Kamis, 14 Januari 2010

Hukum Nikah Beda Agama

oleh saudaraku : Fatkhurozi Khafas

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya, apa hukum menikah dengan orang yang berbeda agama, dan apa hukumnya menikah dengan orang yang berbeda agama di catatan sipil?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
J - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Pernikahan beda agama atau pernikahan lintas agama merupakan sebuah pembahasan yang pernah ramai diperbincangkan di Indonesia beberapa tahun silam, dimana pada saat itu ada perbedaan pendapat antara sekelompok ulama dengan kelompok ulama lainnya atau antara sekelompok ulama dengan sekelompok intelektual Muslim. Karena perbedaan pendapat di antara mereka itu disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap sejumlah ayat yang dijadikan landasan hukum dalam masalah tersebut, maka sebelum menjawab, saya akan menyebutkan ayat-ayat tersebut terlebih dahulu.

  1. QS. Al-Baqarah (2): 221: Allah swt. berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya.” Ayat ini memang secara tegas melarang orang mukmin (laki-laki atau perempuan) untuk menikah dengan orang musyrik. Tetapi permasalahannya, apa yang dimaksud dengan orang musyrik tersebut? Siapa saja yang termasuk katagori musyrik? Apakah orang Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain tergolong musyrik? Apakah orang orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) juga tergolong musyrik?
  2. QS. Al-Maa`idah (5): 5: Allah swt. berfirman: “….(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”Ayat ini mengisyaratkan bahwa wanita Muslim dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim, sementara laki-laki Muslim dibolehkan untuk menikah dengan wanita non-Muslim tapi dari golongan Ahli Kitab. Permasalahannya, apa yang dimaksud dengan Ahli Kitab? Siapa saja yang termasuk katagori Ahli Kitab? Apakah orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang juga termasuk Ahli Kitab?

Berawal dari pertanyaan-pertanyaan itulah, maka muncul perbedaan pendapat mengenai hukum nikah beda agama. Sedikitnya, ada tiga pendapat:

  1. Pendapat sekelompok ulama yang melarang secara muthlak nikah beda agama, baik antara pria Muslim dengan wanita non-Muslim atau antara wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Mereka mendasarkan pendapatnya pada QS. Al-Baqarah (2): 221. Bagi kelompok ini, Ahli Kitab sama dengan kaum musyrik, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, atau salah satu dari hamba Tuhan.”
  2. Pendapat kelompok yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita non-Muslim dengan syarat memilih wanita terhormat dari kalangan Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya. Sebaliknya, mereka melarang wanita Muslim dinikahkan dengan pria non-Muslim. Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah dalam QS. Al-Maa`idah (5): 5. Dalam kaitannya dengan kaum Yahudi dan Nashrani sekarang, sebagian orang di antara kelompok ini berpendapat bahwa Yahudi dan Nashrani pada masa sekarang tidak termasuk ke dalam golongan Ahli Kitab, karena kitab yang mereka miliki sudah tidak otentik lagi hingga akidah mereka pun sudah bukan akidah tauhid.
  3. Pendapat sebagian ulama seperti Rasyid Ridha (murid Imam Muhammad Abduh) dan sejumlah intelektual Muslim seperti Dr. Zainul Kamal (dan lain-lain) membolehkan pernikahan beda agama secara muthlak, karena –menurut mereka- kaum Majusi, Shabiin, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto dan penganut agama lain selain Islam termasuk golongan Ahli Kitab. Mereka juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “musyrik” dalam QS. Al-Baqarah (2): 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab di zaman Jahiliyah (yang jelas-jelas menyembah berhala). Sedangkan Shabiin, yaitu orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi terdahulu termasuk yang beragama Hindu, Budha dan Taoisme, tidak termasuk ke dalam katagori musyrik, karena dalam kitab mereka juga terkandung ajaran monotheisme.
Dalam hal ini, saya ingin menekankan sejumlah hal yang –menurut saya- patut untuk dicermati:
  1. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 221, kata “musyrik” disampaikan dengan menggunakan al-musyrikaat dan al-musyrikiin, yaitu dengan menggunakan alif laam. Dalam bahasa Arab, salah satu fungsi alif laam adalah lil-istighraaq (untuk menunjukkan semua jenis). Artinya, ayat tersebut mengandung larangan bagi seorang Muslim untuk menikahi semua jenis musyrik atau orang yang menyekutukan Allah, apapun agama dan kepercayaannya, termasuk Yahudi dan Nashrani bila mengaku bahwa ada Tuhan lain selain Allah.
  2. Yang dimaksud dengan Ahli Kitab dalam QS. Al-Maa`idah (5): 5 adalah orang yang mewarisi kitab wahyu Taurat-Musa dan Injil-Isa, atau Ahli Kitab yang masih mengikuti ajaran murni dari Nabi Musa dan Isa. Jadi, tidak ada kaitannya dengan agama Hindu, Budha dan lain-lain. Ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, Prof. Dr. Hamka dan Abbas Hasan.
  3. Keimanan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dan sangat penting dalam Islam sehingga harus dijaga dan dipertahankan, karena sebanyak apapun amal baik seseorang di dunia bila tidak dibarengi dengan keimanan, maka akan sia-sia. Karenanya, seorang Muslim dituntut untuk berusaha keras menjaga dirinya agar jangan sampai keluar dari jalur iman, salah satunya dengan menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran.

Menurut saya, apa yang terkandung dalam kedua ayat di atas (QS. Al-Baqarah [2]: 221 dan QS. Al-Ma`idah [5]: 5) merupakan bagian dari upaya tersebut. Sebab di bagian akhir QS. Al-Baqarah [2]: 221, Allah berfirman: “Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya”. Ini berarti bahwa orang Muslim dilarang menikahi orang musyrik karena pada umumnya orang musyrik akan mengajak kepada kemusyrikan yang dianutnya. Berbeda dengan Ahli Kitab yang masih mengikuti ajaran murni dari Nabi Musa dan Isa, karena pada dasarnya akidah mereka sama dengan akidah orang Islam, yaitu akidah tauhid. Meskipun demikian, sebagai kehati-hatian, hanya laki-laki Muslim saja yang dibolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab seperti itu, sementara wanita Muslim tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, dominasi kekuasaan laki-laki dalam rumah tangga lebih besar daripada perempuan, sehingga laki-laki dapat memaksa isteri dan anak-anaknya untuk mengikuti agama yang dianutnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka saya pribadi lebih setuju dengan pendapat kedua. Wallaahu A’lam….

Referensi: Pernikahan Lintas Agama, Dr. Didin Hafidhuddin, Msc., dkk, Iqra Insan Press, 2004.
Source: www.mediasilaturahim.com

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah