Senin, 21 Desember 2009

Kedudukan dan Hakikat Hijrah

Oleh: Nashruddin Syarief

Penetapan hijrah sebagai patokan awal kalender Islam di masa kekhilafahan ‘Umar ibn al-Khaththab mengisyaratkan pentingnya kedudukan hijrah dalam sejarah perjuangan Islam.[1] Karena memang pada faktanya hijrah ke Madinah bukanlah sebentuk mencari suaka politik seperti halnya hijrah ke Habasyah yang dilakukan oleh para shahabat atas instruksi Nabi saw. Hijrah ke Madinah adalah sebentuk proklamasi kemerdekaan Islam di atas wilayahnya sendiri dengan kekuasaan penuh untuk mengendalikan dakwah dan syari’at Allah swt. Dengan hijrah kaum Muslimin mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengatur dirinya sendiri dan menahan setiap gangguan yang datang dari luar.

Hijrah adalah sebuah pilihan sadar untuk lebih memilih Allah dan Rasul-Nya dibanding dunia yang sudah dimiliki. Dia dengan sendirinya mensyaratkan keimanan yang tinggi. Mengaku beriman tapi tidak mau hijrah merupakan isyarat bahwa ia masih menomorduakan Allah dan Rasul-Nya. Lihat bagaimana pengorbanan kaum Muhajirin dengan apa yang mereka tempuh. Mereka meninggalkan keluarga dan kerabat hanya karena tidak mau menanggalkan Islam seperti dikehendaki penguasa. Rumah mereka yang lengkap dengan semua perabotnya rela mereka tinggalkan hanya karena ingin beragama dengan benar. Usaha mereka yang sudah puluhan tahun digeluti dan menghasilkan pendapatan yang mencukupi pun dengan ikhlas mereka tinggalkan, hanya karena tidak mau tunduk kepada penguasa kafir. Status mereka yang semula kaya, rela dikorbankan menjadi miskin. Jika semula mereka hidup mapan di Makkah, maka dengan hijrah mereka siap menjalani hidup sebagai pengungsi di negeri orang. Semuanya itu mereka tempuh demi Allah dan Rasul-Nya, semua itu demi Islam. Maka pantas sekali jika kemudian mereka diganjar dengan kedudukan yang utama oleh Allah swt.

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.[2]

Demikian pula dengan orang Islam yang merelakan wilayahnya jadi tempat hijrah. Mereka tidak merasa berat hanya karena banyak pengungsi di sekeliling rumahnya. Mereka tidak merasa berat untuk sekadar memberi tempat dan makanan kepada para Muhajir fi sabilillah. Orang-orang seperti ini juga orang-orang yang sudah terbukti benar pengakuan keimanan mereka. Anshar, demikian mereka disebut, dimuliakan juga oleh Allah swt atas kerelaannya membantu para Muhajir.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan (keberatan) dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59] : 9)

Hijrah adalah sunnah yang sudah berlaku bagi para Nabi dan umat mereka sebelum Nabi Muhammad saw diutus. Karena tabiat jalan dakwah akan selalu mendapatkan penentangan fisik yang sangat luar biasa dari musuh-musuhnya. Dalam kondisi seperti itu, para Nabi dan umatnya dituntut untuk bisa menyelamatkan agama Allah swt dengan hijrah. Lihat misalnya Nabi Nuh as dengan pembuatan bahteranya. Nabi Ibrahim dengan umatnya yang harus berpindah-pindah dari Irak, ke Syam, ke Mesir lalu kembali ke Syam. Semuanya itu disebabkan mereka siap menyatakan berlepas diri dari apa yang dianut oleh masyarakat jahiliyyah. Demikian juga Nabi Musa as dan pengikutnya yang harus menyeberangi lautan demi menghindar dari kekejaman Fir’aun. Dan Nabi ‘Isa as yang harus menyatakan kepada pengikutnya, man anshari ilal-’Llah; siapa yang siap untuk menjadi penolongku menuju kepada Allah?

Maka keberpihakan kepada agama dan kerelaan menanggalkan duniawi itulah yang menjadi spirit pokok dari hijrah. Keengganan untuk memilih jalan tersebut menandakan betapa tipisnya keimanan seseorang ketika dihadapkan pada pilihan antara Allah swt dan dunia. Jika kita masih mengaku Islam, tapi hanya karena kesibukan pekerjaan duniawi kita, tidak ada waktu yang bisa disempatkan untuk memperdalam ilmu agama, maka keimanan kita pun dipertanyakan. Pilihan untuk berjilbab di satu sisi yang bentrok dengan kebijakan manajemen yang tidak mengizinkan jilbab di sisi lain, merupakan ujian keimanan kita yang sesungguhnya. Pilihan untuk menggunakan aturan-aturan agama yang kenyataannya bentrok dengan aturan-aturan sekular pun merupakan ujian keimanan untuk kalangan politisi dan birokrat. Ketidakmampuan diri untuk lepas dari jeratan sistem riba juga menjadi ujian keimanan untuk kalangan ekonom. Allah swt sudah mewajibkan hijrah sampai akhir zaman. Maka ketika kepentingan Alah bentrok dengan kepentingan dunia, hijrahlah kita semua menuju Allah dan Rasul-Nya.
http://persis.or.id/?p=1072

[1] Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.th. (5 jilid), 2 : 569.
[2] QS. Al-Hasyr [59] : 8

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah