggal dunia.

Sebenarnya pokok permasalahan bukan terletak pada tata cara bagi waris (fara’idh) yang sudah disepakati oleh semua ahli waris. Tapi pokok permasalahan terletak pada kewajiban dan tanggung jawab ayah tiri saya selama ibu masih hidup. Sebagai contoh, sejak dia menikah dengan ibu saya, ternyata ibu saya-lah yang menafkahi keluarga hingga punya berbagai macam harta. Ayah tiri saya hanya enak-enakan saja dan tidak kerja sama sekali.

Waktu ibu sakit, dia juga tidak mengambil alih fungsinya sebagai seorang suami. Akhirnya, saya bawa ibu ke rumah saya dan saya urus beliau hingga beliau dipanggil ALLAH swt.. Tidak hanya itu, setiap kali diajak berembug soal biaya pengobatan ibu yang sedang sakit, dia selalu mengatakan “tidak tahu” dan “tidak punya uang”. Padahal, semua harta yang diperoleh ibu saya melalui usahanya sendiri, telah dikuasai oleh ayah tiri saya. Saat kami minta untuk menjualnya guna membiayai pengobatan ibu, dia selalu melarang. Bahkan karena kami telah menjual harta bawaan ibu yang sudah dihibahkan kepada kami (anak-anaknya), dia pun menggugat kami ke Pengadilan Agama.

Anehnya lagi, setiap kali saya mengadakan pengajian di rumah guna mendoakan kesembuhan ibu, dia malah melarangnya. Begitu juga, saat ada dokter teraphist yang datang untuk mengobati ibu saya, dia malah menyuruhnya pulang lagi. Seakan-akan dia menginginkan agar ibu saya cepat meninggal.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya harus menghadapi masalah ini? Saya merasa tidak ada keadilan dalam masalah ini. Sebab menurut saya, ayah tiri saya telah meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami, tapi mengapa dia mengejar-ngejar haknya untuk mendapatkan warisan dari ibu saya? Harta bawaan yang sudah dihibahkan kepada kami pun ikut dituntutnya. Malahan sebagian warisan tersebut sudah dia jual untuk kepentingan pribadinya tanpa seizin empat orang ahli waris lainnya, termasuk dua anaknya alias adik-adik saya lain ayah yang sekarang semuanya ikut saya. Mereka ikut saya karena tidak tahan melihat tingkah laku ayahnya yang kurang biadab. Terima kasih atas penjelasannya. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-.....

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga seluruh amal baiknya semasa hidup diterima di sisi-Nya dan dosa-dosanya juga diampuni oleh-Nya. Saudaraku yang terhormat, apa yang telah dilakukan oleh ayah tiri Anda memang tidak baik dan bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Namun, hal itu belum bisa dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan dirinya terhalang dari haknya sebagai ahli waris dari isterinya sendiri (ibu Anda). Sebab, walaupun terkesan dia menginginkan kematian ibunda, namun secara hukum dia tidak terbukti melakukan tindakan pembunuhan terhadap ibunda.

Perlu diketahui bahwa, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak seseorang sebagai ahli waris:

  1. Orang kafir: Orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Muslim, demikian pula sebaliknya, walaupun keduanya memiliki hubungan darah atau hubungan pernikahan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Orang Muslim tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Pembunuh: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuhnya, sesuai sabda Nabi saw.: “Pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Abu Daud)

Dalam kasus ayah tiri Anda, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua faktor tersebut. Karena itu, dia pun masih berhak untuk mendapatkan bagian dari harta waris, sesuai ketentuan syariah. Adapun mengenai harta waris yang sudah diambil dan dijualnya, itu merupakan hak semua ahli waris. Selama harta itu belum dibagi secara sah sesuai ketentuan ilmu fara’idh, maka secara hukum harta itu masih milik bersama (semua ahli waris), sehingga ayah tiri Anda tidak berhak untuk menjualnya tanpa izin dari ahli waris yang lain. Bila hal itu dia lakukan, berarti dia telah menzhalimi orang lain. Dalam hal ini, dia dituntut untuk mengembalikan harta tersebut, atau -paling tidak- mengembalikan nilainya, atau bisa juga dikurangi dari bagiannya nanti.

Saudaraku yang terhormat, masalah sikap ayah tiri Anda yang terkesan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan terkesan menginginkan kematian ibunda, pasrahkan dan serahkan sepenuhnya kepada ALLAH swt.. Biarlah ALLAH yang memberi balasan yang setimpal untuknya. Yakinlah bahwa setiap keburukan, sekecil apapun, akan dibalas oleh-Nya. ALLAH swt. berfirman: “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 8) Bahkan, bisa jadi balasan itu akan diberikan ALLAH di dunia, mungkin dalam bentuk kehidupannya yang sulit atau tidak berkah.

Jadi, Anda tidak perlu merasa risau dan bertanya-tanya mengapa dia tetap memperoleh bagian warisan. Sebab dalam masalah warisan ini, yang bisa diintervensi oleh hukum adalah bila seorang ahli waris beragama lain (kafir) atau terbukti melakukan pembunuhan terhadap si mayit. Bila kedua hal itu tidak ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum waris (fara’idh) seperti biasa. Sekarang ikuti saja ketentuan tersebut dan pasrahkan sepenuhnya kepada ALLAH bila dia memang benar-benar ingin menggugat Anda dalam kaitannya dengan harta bawaan yang sudah dihibahkan ibunda kepada Anda dan adik-adik. 

Saudaraku, terkadang sikap buruk seseorang terhadap kita atau terhadap orang yang kita cintai memang seringkali membuat kita emosi atau merasa kesal, dan itu sangat manusiawi. Namun sebagai umat Nabi MUHAMMAD saw., kita dituntut untuk mengikuti tauladan yang beliau contohkan kepada kita, termasuk dalam menyikapi sikap tidak menyenangkan dari orang lain. Lihatlah bagaimana beliau selalu legowo dan selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas akan membunuh beliau. Itulah puncak ketinggian akhlak seorang manusia yang dipilih oleh ALLAH swt. sebagai panutan bagi seluruh manusia. 

Jadi, berusahalah untuk ikhlas terhadap apa yang telah terjadi, syukur-syukur Anda bisa sampai pada tahap memaafkan kesalahan ayah tiri Anda. Yakinlah bahwa bila Anda ikhlas, maka ALLAH akan membukakan untuk Anda pintu-pintu rezeki dan pintu-pintu keberkahan-Nya. Ingat, rezeki ALLAH tidak hanya memiliki satu pintu saja, tetapi memiliki pintu-pintu yang sangat banyak. Jangan sampai kita berusaha mati-matian untuk membuka pintu yang satu itu saja, sementara pintu-pintu yang lain tertutup. Padahal, bisa jadi pintu-pintu lain itulah yang justru mengandung banyak keberkahan. Wallaahu A’lam.....

Source: 
www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com

Masih Ada Hutang, Bagaimana Nasib Almarhum Ayah Kami?

Assalamualaikum Wr. Wb.

Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan Allah swt.. Ustadz, saya ingin memohon bantuan Ustadz untuk masalah yang sedang dihadapi keluarga kami yang sebenarnya sudah cukup lama terjadi namun hingga sekarang masih mengganjal di hati kami.

Sebenarnya saya agak bingung mau mulai dari mana. Begini Ustadz, almarhum ayah saya kira2 tahun 1995 (tidak terlalu yakin) menjual tanah milik beliau kepada 3 orang pembeli. Karena berdasarkan rencana tata kota, tanah tersebut akan dijadikan jalan by pass dan batas DMJ jalan (istilahnya konsilidiasi), maka masih ada kelebihan tanah. Sebenarnya ayah saya ingin menjual seluruh tanah tersebut, tapi salah satu pembeli (si O) yang membeli tanah di posisi pinggir jalan yang sebenarnya juga berminat membeli seluruhnya, tidak mau mengambil tanah tersebut, dengan alasan takut nanti tanah yang dibelinya akan banyak terpakai untuk rencana tata kota tersebut. Karena itulah dibuat perjanjian di atas segel antara ayah dan si O tersebut, bahwa si O akan membeli sisa tanah tersebut setelah selesai masalah konsilidiasi rencana tata kota tersebut dengan harga yang sama saat si O membeli tanah yang telah dibeli sebelumnya yaitu dengan harga Rp. 40.000/m2, (perjanjian ini kami ketahui setelah ayah tiada). Padahal harga tanah saat konsilidasi selesai melonjak menjadi 10 kali lipat.

Kira-kira tahun 1997/1998, ayah saya sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit ibu kota provinsi tempat saya tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena tidak ingin terlalu merepotkan kami, anak2 beliau, tanpa sepengetahuan kami, ternyata ayah meminjam uang untuk tambahan biaya rumah sakit kepada si O yang  diantarkan beliau saat menjenguk ayah di rumah sakit. Pada saat itu si O menyerahkan kwitansi tanda terima uang sebesar Rp. 2.000.000,- yang ditanda tangani oleh ayah saya sebagai tanda terima uang pinjaman. Waktu itu kami sekeluarga benar2 berlinangan air mata, karena tidak menyangka ayah akan berbuat seperti itu, dan kami benar2 tidak merasa enak kepada ayah. 

April 1999, ayah kami berpulang ke Rahmatullah. Tentu sebagai ahli waris Alharmahum, kami pun berkewajiban untuk menyelesaikan utang piutang Almarhum yang masih ada, termasuk masalah uang pinjaman ayah kepada si O. Pada saat kami mendatangi Si O untuk membayar utang ayah, si O tidak mau menerima uang itu dengan 2 alasan:

  1. Si O ingin membeli sisa tanah yang ia beli dulu dengan utang Almarhum ayah dengan harga sama, yaitu Rp 40.000, dengan alasan ayah kami dulu telah berjanji dan janji ayah adalah merupakan utang. Sebagai ahli waris kami merasa keberatan, apalagi bagaimana si O menghargai tanah tersebut. Kami pun memutuskan untuk tidak akan menjual tanah tersebut.
  2. Si O mengatakan bahwa uang yang dipinjamkan kepada ayah kami adalah merupakan hasil penjualan kalung emasnya, dan si O pun ingin kami menggantinya dengan emas sebanyak yang ia jual dulu. Hal ini tidak disebutkan dalam perjanjian sebelumnya, bahkan tidak dicantumkan dalam kwitansi. Tapi demi lunasnya utang ayah, kami bersedia membayarnya dengan emas. Pada saat itu kami pergi ke toko emas guna menanyakan: "Dengan uang 2 juta rupiah di tahun 1997, berapa gram emaskah yang didapat pada saat itu?" Sesuai dengan informasi itulah, akhirnya kami membeli perhiasan emas dengan harga di tahun 1999 (harganya lebih dari 2 kali lipat). Tapi walaupun telah kami belikan perhiasan emas, namun si O tetap tidak mau menerimanya. Dia tetap bersikeras ingin dikompensasikan ke sisa tanah warisan ayah kami dengan harga Rp 40.000 per meter, dan kurang lebihnya akan diperhitungkan kemudian. Yang ingin saya tanyakan:

  • Dengan tidak maunya kami menjual tanah tersebut, apakah berarti almarhum ayah kami masih terikat utang?
  • Dengan tidak bersedianya si O menerima piutangnya, bagaimanakah nasib ayah kami di mata Allah berkaitan dengan utang tersebut?

Ustadz, kami mohon bantuan bagaimana jalan keluar dari masalah kami ini, agar ayah kami tenang. Karena tepat bulan April tahun ini, telah 11 tahun ayah pergi meninggalkan kami. Kami ingin Mendiang tenang di alam sana. Atas perhatian dan jawabannya, kami haturkan ribuan terima kasih....


Wassalamualaikum Wr. Wb.
R-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.


Ibu R yang saya hormati, setelah menganalisa masalah yang dialami keluarga Anda dan -tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt., akhirnya saya beranikan diri untuk menjawabnya. Di antara kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya setelah orangtua meninggal dunia adalah melaksanakan janji-janji yang belum dipenuhinya dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi ra., bahwa Abu 'Usaid berkata: "Ketika kami sedang berada di dekat Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah datang kepada beliau, lalu dia berkata: 'Wahai Rasulullah, masih adakah (kewajiban) berbakti kepada kedua orangtuaku setelah keduanya meninggal dunia?' Rasulullah saw. pun menjawab: 'Ya (masih ada), yaitu mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia, membina silaturahim dengan saudara-saudaranya dan memuliakan sahabat keduanya." (HR. Abu Daud)


Hadits ini jelas menegaskan bahwa upaya untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan oleh orangtua semasa hidupnya namun belum sempat dilaksanakannya hingga ajal menjemputnya, merupakan kewajiban anaknya, bahkan dikatagorikan sebagai upaya untuk berbakti kepada orangtua setelah dia meninggal dunia. Termasuk ke dalam katagori melaksanakan janji orangtua tersebut adalah melunasi hutang-hutangnya. Ini merupakan satu hal yang sangat penting karena menyangkut nasib orangtua di akhirat, seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi berjudul: "Meninggal Tapi Masih Punya Hutang". Dalam konsultasi tersebut, saya menyebutkan beberapa hadits, antara lain:

  1. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
  2. Pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Berdasarkan hadits-hadits ini, maka dalam prosesi pengurusan jenazah, biasanya pihak keluarga si mayyit mengatakan: "Apabila ada masalah hutang piutang yang berkaitan dengan almarhum, maka mohon segera disampaikan kepada kami, pihak keluarga." 

Hal ini dimaksudkan agar di mata ALLAH, si mayit bisa terbebas dari berbagai macam tanggungan, termasuk hutang piutang. Bahkan bila tidak ada pihak keluarga yang siap menanggungnya, maka dianjurkan kepada siapapun yang memiliki kemampuan, untuk menanggungnya. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Abu Qatadah. 

Berdasarkan hal ini, maka ibu tidak perlu khawatir akan nasib ayahanda. Sebab, seperti yang ibu katakan tadi, ibu dan ahli waris lainnya siap untuk menanggung semua hutang dan janji yang belum dilaksanakan oleh ayahanda. Dengan demikian, maka ayahanda pun terbebas dari segala macam tanggungan duniawi (hutang piutang). Sekarang tinggal doakan saja ayahanda agar dosa-dosanya diampuni ALLAH swt. dan amal kebajikannya diterima oleh-Nya, kemudian selesaikanlah semua tanggungan dan janji yang masih ada.

Namun, melihat apa yang pernah terjadi antara ayahanda dengan si O, ada beberapa hal penting yang ingin saya jelaskan agar dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda dan keluarga dalam menyelesaikan masalah hutang piutang dan janji ayahanda.

  1. Masalah janji yang dilakukan antara ayahanda dengan si O mengenai jual beli tanah, dari segi hukum janji tersebut batal (tidak sah). Setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab batalnya perjanjian tersebut: Pertama: Perjanjian tersebut merupakan perjanjian jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi). Sebab, kedua belah pihak 
    (terutama pembeli) tidak tahu persis kondisi barang yang akan dibeli, baik menyangkut kuantitas ataupun nilai jualnya pasca terjadinya konsolidasi tersebut. Bisa jadi tanah itu lebih sedikit dari harapan sehingga dapat merugikan pihak pembeli, atau malah harganya yang melonjak tinggi seperti kenyataan yang terjadi sehingga dapat merugikan pihak penjual. Apalagi dengan kondisi seperti itu, harga sudah ditetapkan terlebih dahulu, bukan disesuaikan dengan kondisi yang akan datang. Jual beli seperti ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak, padahal Islam sangat menjaga hak pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi (akad). Sebagai dalil mengenai diharamkannya jual beli yang mengandung unsur gharar ini, saya kutipkan sabda Nabi saw. sebagai berikut: "Jangan kamu membeli ikan yang masih berada di dalam air, karena jual beli seperti itu adalah jual beli tipuan." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi). Jual beli ikan seperti ini dianggap mengandung gharar karena belum diketahui pasti sifat-sifat ikan tersebut, baik kuantitas maupun kualitasnya.  Kedua: Jual beli tersebut dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli: "Saya jual kereta ini bulan depan, setelah gajian." Menurut jumhur (mayoritas) ulama, jual beli seperti ini batal karena mengandung unsur ketidakpastian. Dari kedua alasan tersebut, maka meskipun telah terjadi perjanjian antara ayahanda dengan si O untuk menjual tanah tersebut pasca konsolidasi, menurut saya pribadi isi perjanjian itu sudah batal sejak awal sehingga tidak perlu dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan hadits lain yang menyatakan bahwa persyaratan yang ditetapkan (dalam suatu akad) akan batal bila bertentangan dengan ketentuan syariat. Nabi saw. bersabda: “Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)
  2. Mengenai hutang yang akan dibayarkan kepada si O, menurut hukum Islam, apa yang dilakukan oleh si O sama sekali tidak benar. Andaikata dia memang memberikan pinjaman uang itu setelah menjual emasnya, maka yang seharusnya diserahterimakan kepada ayahanda adalah emas. Adapun permasalahan penjualan emas itu atas perintah ayahanda, tidak termasuk ke dalam akad tersebut. Dengan demikian, bila yang diserahkan emas, maka harus diganti dengan emas (atau nilainya dari emas tersebut). Tapi bila yang diserahkan uang, maka harus diganti pula dengan uang. Kecuali, bila memang ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa pada saat itu si O tidak memiliki uang, hanya emas. Kemudian hasil penjualan emas itulah yang diserahkan kepada ayahanda sebagai pinjaman untuknya.

Menanggapi sikap si O pada kedua masalah di atas, ada satu hal yang ingin kembali saya tekankan di sini, dengan tujuan agar dapat menjadi pelajaran yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Yaitu, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita hendak melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Artinya, kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan kita tuntut dan juga harus memberikan keringanan, bukan malah mempersulitnya. Sebab, walau bagaimanapun, orang yang meminjam uang itu (bila Muslim), maka dia juga merupakan saudara kita. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)  Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: "Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".

Ini mengisyaratkan bahwa apabila kita masih diberi kelonggaran oleh ALLAH, maka kita dianjurkan untuk menyedekahkan piutang kita. Tetapi bila kita memang tidak memiliki kelonggaran seperti itu sehingga kita tidak bisa menyedekahkannya, maka setidaknya kita dituntut untuk memberikan keringanan, bukan mempersulit seperti yang dilakukan si O. Wallaahu a'lam....

Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat, amin.

Source:
www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com

Jumat, 30 April 2010

rahasia kesehatan nabi Muhammad SAW.

APA RAHASIA KESEHATAN NABI MUHAMMAD SAW ?

“4B KIAT HIDUP SEHAT” sebagaimana yang dijalani oleh Rasululllah Saw:
1. BANYAK MINUM MADU (Q.S AN-NAHL 69) & AIR PUTIH
2. BERBEKAM 1 BULAN 1 X & BANYAK OLAHRAGA (HR.Bukhari )
3. BERFIKIR POSITIF / TIDAK BERBURUK SANGKA(Q.S.Al-Hujurat 12)
4. BANGUN MALAM UNTUK SHOLAT TAHAJJUD (Q.S. Al-Isra’ 79)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab 21)


1. BANYAK MINUM MADU ( AN-NAHL 69 ) & MINUM AIR PUTIH
“ kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (MADU) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan” (An-Nahl 69)
Ini sesuai dengan sunnah Rasul, Madu dan air Putih itu LUAR BIASA KHASIATNYA. Madu adalah obat yang menyembuhkan kata Allah didalam Al Qur’an,sudah tidak diragukan lagi keunggulannya, Subhanallah. Disamping itu madu mempunyai KEISTIMEWAAN yaitu :

• Sangat cepat diserap oleh tubuh
• Tanpa proses pencernaan
• Tidak ada ampas
• Kandungannya 60% dari darah jadi sangat cepat diserap oleh darah
• 1 sendok makan = 1 butir telur
1 kilo gram madu = 3 kg daging sapi segar


2. BERBEKAM 1 BULAN 1X & BANYAK OLAHRAGA
Imam At Tirmidzi didalam jami’nya, dari Humaid At Thawil ra, dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda“ Sebaik-baik pengobatan yang kalian lakukan adalah Bekam “ (HR. Al Bukhari No. 5696 dan Muslim No. 1577, Hadits shahih menurut syarat Asy-Syaikhany. Al-Albany menshahkannya As-Silsilag Ash-Shahihah, 1053.26. Lihat pula Musnad Ahmad). Dan sabdanya lagi “ Tidak ada obat yang bisa disetarakan dengan berBekam dan mengeluarkan darah (fashd) “ Juga sabdanya lagi, “ Sesungguhnya syaitan berjalan dalam diri anak adam melalui saluran darah “. Sahabat Abdullah bin Umar ra berkata, “ Terdapat banyak manfaat dari memelihara darah “ Rasulullah SAW memuji orang yang berBekam, “ Dia membuang darah yang kotor, meringankan tubuh serta menajamkan penglihatan “
“ Jibril memberitahukan kepadaku bahwa Bekam adalah pengobatan yang paling bermanfaat bagi manusia “ ( Shahihul Jami, 218 menurut Syaikh Al-Albany).
Bekam merupakan Perawatan, Pencegahan serta Penyembuhan Penyakit yang telah dipraktekkan sendiri oleh Rasulullah SAW, sebagaimana Baginda SAW sendiri diperintahkan oleh para Malaikat ketika Beliau SAW di Isra dan di Mi’rajkan oleh Allah SWT ke Sidratul Munthaha “ Pada malam aku di Isra Mi’rajkan, aku pada waktu itu melewati sekerumunan Malaikat dan mereka berkata : Ya Muhammad anjurkan kepada umatmu untuk berBekam “ (HR. At Tirmidzi). Allah SWT mewajibkan kita satu bulan dalam setahun yaitu di Bulan Ramadhan untuk menyucikan Rohani dengan berpuasa, maka wajarlah bila Rasulullah SAW menyunahkan kita untuk berBekam satu bulan sekali bagi membersihkan Jasmani kita.

Beliau tidak pernah bermalas-malasan apalagi tidur berlebih-lebihan, Beliau selalu Aktif dan Bekerja. Nah bagi ibu-ibu rumah tangga pekerjaan sehari-hari sebenarnya juga merupakan olahraga asal dilakukan dengan hati yang senang dan ikhlas (jangan gerundel). Tapi sebaliknya, jika semua pekerjaan rumah oleh pembantu dan kita hanya duduk saja tentu tubuh juga kurang bergerak, apalagi jika tidak pernah berolahraga. Olahraga dan gerak tubuh selain menjaga kesehatan juga membuat Awet muda.


3. BERPIKIR POSITIF “TIDAK SU’UDZHON / TIDAK BERBURUK SANGKA” (AL-HUJURAT 12 )
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang” (Al-Hujurat 12). Contonya ketika berdakwah, Rasulullah SAW pernah dihina, dicaci, disakiti, diteror oleh kaum kafir Quraisy, tapi semua itu tidak membuat Beliau kecewa, patah semangat, apalagi stress. Beliau menghadapi setiap kesulitan dengan senyum, ketika ada beban yang berat Beliau tawakal kepada Allah. Rasullah SAW selalu berfikir positif tentang sikap orang lain, melihat masalah yang ada dengan hati dan pikiran yang jernih dan tenang. Sehingga kesehatan jiwa beliau terjaga dan berpengaruh terhadap fisik. Karena kita ketahui STRESS ITU BISA MEMICU BERBAGAI PENYAKIT. Banyak hikmah yang dapat kita petik dari kiat ketiga ini, contohnya : jika diantara kita ada yang belum mendapat jodoh, berfikir positif bahwa saat ini Allah masih memberi kita kesempatan yang lebih luas untuk mengabdi kepada kedua orang tua kita. Contoh lain : ketika kita kehilangan dompet, jangan stress karena belum tentu dengan stress dompet kita akan kembali. Tapi berfikirlah tenang, berusahalah untuk mendapatkannya kembali dan mendoakan orang yang mengambilnya atau yang menemukannya semoga ia mendapat hidayah. Tenang dan jangan panik, pandanglah setiap kejadian dengan positif, mungkin kita malas sedekah atau Allah sedang menguji kesabaran kita.


4. BANGUN MALAM UNTUK SHALAT TAHAJJUD (AL-ISRA 79)
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke Tempat yang terpuji” (Al-Isra 79) Rasulullah SAW selalu menikmati bangun malam untuk shalat tahajjud. Shalat tahajjud itu dapat menenangkan jiwa, karena kondisi tenang dan hening akan membuat jiwa kita lebih khusyu dan bisa sepuasnya curhat kepada Allah SWT sekaligus merenung tanpa diganggu oleh kesibukan dan aktifitas seperti disiang hari. Jadi dari sisi kejiwaan, shalat Tahajjud membuat jiwa tenang asal dilakukan dengan keikhlasan. Selain itu gerakan-gerakan shalat yang teratur juga merupakan olahraga yang bisa menjaga KESEHATAN. Alangkah baiknya jika TIDUR DI AWAL yaitu SETELAH SHALAT ISYA (kecuali ada tamu). Jangan lagi melakukan aktifitas berat, agar saat bangun malam TUBUH KITA SUDAH SEGAR KEMBALI. Tapi sayangnya masih banyak dari kita yang tidur larut malam sehingga saat Shalat Tahajjud kondisi tubuh kita kurang segar dan mengantuk,sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal.

“ Didalam sistem pengobatan Tuhan, kesembuhan dan kesehatan bukan hal yang utama yang di lakukan dokter-dokter pada umumnya. Tuhan dalam sistemnya, menetapkan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang utama, dapatkan Tuhan, Insya Allah akan dapatkan segala-galanya; kesehatan, kesembuhan yang di harapkan”. (Abuya Syeikh Imam Ashari Muhammad At Tamimi).


Semoga kita menjadi hamba Allah SWT yang pandai brsyukur atas segala Ni’mat yang diberikan termasuk Kesehatan yang kita rasakan saat ini, mudah-mudahan Allah SWT selalau membimbing kita semua kepada jalan yang lurus dan Sunnah Kekasihnya Rasulullah SAW….Amin !

http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=390389579360

MENANGIS KRN tAKUT KPD ALLAH TA'ALA

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan berkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya AKU TAKUT KEPADA ALLAH’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])


Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan:

“Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.


Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan:

“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”


Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan;

"Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).


Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah:

Suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya:

“Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.


al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya:

“Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”


Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya:

“Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab:

“Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”


Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74). Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!

Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/01/05/menangis-karena-takut-kepada-allah/

Suamiku Ingin Merebut Kembali Mahar Perkawinan

Suamiku Ingin Merebut Kembali Mahar Perkawinan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, sebelumnya saya minta maaf bila kata-kata saya terlalu “to the point”. Hal itu disebabkan karena saya tidak bisa merangkai kata-kata yang indah. Begini Pak Ustadz, saya terpaksa bercerai dengan suami saya karena dia telah pergi meninggalkan saya dan anak-anak demi wanita lain. Namun, dia mengajukan banding karena tidak puas dengan putusan hakim. Yang menjadi keberatannya adalah masalah “mahar”.
Pernikahan saya yang berujung pada perceraian ini merupakan pernikahan saya yang kedua kali dengannya. Sebelumnya saya pernah menikah dengannya, tepatnya pada tahun 1998. Alhamdulillah, kami dikaruniai 3 orang anak. Tapi karena sifatnya temperamental dan sering main perempuan, akhirnya kami pun bercerai pada tahun 2006. Pada perceraian kami yang pertama itu, ada satu hal yang unik. Saya tidak memperoleh nafkah iddah dan juga nafkah untuk anak-anak. Bahkan pembagian harta gono-gini mengalami proses yang rumit dan panjang.
Rumah yang kami tempati adalah rumah yang kami beli dari Mr. A setelah anak pertama kali lahir. Akan tetapi setelah sekian lama dibeli, sertifikat rumah itu belum juga dibalik-namakan olehnya, sehingga saya tidak bisa menuntut rumah itu sebagai harta gono-gini. Dia berkilah bahwa rumah itu bukan rumahnya, buktinya sertifikat rumah itu bukan atas namanya. Bahkan, sepertinya dia telah bersekongkol dengan mantan pemilik rumah itu, karena mantan pemilik rumah itu mengatakan bahwa suami saya hanya menumpang di rumahnya (ada pernyataan tertulis dari Mr. A). Hakim juga tidak memutuskan rumah tersebut milik siapa, karena suami saya sendiri tidak mengakui bahwa rumah tersebut sebagai miliknya. Saya sendiri tidak dapat membuktikan kebenarannya karena semua surat berharga disimpan oleh suami saya.
Setelah terjadi perceraian, saya dan anak-anak kembali ke rumah orangtua saya di Sumatera. Semua nafkah anak ditanggung oleh orangtua saya. Sementara suami saya dengan sukacitanya bisa menempati rumah itu bersama wanita lain yang dinikahinya secara sirri.
Awal tahun 2009, anak-anak ingin pergi berlibur ke Jakarta. Kebetulan saya memiliki saudara yang juga tinggal di Jakarta. Sebelum kami berangkat, orangtua saya berpesan kepada saya: “Coba hubungi ayah anak-anak, siapa tahu hati dan pikirannya terbuka saat melihat anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak pernah dia temui dan dia nafkahi.”
Sesampainya di Jakarta, saya pun menghubungi dia. Dari sinilah, anak-anak saya dapat bertemu kembali dengan ayahnya, bahkan hampir setiap hari. Mau ga mau, saya juga bertemu dengannya, karena anak-anak tidak mau bertemu dengan ayahnya kalau tidak ditemani oleh saya. Dia pun membawa anak-anak ke rumahnya, rumah yang dulu kami tempati bersama. Kebetulan menurutnya, dia sudah berpisah dengan isteri sirrinya.
Waktu liburan tidak lama, anak-anak pun harus kembali ke sekolah. Sebelum kami pulang ke Sumatera, mantan suami saya itu mengajak saya untuk bersatu kembali, katanya demi anak-anak. Saya tidak langsung mengiyakan, bahkan saya meminta dia untuk memikirkan kembali niatannya itu. Tetapi dia terus mengejar saya. Bahkan setiap hari, dia selalu menelpon saya. Dia meminta maaf kepada saya dan mengakui semua kesalahan yang pernah dia lakukan dulu, lalu dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan dia bersedia memberikan rumah yang dia tempati itu sebagai maskawin atau mahar untuk saya.
Akhirnya kami pun menikah kembali pada akhir Maret 2009 dengan maskawin sebuah rumah (tercatat dalam buku nikah). Namun sayangnya, baru dua minggu usia pernikahan kami, penyakit lama suami saya kambuh lagi. Dia berhubungan kembali dengan mantan isteri sirrinya itu. Bahkan 2 minggu kemudian, suami saya benar-benar pergi meninggalkan rumah dan tinggal bersama wanita tersebut. Saya sudah berusaha menyadarkan dan merayunya agar dia mau kembali, tapi dia malah mengatakan bahwa dia salah mengambil keputusan saat menikah lagi dengan saya. Katanya, dia tidak bisa berpisah dari wanita itu, lalu dia mengirim SMS yang isinya dia menceraikan saya.
Setelah 6 bulan menunggu, akhirnya saya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dengan proses yang cukup lama (sekitar 6 bulan). Hakim pun mengabulkan gugatan cerai saya, lalu dia menetapkan bahwa rumah itu menjadi milik saya karena sudah dijadikan maskawin.
Seperti yang saya sebutkan di awal, suami saya merasa keberatan dengan keputusan hakim tersebut. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah memberikan rumah itu kepada saya karena rumah itu bukan miliknya. Padahal pada persidangan cerai, saya berhasil menemui Mr. A (si penjual rumah) dan mendapat pernyataan darinya bahwa rumah itu memang sudah dibeli oleh suami saya.
Sekarang suami saya sudah mengajukan memori banding ke PTA, lalu dia menemui Mr. A guna meminta agar Mr. A mau mencabut kembali pernyataannya yang mengatakan bahwa rumah itu sudah dibeli oleh suami saya. Saat ini, saya benar-benar mendapat tekanan dari dua pihak; pertama adalah dari suami saya yang mengajukan banding ke PTA dan mengklaim bahwa saya tidak berhak atas rumah itu, dan kedua adalah dari Mr. A yang menuduh saya telah menempati rumahnya tanpa izin. Lalu dia meminta saya untuk segera meninggalkan rumah itu, kalau tidak, dia akan menuntut saya dengan tuntutan pidana.
Pak Ustadz, saya benar-benar merasa tertekan dalam menghadapi masalah ini, walaupun saya tidak lupa untuk selalu memohon kepada ALLAH swt. agar Dia meringankan beban saya ini. Saya juga membutuhkan pencerahan dari Pak Ustadz. Langkah apa yang perlu saya lakukan? Lalu bagaimana pendapat Pak Ustadz mengenai status rumah tersebut?
Atas pencerahan dan penjelasan yang Ustadz berikan, saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, pertama saya ingin mengucapkan prihatin atas musibah yang menimpa Anda. Mudah-mudahan Anda diberi ketabahan dalam menghadapinya serta diberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik, amin. Dari cerita Anda yang cukup panjang dan mendetail itu, saya bisa membayangkan betapa tertekan dan terpukulnya hati Anda. “Sudah jatuh tertimpa tangga”, nampaknya itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang sedang Anda alami. Sebab, di samping harus menanggung rasa sakit akibat perlakuan suami yang tidak bertanggung jawab itu, Anda juga dihadapkan pada kasus perebutan rumah yang secara hukum telah menjadi milik Anda.
Saudariku, karena apa yang Anda sampaikan lebih banyak curhatnya daripada pertanyaan atau permohonan penjelasan, maka jawaban yang saya berikan pun tidak terlalu panjang. Namun demikian, saya berharap jawaban yang saya berikan ini dapat menjadi pencerahan bagi Anda dalam menghadapi masalah tersebut.
Bila ditinjau dari hukum Islam, rumah tersebut jelas telah menjadi milik Anda karena ia telah dijadikan sebagai maskawin untuk Anda. Sebagaimana diketahui, maskawin atau mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, seperti yang difirmankan ALLAH swt.: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. Ali ‘Imran [4]: 4) Bila maskawin itu tidak dibayarkan oleh suami, maka ia akan menjadi hutang baginya sampai kapanpun kecuali bila sang isteri mengikhlaskannya.


Jadi, baik menurut agama ataupun hukum, ibu bisa menang, apalagi pernyataan bahwa rumah itu dijadikan mahar tertulis di buku nikah. Buku nikah merupakan bukti yang kuat di pengadilan. Inilah yang dijadikan landasan hukum bagi hakim di pengadilan agama untuk menetapkan keputusan bahwa rumah itu telah menjadi milik Anda. Mudah-mudahan hal ini juga akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim di PTA nanti, amin.
Saudariku, menurut saya apa yang sedang dilakukan oleh suami ibu dengan meminta kepada Mr. A hanyalah rekayasa belaka. Dia berusaha untuk mencari celah agar rumah itu menjadi miliknya lagi, baik dengan memberikan kesaksian (sumpah) palsu ataupun membuat bukti palsu. Hal seperti itu bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf (Lihat tulisan saya yang berjudul “Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu”, dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/budaya-sumpah-dan-kesaksian-palsu.html ). Apalagi pada zaman sekarang ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi, bahkan ada di mana-mana, terutama di dunia peradilan. Keadilan seakan-akan sudah menjadi hal yang tidak penting lagi, yang penting adalah uang dan kepentingan.
Jadi saran saya, menghadapi hal seperti itu, serahkan sepenuhnya kepada ALLAH. Biarlah ALLAH yang mengaturnya, karena memang hanya Dia-lah Yang Maha Mengatur dan Maha Kuasa. Sering-seringlah shalat Hajat dan Dhuha. Kemudian berdoalah kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan, usahakan sampai meneteskan air mata. Yakinlah bahwa bila kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada ALLAH swt., insya ALLAH ALLAH akan mengabulkannya. Kemudian, banyak-banyaklah berdzikir dan memohon ampunan kepada-Nya. Bacalah kalimat berikut ini "Laailaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin” (Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zhalim). Kalau bisa, baca terus kalimat tersebut, dimanapun Anda berada, termasuk saat berada di kendaraan, kecuali di kamar mandi atau toilet. Usahakan jangan berhenti berdzikir kepada ALLAH, insya ALLAH hati akan tenang dan hidup kita akan selalu dibimbing oleh ALLAH swt.
Bila Anda mau mengikuti saran saya ini, insya ALLAH Anda akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati, walau apapun keputusan pengadilan nanti. Bahkan, mudah-mudahan Anda diberi jalan yang terbaik oleh ALLAH swt….Wallaahu A’lam…..
Source: www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com
Info: Ingin mengikuti umrah + kajian di Akhir Ramadhan (28 Agustus – 10 September 2010) bersama Ust. Fatkhurozi Khafas, MA, lihat infonya dengan mengklik link berikut: http://www.ziddu.com/download/9582867/BrosurUmroh.pdf.html

Senin, 26 April 2010

orang2 yg didoakan malaikat

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci".
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’"
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)

3. Orang - orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan"
(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

4. Orang - orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah
(tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf"
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu"
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

7. Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’"
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)

9. Orang - orang yang berinfak.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’"
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang sedang makan sahur"
(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih")

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain"
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang - orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005)

Minggu, 25 April 2010

Surat Dari Iblis Untukmu

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi

Sungguh aku telah melihatmu kemarin…

Engkau memulai kehidupan seharian, engkau bangun dan pergi untuk bekerja tanpa memikirkan shalat fajar…! Di kantor, engkau tidak peduli sama sekali tentang aturan halal haram, sebagaimana yang dilakukan oleh kawan-kawanmu…

Saat engkau pulang ke rumah, engkaupun menyantap makananmu tanpa menyebut nama Allah Sang Pemberi rizki kepadamu… Juga tidak ada waktu untuk shalat Isya' sebelum tidur, meskipun kamu sempatkan nonton TV sampai engkau tertidur pulas …!

Engkau adalah seorang pengingkar nikmat dan penentang Pemberi nikmat. Aku sangat mencintaimu dengan kelakuanmu itu. Kelakuanmu adalah salah satu sifat dari sifatku. Aku sangat berbahagia melihatmu hidup seperti itu.

Egkau adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu.

Ingatlah, tahun-tahun telah berlalu, tahun berganti tahun, dan di antara kita ada hubungan intim selama puluhan tahun itu. Suatu persahabatan yang sangat panjang…!

Meskipun demikian, aku tetap tidak mencintaimu. Aku membencimu dengan segenap hatiku…dan memusuhimu dengan segenap raga dan jiwaku… Allah telah mengeluarkanku dari sorga setelah aku berpaling dari nikmat-Nya, dan menolak sujud kepada bapakmu, Adam…! Aku akan berusaha terus untuk menyesatkanmu dengan segala kemampuanku agar engkau sengsara bersamaku.

Terus terang, engkau tidak menggunakan akal dalam memahami hakikat kehidupan ini. Betapa tidak, Allah telah membuka pintu sorga dan pintu taubat dari dosa untukmu… Akan tetapi engkau justru menghadap kepadaku… engkau mengharap janjiku, yang itu hanyalah angan-angan, dan pasti akan menghantarkanmu ke neraka…

Terima kasih wahai kekasihku…!

Sungguh aku telah bersumpah kepada Allah untuk menyesatkan seluruh anak keturunan Adam, orang-orang sepertimu… Aku ingin sekali melaksanakan keinginanku. Agar aku yakin… bahwa engkau mentaati perintah-perintahku…

Itulah dia, hari-hari yang telah berlalu…! Engkau beristighatsah, meminta pertolongan dengan ahli kubur… engkau menyandarkan diri kepada mereka saat terkena musibah…

Engkau suka mengerjakan yang bid'ah dan menyelisihi Nabimu serta perintah-perintahnya, karena tidak cukup puas dengan sunnah…!

Engkau berkelompok-kelompok (hizbiyyah ashabiyyah), dengan sebuah anggapan bahwa engkau membela Islam dan memperjuangkannya. Padahal kenyataannya, engkau melayaniku dengan membantuku menjauhkan manusia dari berpegang teguh dengan manhaj orang dahulu yg soleh (salaf) mu…

Engkau mendengarkan nyanyian-nyanyian…

Engkau melihat film-film…

Engkau kerjakan perbuatan-perbuatan keji dan hal-hal yang diharamkan…

Engkau melaknat manusia… mencuri… menipu… berkhianat… dan seterusnya…


Terima kasih kawan, atas semuanya. Sungguh engkau telah membahagiakanku. Karena dengan entengnya engkau telah membuat murka Allah…! Maka marilah sahabat… kita terbakar bersama-sama…!

Di hadapan kita masih banyak langkah untuk kita berdua. Aku tertawa mengejekmu, saat melihatmu melakukan maksiat dengan disertai tertawaan yang memenuhi tempat tersebut, seakan-akan engkau menantang keagungan Allah…! Aku menginginkanmu wahai kekasih, agar engkau menyebarkan kerusakan di antara manusia sesamamu…

Doronglah mereka untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa! Tuntunlah mereka, agar bermaksiat kepada Allah dengan segenap cara yang kau mampu! Sebarkanlah di antara mereka film-film dan nyanyian-nyanyian, serta berbagai permainan…!

Setiap kali engkau melihat seseorang beribadah kepada Allah, jangan lupa menghina mereka… Mencemooh penampilannya, hingga engkau membuatku tertawa.

Maaf… aku sekarang ada urusan… aku akan meninggalkanmu, menyemangati orang-orang lain sepertimu. Cukuplah bagimu pasukanku setan-setan bangsa jin, kelak aku akan kembali. Melanjutkan kerjasama kita, memikirkan langkah baru bagi maksiat baru…!


Seandainya engkau cerdas, tentu engkau akan lari dariku. Kemudian engkau memohon ampunan kepada Allah dari dosa-dosamu. Lalu engkau hidup dalam ketaatan kepada Allah di tahun-tahun akhir dari usiamu yang tinggal sedikit ini…! Hingga engkau mendapatkan pahala serta kenikmatan iman, sebelum ridha Allah Subhanaahu wa Ta'ala yang abadi di dalam sorga… daripada engkau dilemparkan ke dalam neraka bersamaku selamanya.

Akan tetapi aku yakin… bahwa engkau lebih mencintaiku daripada kecintaanmu kepada Allah…! Bahwasannya engkau lebih mendahulukan hawa nafsumu daripada ketaatan kepada Allah dan janji sorga yang masih jauh katamu.

Engkau adalah sahabatku yang terkasih…!


Yang menyesatkanmu,
ttd
Iblis yang terkutuk…. Pemimpin para Setan (AR)*

Sumber: Majalah Qiblati ed 1 th III

Sabtu, 24 April 2010

Mutiara yang Tersembunyi

Ada seseorang laki-laki yang awam mengatakan, “Kenapa sih para perempuan berpakaian seperti itu, sudah tebal, gelap, tertutup semuanya lagi tidak kepanasan apa, buat risih yang melihatnya..!” ada lagi perempuan yang awam juga mengatakan, “Huh! Sok banget pakai pakaian seperti itu, muna! Padahal hatinya sama saja busuk juga! Pakaian itu Cuma buat kedok saja!” dan banyak lagi perkataan lainnya yang sering penulis dengar dari mulut mereka yang tidak memahami hukum-hukum dalam agamanya. Sungguh penulis merasakan kombinasi perasaan antara kasihan dan sedih mendengar perkataan-perkataan seperti ini.

Dengan memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan mendoakan kebaikan bagi mereka yang masih awam penulis menjawab, “Wahai saudaraku! Mereka ini seperti mutiara-mutiara tengah pasir!” Mereka bertanya, “Maksud anda apa? Apakah kami ini pasir-pasirnya?” Penulis menjawab, “Benar, keutamaan perempuan yang berpakaian gamis tebal itu bagaikan mutiara di antara pasir, di tengah-tengah kalian!” mereka kembali bertanya, “Kenapa bisa begitu?” Penulis menjawab, “Karena keutamaan mereka di hadapan Allah Ta’ala, karena keridhaan mereka terhadap syari’at Allah Ta’ala, karena kesungguhan mereka dalam menjaga kehormatan mereka di hadapan manusia!”

Dari merekalah akan terdidik generasi-generasi muda Islam yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dari merekalah akan kita harapkan anak-anak kita menjadi shalih dan shalihah, maka jika engkau mengambil mutiara itu dan membawanya kerumahmu, maka akan engkau dapati dia adalah hal yang terindah dalam rumahmu. Dari wanita shalihah seperti ini engkau bisa berbagi sedih dan ceria maka dapatilah dia sebagai teman terbaik dalam hidupmu..

Wanita shalihah juga mampu tampil sebagai gurumu dalam mempelajari ilmu-ilmu agama yang syar’i, sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tampilah dia sebagai guru yang penuk kasih sayang..

Inilah sosok putri Sa’id bin Musayyib manakala suaminya datang kepadanya, suaminya (Abu Wida’ah) adalah salah seorang murid dari ayahnya sendiri. Saat menjelang waktu Subuh, suaminya mengambil sorbannya karena hendak keluar. Sang istri pun bertanya kepadanya, “Mau kemanakah engkau?” Abu Wida’ah menjawab, “Aku hendak pergi ke majelis Sa’id untuk menuntut ilmu,” Lalu sang istri itu berkata, “Duduklah, aku akan mengajarkan ilmu Sa’id kepadamu.” [Al-Madkhol, Imam Ibnul Hajj (1/215)]

Duhai alangkah indah dan mulianya majelis ini, ketika seorang istri yang shalihah lagi faqih mengajarkan ilmu agama kepada suaminya yang tekun menuntut ilmu, semoga Allah merahmati suami istri yang selalu bersama berusaha memperbaiki diri dan keluarga untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Jika majelis-majelis seperti ini selalu ada dalam rumah tangga kaum muslimin maka darimanakah keburukan itu bisa bermula? Maka mutiara-mutiara itu selalu menjadi impian bagi laki-laki yang shalih, mutiara-mutiara yang begitu bersih, bercahaya seperti mentari pagi yang menghangatkan bumi ini... dan mutiara-mutiara itu tersebunyi ... di balik hijabnya.

Inilah kisah sebuah mutiara lain yang tersembunyi dan berkilau di antara pasir-pasir manusia, “Seseorang membacakan Kitab Al-Muwaththo’ kepada Imam Malik rahimahullah. (Sedangkan Putri Imam Malik berada di balik pintu untuk mendengarkan bacaan itu), apabila bacaan si pembaca itu keliru, atau ia menambahi atau mengurangi bacaan tersebut, maka putri Imam Malik langsung mengetuk dari balik pintu. Lalu ayahnya (Imam Malik) berkata kepada si pembaca, “Ulangilah, karena bacaanmu keliru.” Si pembaca pun mengulanginya, maka ia menemui kekeliruannya tersebut.” [Al madkhol (1/215)]

Maka wanita-wanita shalihah yang menjadi lautan ilmu ini membasahi kekeringan bagi manusia-manusia yang merindukan ilmu syar’i, mereka termasuk dalam barisan wanita-wanita ahli ilmu yang namanya harum dalam sejarah manusia, harum semerbak tanpa menimbulkan fitnah, memukau hati dan jiwa..

‘Amroh adalah seorang wanita dari kaum Anshar, dari Bani Najjar, dari Madinah, seorang wanita yang faqih, belajar dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan merupakan murid ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ayyub bin Suwaid meriwayatkan dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Al-Qosim bin Muhammad bahwa beliau berkata kepadaku, “Wahai anak muda! Aku melihat engkau sangat senang menuntut ilmu, maukah engkau aku beritahu sumber ilmu yang banyak?” Aku menjawab, “Tentu saja aku mau.” Dia berkata lagi, “Datangilah ‘Amroh, karena ia berada dalam bimbingan langsung ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Kemudian dia melanjutkan, “Lalu aku pun mendatanginya dan aku mendapatkan ilmu yang banyak darinya.” [Siyar A’lami ‘n-Nubala’ (4/507-508)]

Wahai saudaraku ikhwani fillah, wahai laki-laki yang mengharapkan keselamatan dan keindahan dalam rumah tangganya, mutiara-mutiara ini tersembunyi dari pandangan manusia, indah berkilau di rumah mereka tak tersentuh pandangan-pandangan kotor laki-laki yang memiliki penyakit dalam hatinya. Mutiara ini teramat mahal dan tak ternilai harganya, mereka adalah perhiasan terindah di dunia ini.

Mutiara-mutiara ini tidak akan tertarik dengan keindahan dunia yang engkau miliki, harta yang berlimpah tidak menyilaukan matanya, wajah yang rupawan bukanlah impiannya, kedudukan dan jabatan tak pernah menjadi tujuannya, hanya seorang laki-laki sederhana yang shalih, seorang penuntut ilmu yang tak pernah letih dalam usahanya, dan seorang lelaki yang merindukan jannah yang kelak akan mampu mengisi hari-hari mutiara-mutiara ini.

Jika engkau ingin mendapatkan mutiara ini wahai saudaraku! Maka jadikanlah dirimu layak untuk mendapatkannya, bukan dengan harta berlimpah dan kedudukan yang tinggi, namun uluran tangan menuju kepada keridhaan Allah Ta’ala yang mampu membawanya dengan ikhlas dan rela, yang mampu melindungi kilauannya dari pandangan jahat manusia, yang mampu merawat kilauannya hingga akhirnnya, mutiara ini merindukan kehidupan sederhana yang diisi dengan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah mutiara yang tersembunyi dalam hijab tebal dan gelap, tersembunyi hingga engkau yang shalih kelak diizinkan membawanya...

Wallahu a’lam bish showab

Oleh Andi Abu Najwa

Minggu, 18 April 2010

Bahaya Orang yang Enggan Melunasi Hutangnya

Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”

Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”
(HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”

Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.

Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
(HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)

Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.”(Faidul Qodir, 3/181)

Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”

Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411).

Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.

Masih Ada Hutang, Enggan Disholati

Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ

“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)

Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat

Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”

Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397)

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)

Adapun hutang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:

1. Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.

2. Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.

3. Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya. Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata akan berdusta. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38)

Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.

Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat?

Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak hutang akan mendatangkan kerugian di dunia.”

Inilah do’a yang seharusnya kita amalkan agar terlindung dari hutang: ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).

Berbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya

Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».

Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya -di dunia-)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)

Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Kami ucapkan jazakumullah khoiron kepada guru kami Al Ustadz Aris Munandar yang telah mengoreksi ulang tulisan ini. Semoga Allah selalu memberkahi ilmu dan umur beliau.

Yogyakarta, 6 Shofar 1430 H

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Rumah Tanggaku Pernah Berantakan Gara-gara Ibu Mertua Pesan Baru

Rumah Tanggaku Pernah Berantakan Gara-gara Ibu Mertua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mohon penjelasan dari Ustadz tentang masalah yang sedang saya hadapi, tentunya penjelasan menurut syariat Islam yang disertai dalil-dalil Al-Qur`an dan Hadits. Hal itu dimaksudkan agar saya bisa menyampaikannya kepada suami saya. Syukran katsiran atas bantuannya.
Ibu mertua saya tinggal bersama keluarga kecil saya. Sebetulnya hal itu tidak jadi masalah bagi saya, malah saya merasa senang karena –kebetulan- kedua orangtua saya sudah tiada. Ibu mertua saya masih punya suami (bapak mertua saya). Kata ibu mertua, bapak mertua tidak usah ikut tinggal bersama kami, alias tinggal di kampung saja. Maaf, ibu mertua saya sikapnya memang selalu meremehkan suaminya (bapak mertua saya). Sedangkan suami saya, otaknya seperti sudah dicuci oleh ibunya. Dia selalu menuruti kemauan ibunya. Di matanya, perkataan ibunya selalu benar.
Sebetulnya saya juga agak risih jika tinggal bersama ibu mertua saya, karena dia pernah menghancurkan mahligai pernikahan kami hingga dua kali. Dia pernah memerintahkan suami saya untuk selingkuh dan melakukan tindak kekerasan kepada saya. Ini adalah kali kedua kami rujuk (bersatu kembali). Semua kami lakukan semata-mata demi anak kami.
Setahu saya, jika jarang bertemu dengan ibunya, suami saya termasuk orang yang baik. Apalagi dia sering berteman dengan orang-orang yang shaleh. Tapi jika sudah bertemu dengan ibunya, semua menjadi gelap. Yang paling benar di matanya hanyalah perkataan ibunya. Saya takut bila ibu mertua saya ikut tinggal bersama kami, rumah tangga kami berantakan lagi. Bagaimana saya menyampaikan hal ini kepada suami saya, Ustadz?
Perlu diketahui, saat ibu mertua tinggal di kampung, kami selalu mengirim sejumlah uang untuknya. Menurut suami saya, ibunya menyuruh suami saya untuk melakukan balas budi karena sudah disekolahkan oleh sang ibu. Bahkan katanya, separoh uang gaji ibunya digunakan untuk biaya sekolah suami saya. Padahal kedua adiknya saja tahu bahwa sikap ibunya memang kurang baik. Karenanya, mereka tidak mau tinggal bersama ibu mertua saya, meskipun mereka berada dalam satu kota. Bagaimana menurut Ustadz?
Selain itu, suami saya kurang mengenal karakter ibunya, karena setelah lulus SMP, dia tidak serumah lagi dengan ibunya. Dia tinggal di kost karena sekolahnya agak jauh. Mohon sekali jawabannya Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebenarnya masalah yang Anda hadapi hampir mirip dengan masalah yang sudah saya bahas pada konsultasi minggu lalu, yaitu mengenai “Batasan Berbakti Kepada Orangtua”. Sebab, kedua masalah tersebut sama-sama berkaitan dengan upaya seorang anak untuk berbakti kepada ibunya dan juga sikap sang ibu yang dinilai pihak ketiga (dalam hal ini adalah istri sang anak) sebagai sikap yang kurang menyenangkan. Karena itu, saya sarankan Anda untuk membaca kembali pembahasan tersebut agar Anda lebih mengetahui tentang batasan-batasan dalam berbakti kepada orangtua sehingga Anda dapat menjelaskannya kepada suami Anda.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah tentang kondisi rumah tangga Anda yang sudah dua kali berantarakan akibat campur tangan pihak ketiga (ibu mertua). Di atas, Anda mengatakan bahwa ibu mertua Anda pernah menghancurkan pernikahan Anda berdua hingga dua kali, tetapi kemudian Anda berdua rujuk (bersatu kembali). Ini berarti bahwa hanya tinggal satu kesempatan lagi bagi Anda dan suami untuk menggayuh bahtera rumah tangga, karena Anda dan suami telah melakukan talak sebanyak dua kali. Menurut hukum Islam, talak yang di dalamnya boleh dilakukan rujuk hanya dua kali. Bila sampai terjadi talak lagi, maka sepasang suami-isteri yang bercerai tidak boleh bersatu kembali kecuali setelah si isteri dinikahi oleh laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, bukan main-main atau rekayasa. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah swt.:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan terakhir ini sebaik-baiknya. Bila Anda benar-benar ingin tetap bersatu dengan suami Anda, terutama karena pertimbangan anak-anak, jelaskanlah masalah ini dan juga masalah “Batasan Berbakti Kepada Orangtua” kepada suami Anda. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, lalu diskusikanlah dengan menggunakan hati dan akal yang jernih. Ingat, jangan sampai ada emosi! Carilah solusi yang terbaik.
Sekedar masukan, ada beberapa alternatif yang mungkin bisa Anda berdua lakukan:
1. Ibu mertua masih tetap tinggal bersama keluarga kecil Anda. Tetapi ingat, Anda dan suami harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Anda harus berusaha keras untuk bersabar, terutama bila ada sikap ibu mertua yang kurang menyenangkan. Sebab walau bagaimanapun, ibu suami Anda adalah ibu Anda juga, yang harus selalu dihormati dan dijaga perasaannya. Demikian pula dengan suami Anda, dia harus berani mengatakan “tidak” (menolak) kepada ibunya bila sang ibu menyuruhnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan aturan-aturan Allah, seperti menyuruhnya untuk selingkuh, seperti yang Anda sebutkan di atas. Sebab, kepatuhan kepada orangtua hanya boleh dilakukan bila tidak mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya, penolakan tersebut harus disampaikan dengan cara yang baik agar tidak menyakiti hati sang ibu.
2. Suruhlah suami untuk merayu ibunya agar mau tinggal di kampung bersama suaminya (bapak mertua Anda). Bila Anda memilih alternatif ini, carilah waktu yang tepat dan cara yang baik untuk menyampaikannya kepada ibu mertua Anda. Jangan lupa, Anda berdua harus berkomitmen untuk membantu sang ibu. Buatlah agar dia merasa lebih nyaman tinggal di kampung bersama suaminya. Dalam hal ini, Anda berdua bisa meminta bantuan kepada adik-adik suami Anda.
Sebagai penutup, saya ingin kembali menekankan bahwa seperti apapun sikap orangtua kita atau orangtua suami/isteri kita, mereka tetaplah orangtua kita yang harus kita hormati dan kita jaga perasaannya. Sebagai anak, kita harus bersabar bila ada sikapnya yang mungkin kurang menyenangkan. Andaikata ada penolakan yang ingin disampaikan, carilah waktu yang tepat dan kemaslah penolakan itu dengan cara yang baik. Satu lagi, ingatlah bahwa setiap orang punya masalah; dan ketika masalah itu datang, kita harus menghadapinya dengan hati dan akal yang jernih. Untuk mendapatkan solusi yang terbaik, janganlah lupa untuk memohon petunjuk dan pertolongan Allah. Wallaahu A’lam…..
Source: www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com

Batasan Berbakti Kepada Orangtua

Batasan Berbakti Kepada Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal, Pak! Bapak dan keluarga apa kabar? Pak, saya termasuk anggota Group Pecinta Qur’an dan Sunnah. Saya mau tanya sedikit, sebenarnya definisi berbakti kepada orangtua itu sebatas apa? Maksudnya, sejauhmana seorang anak harus berbakti kepada ibunya? Apakah semua permintaan dan kehendak ibunya harus dituruti agar tidak menjadi anak yang durhaka? Bukannya orangtua juga bisa salah, Pak? Apakah pada saat itu kita boleh memberi saran atau masukan?
Di sini, saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman pribadi teman saya. Suami teman saya takut sekali menolak kemauan ibunya ataupun menegur ibunya (bila sang ibu melakukan kesalahan), karena sang ibu gampang sekali melontarkan kata-kata “anak durhaka”. Terkadang untuk hal-hal yang sepele saja, kata-kata seperti itu sering keluar dari mulutnya. Kalau seperti itu bagaimana, Pak?
Bahkan untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, suami teman saya itu harus mencium kaki ibunya dulu. Padahal –menurut saya- masalanya sepele sekali. Awalnya, sang ibu pergi ke pasar bersama suami teman saya itu. Di pasar, sang ibu menawar suatu barang dengan harga tertentu. Tapi setelah penjual menyetujui harga yang ditawar sang ibu, sang ibu malah menawar lagi dengan harga yang lebih murah. Melihat itu, suami teman saya pun langsung menegur ibunya karena dia khawatir sang penjual akan marah (dan nampaknya dia memang sudah marah). Maksud hati ingin mengingatkan sang ibu, eh malah sang ibu marah-marah kepada anaknya. Lalu dia melontarkan kata-kata “anak durhaka”.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh saja, Pak. Mungkin masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang sebenarnya berawal dari masalah-masalah sepele. Bagaimana kita harus menyikapi ibu seperti itu, Pak?
Selain itu, sang ibu tidak mau “lepas” dari anaknya. Dia terlalu manja kepada suami teman saya itu. Padahal untuk isteri dan anaknya saja, suami saya itu jarang punya waktu karena pekerjaannya sangat banyak, sampai-sampai jarang ada hari libur. Apa mungkin hal itu disebabkan karena ibunya sudah janda, jadi dia ingin bermanja-manjaan dengan anaknya? Kalau seperti itu, bagaimana caranya agar suami teman saya itu bisa bersikap adil dalam mengurus ibu, anak dan juga isterinya?
Oya Pak, ada satu pertanyaan lagi, apa benar dalam Al-Qur`an ada ayat yang menegaskan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya? Jika benar, lalu siapa yang berkewajiban menafkahi isteri dan anaknya? Mohon jawabannya, Pak! Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, Bu. Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal‘afiat. Si kecil yang beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit pun sekarang sudah kembali ceria dan menyenangkan seperti sediakala. Mudah-mudahan ukhti dan keluarga juga demikian adanya, amin ya Robbal-‘alamin.
Seperti yang pernah saya singgung dalam salah satu konsultasi sebelumnya, birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. Dari sini, maka para ulama pun mendefinisikan term “birrul waalidain” (berbakti kepada orangtua) dengan definisi sebagai berikut: Berbakti kepada kedua orangtua adalah berbuat baik kepada mereka, memenuhi hak-hak mereka, dan menaati mereka dalam hal-hal yang bersifat sunah dan mubah, bukan pada hal-hal yang sifatnya wajib atau haram. Artinya, seorang anak harus menuruti perintah orangtuanya selama perintah itu tidak untuk meninggalkan perbuatan yang wajib hukumnya ataupun melakukan perbuatan yang diharamkan. Sebagai contoh, bila seorang ibu menyuruh anaknya untuk melakukan satu pekerjaan tertentu, yang dengannya dia harus meninggalkan shalat, maka sang anak wajib untuk menolak perintah tersebut. Demikian pula bila sang ibu menyuruh anak laki-lakinya meninggalkan begitu saja (menelantarkan) isteri dan anaknya agar dia menikah dengan wanita pilihan ibunya, maka sang anak harus menolak perintah tersebut, karena menelantarkan isteri dan anak merupakan perbuatan yang dilarang Allah swt..
Tetapi perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Saudariku yang terhormat, pada kasus yang Anda sebutkan, saya melihat bahwa sang anak belum wajib untuk menolak kemauan sang ibu. Sebab, masalah tawar menawar dalam jual beli merupakan satu hal yang sifatnya mubah (tidak terkait dengan hukum wajib ataupun haram seperti yang dijelaskan di atas). Apalagi dalam kajian fikih muamalah, dikenal istilah khiyar majlis, yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan akad (transaksi) selama kedua belah pihak belum berpisah dari tempat transaksi. Bahkan menurut Imam Syafi’I dan Hanbali, sang ibu masih boleh membatalkan transaksi yang dilakukannya itu meskipun sudah dilakukan ijab qabul (serah terima uang dan barang), selama mereka belum berpisah.
Menurut hemat saya, andaikata sang anak memang ingin memberikan masukan pada saat itu karena hal seperti itu dianggap tidak baik menurut adat/kebiasaan/etika (meskipun dibolehkan secara hukum), maka dia harus ektra hati-hati dan harus melihat kondisi sang ibu. Jangan sampai niat baiknya itu akan menyinggung perasaan sang ibu. Apalagi bila dia tahu bahwa ibunya termasuk tipe orang yang sangat sensitif.
Kalau saya boleh menilai, suami teman Anda itu termasuk orang yang sangat berhati-hati dan khawatir bila dirinya tidak bisa meraih ridha orangtua. Bahkan dia rela untuk mencium kaki sang ibu hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Mungkin dia ingin mengamalkan Hadits Nabi saw.: “Ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orangtua.”
Tetapi dia juga harus ingat, jangan sampai hal itu menyebabkan dia melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dia dituntut harus benar-benar bersikap adil sehingga tidak ada yang dikorbankan, meskipun dalam hal pelayanan, orangtua harus tetap didahulukan. Dalam sebuah Hadits shahih disebutkan sebuah kisah tentang 3 orang yang masuk ke dalam gua, tetapi kemudian pintu gua tersebut tertutup oleh batu. Batu itu baru bisa digeser setelah setiap orang di antara mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal kebajikannya masing-masing. Salah seorang di antara mereka adalah orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya. Dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orangtua yang sudah lanjut usia, seorang isteri dan juga seorang anak. Aku menggembala untuk (menghidupi) mereka. Setelah aku mengandangkan ternak, aku memerah susunya. Lalu aku mulai memberikan susu itu kepada kedua orangtuaku sebelum aku memberikannya kepada anakku.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas, saya berani mengatakan bahwa bila suami teman Anda itu bisa bersikap seperti itu dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai suami dan ayah, maka teman Anda itu sangat beruntung. Dia seharusnya rela dan mendukung sikap suaminya itu. Sebab, bisa jadi saat tua nanti, dia dan juga suaminya itu akan diperlakukan seperti itu oleh anak dan menantunya.
Mengenai pertanyaan terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada satu ayat atau Hadits pun yang menyatakan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya. Memang ada satu riwayat yang mengisyaratkan bahwa seorang ayah boleh membelanjakan harta anaknya, tetapi itu merupakan kekhususan yang diberikan Allah kepada ayah, dan hal itu hanya boleh dilakukan secara tidak berlebihan dan tidak memudharatkan anaknya.Tapi dari segi hukum, harta itu tetap milik anaknya, bukan milik ayahnya. Oleh karenanya, ketika sang anak meninggal, maka harta itu harus dibagikan kepada semua ahli waris, termasuk ayah dan ibu. Bila anak laki-laki itu memiliki anak atau saudara, maka ibu hanya mendapat seperenam. Tetapi bila dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali ayah ibunya (yang masih hidup), maka sang ibu mendapat sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan (Lihat QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Source: www.mediasilaturahim.com

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah