Senin, 14 Desember 2009

Meninggalkan TAHLILAN...Siapa Takut???

Tidak ada seorangpun di antara ulama yang faham akan al Qur'an dan As Sunnah yang berani mengatakan bahwa tahlilan untuk memperingati kematian seseorang itu berasal dari tuntunan Islam. Akan tetapi pemahaman orang awam tidaklah demikian. Sejak lahir mereka hidup di tengah-tengah masyarakat muslim (red: lebih tepatnya mengaku muslim) yang biasa melakukan ritual ibadah tahlilan untuk memperingati keluarganya yang sudah meninggal. Mereka mengira bahwa ritual ibadah tahlilan itu merupakan tuntunan Islam dan seolah-olah menjadi satu kewajiban tersendiri di luar rukun Islam yang harus mereka tunaikan.
Mereka menganggap satu aib bila ada orang yang kematian anggota keluarga kok tidak melaksanakan tahlilan. Sehingga walaupun miskin mereka akan melaksanakan acara itu meskipun harus menjual harta kekayaan mereka atau harus menanggung hutang. Mereka juga menganggap orang yang tidak melaksanakan ritual tersebut bila orang tuanya meninggal dunia sebagai orang yang tidak berbakti kepada orang tua. Ritual ibadah tahlilan telah dianggap masyarakat sebagai satu cara untuk berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal.

Sikap keliru seperti itu telah dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menyulut konflik horizontal antara kelompok yang menjunjung tinggi ritual ibadah tahlilan untuk memperingati kematian dengan kelompok masyarakat yang tidak mau melakukan tahlilan karena bukan dari tuntunan Islam. Orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan tersebut biasanya orang yang mendapatkan keuntungan dari ritual ibadah itu seperti modin, bayan, dan sejenisnya. Tokoh-tokoh ini yang paling dirugikan bila masyarakat meninggalkan acara tahlilan. Banyak di antara mereka yang menghasut masyarakat menuduh kelompok pengajian yang tidak mengajarkan dan tidak menganjurkan tahlilan sebagai aliran sesat. Orang-orang awam yang merasa bahwa tahlilan itu tuntunan Islam langsung saja menerima hasutan itu. Faktanya orang-orang Islam pada umumnya melakukan tahlilan kok kelompok ini tidak melakukan, berarti kelompok ini sesat. Sehingga ketika mereka berbuat anarki menggrebek pengajian yang tidak mengajarkan tahlilan dan membubarkannya tidak merasa bersalah. Bahkan merasa telah melakukan amal shaleh. Mereka tidak peduli lagi bahwa hukum Negara menjamin orang untuk merdeka dalam beragama dan beribadah menurut keyakinan masing-masing. Mereka tidak peduli lagi bahwa berbuat anarki, main hakim sendiri itu termasuk perbuatan melanggar hukum negara. Mereka tidak peduli lagi bahwa sesama muslim itu bersaudara, sehingga memperlakukan sesama orang Islam yang tidak tahlilan sebagai musuh. Mereka tidak peduli lagi bahwa dalam ajaran Islam, yang benar itu adalah yang sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah. Padahal ritual ibadah talilan untuk memperingati kematian itu tidak ada dalilnya sama sekali dalam Al Qur'an maupun As Sunnah.

Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah kematian istrinya Khodijah tetapi tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Beliau juga kematian pamannya Hamzah, si singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian pamannya. Para sahabatnya banyak yang meninggal dunia dalam berbagai pertempuran dalam rangka menegakkan Islam, tetapi tidak satupun yang pernah beliau peringati dengan tahlilan. Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw. Memang Islam tidak menuntunkan orang untuk memperingai kematian. Peringatan kematian pada hari ke 1, 3, 7, 40, 100 dst adalah TRADISI HINDU. Mereka berkeyakinan bahwa ruh orang yang mati pada hari-hari itu kembali ke rumahnya. Kalau pada saat kembali disana tidak ada keramaian maka ruh itu akan menyusup ke tubuh orang yang menyebabkan dia akan kesurupan. Maka pada hari-hari itu mereka melakukan ritual peribadatan untuk mencegah agar ruh tidak mengganggu anggota keluarga.

Kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, mengapa kita tidak berani meninggalkan upacara peringatan kematian? Panutan kita adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?

Orang sering berkilah bahwa tahlilan yang merupakan bagian dari upacara peringatan kematian itu adalah untuk mengirimkan pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Quran, lalu apa salahnya? Bukankah kita dituntunkan untuk mendoakan orang tua kita yang sudah mati? Rasulullah saw memberitakan bahwa semua amal manusia terputus setelah mati kecuali tiga perkara yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya (HR Muslim). Hadist itu shahih dan sharih, akan tetapi hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan TIDAK ADA tuntunannya sama sekali. Menurut madzhab Syafii, seperti dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya mengatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai. Dalilnya adalah "Dan seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang dia usahakan" (QS An Najm 53: 39).

Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fighiyah mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan TIDAK DAPAT DIKIRIMKAN kepada orang lain. (Al Um juz 7, hal 269) Beliau juga mengatakan bahwa beliau tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tagisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Um, juz I, hal 248) Imam Nawawi mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).

Nah, kalau mengirimkan pahala kepada si mayit, berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan membuat hidangan untuk orang-orang yang berkumpul tiak ada dalilnya dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan ditentang oleh para ulama besar lalu siapa yang kita ikuti? Mengapa kita takut meninggalkannya? Sebaliknya menurut sunnah yang seharusnya yang membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Adapun dalilnya: dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang, kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR Tirmidzi juz 2, hal 234, dia berkata hadist ini hasan). Mestinya tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan membuatkan makanan untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga si mayit untuk memberi makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya.

Kalau memang tidak ada tuntunannya dalam agama, mengapa kita takut meninggalkannya. Kalau memang belum berani okelah, tetapi jangan sampai menentang orang yang sudah berani meninggalkannya. Sebaiknya kalian berdo'a memohon kepada Allah untuk segera diberi keberanian untuk meninggalkannya. Untuk apa takut kepada manusia kalau akhirnya harus menaggung resiko masuk neraka karena mangamalkan bid'ah. Karena tidak ada tuntunannya dalam agama, berarti upacara peringatan kematian itu termasuk bid'ah dalam ibadah. Kullu bid'atin dlolalah wa kullu dlolalatin finnari (Semua bid'ah (dalam ibadah) adalah sesat dan semua kesesatan itu masuk naraka) (HR An Nasa'i juz 3, hal 188) Sebagai seorang muslim yang baik yang mengharapkan kasih sayang Allah sebaiknya segera kita tinggalkan tahlilan, kita ganti dengan membaca tahlil sebanyak-banyaknya, setiap saat setiap kesempatan yang memungkinkan, tetapi tidak dalam upacara peringatan kematian. Siapa takut?

Sumber : MTA-online
http://www.pdmbontang.com/cetak.php?id=1576

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah