Senin, 24 Mei 2010

Syirik Jaman Sekarang Lebih Parah Dibanding Jaman Dahulu

Apabila kita membandingkan kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu dengan kesyirikan yang dilakukan manusia zaman sekarang dan bahkan banyak yang mengaku sebagai muslim, terlihat bahwa kesyirikan zaman sekarang lebih parah daripada kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu. Kaum Musyrikin dahulu tidak mempersekutukan Alloh dalam sifat Rububiyah-Nya. Mereka meyakini bahwa yang mengusai alam semesta ini, yang berkuasa atas segala sesuatu, yang mampu menolong mereka dari mara bahaya hanyalah Alloh ‘Azza wa Jalla semata tidak ada yang lainnya.

Alloh menceritakan perihal kaum musyrikin zaman dahulu di dalam firman-Nya, yang artinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Alloh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alloh)” (QS: Al-Ankabut: 65)

Asy-Syaikh As Sa’di mengatakan: “Kemudian Alloh menerangkan bagaimana tauhid kaum musyirikin tatkala mereka berada dalam mara bahaya dan ketakutan yang mencekam yakni ketika mereka berada di atas bahtera. Pada saat mereka ditimpa ombak yang besar ditengah lautan, mereka meninggalkan sesembahan mereka yang lain dan mereka hanya berdoa kepada Alloh semata (sebab mereka yakin bahwa yang hanya bisa menolong mereka pada saat itu adalah Alloh semata). Maka tatkala mara bahaya itu telah hilang dari mereka dan Alloh selamatkan mereka sehingga mereka sampai di daratan, maka tiba-tiba saja mereka kembali mempersekutukan Alloh dengan tandingan-tandingan, padahal tandingan tersebut mereka yakini tidaklah mampu menyelamatkan mereka” (Taisir Karimir Rohman)

Kesyirikan Saat Ini

Lalu bagaimanakah kondisi sebagian orang yang mengaku-ngaku merupakan bagian dari kaum muslimin sekarang. Diantara mereka ada yang meyakini bahwa ada penguasa lain di alam ini. Ada yang meyakini bahwa yang menguasai pantai laut selatan adalah Nyi Roro Kidul, yang menguasai (atau dalam bahasa mereka “mbahu rekso”) Gunung Merapi adalah mbah ini dan itu, yang menguasai jembatan ini, pohon ini dan yang menyuburkan pertanian adalah mbah anu dan lain sebagainya. Lalu diantara mereka ada pula yang apabila akan ditimpa kesusahan atau mara bahaya, tidak meminta tolong kepada Alloh ‘Azza wa Jalla semata (sebagaimana kaum musyik dulu), namun malah datang kepada dukun-dukun, paranormal-paranormal, ataupun dengan istilah yang lebih unik yaitu Juru Kunci yang pada dasarnya mereka tersebut tidak berkuasa sedikitpun untuk menghindarkan mereka dari bahaya.

Mereka mendatanginya untuk meminta penolak bala, nasehat-nasehat penolak bala seperti membuat sesajen-sesajen dan ritual-ritual yang tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan kesyirikan tersebut diperparah dengan bungkusan-bungkusan “Islami”, seperti membacakan kertas-kertas atau buah-buahan atau sayur lodeh dan sesajian lainnya dengan ayat-ayat seperti ayat Al-Quran. WAllohu ‘Alam, Na’udzu Billah. Sehingga manusia yang tidak memiliki Tauhid dan Akal yang benar mengganggap kesyrikan tersebut sebagai Syariat Islam.

Bukankah ini lebih parah dibandingkan kaum musyrikin terdahulu? Maka semoga Alloh ‘Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin

Mintalah Hanya Kepada Alloh.

Meminta perlindungan atau isti’adzah merupakan salah satu macam dari do’a, sehingga termasuk dalam ibadah. Sehingga didalamnya berlaku kaidah ibadah secara umum yaitu tidak boleh bagi siapapun juga untuk menujukan ibadah tersebut kepada selain Alloh ‘Azza wa Jalla. Sehingga barang siapa yang meminta perlindungan kepada selain Alloh maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan kepada Alloh. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh, maka janganlah kamu menyembah seorang pun didalamnya di samping (menyembah) Alloh” (QS: Jin: 18)

Diantara contoh isti’adzah kepada selain Alloh adalah ruwatan, membunyikan klakson ketika melewati tempat angker dan permisi ketika melewati tempat angker serta contoh-contoh yang disebutkan diatas.

Kandungan Isti’adzah

Dalam isti’adzah terkandung dua amalan, yakni amalan zhohir dan amalan batin. Amalan zhohirnya adalah ketika dia meminta perlindungan itu sendiri kepada yang lain bisa dengan sesama makhluk atau dengan sang kholiq, yakni agar terjaga dan terselamatkan dari kejelekan. Dan amalan bathinnya adalah berupa bersandarnya hati, tenangnya hati dan sikap pasrahnya menyerahkan hajatnya kepada orang atau siapa yang mampu melindunginya.

Maka apabila isti’adzah pada dua macam ini, yakni amalan zhohir dan amalan batin, maka tentulah isti’adzah ini harus ditujukan hanya kepada Alloh, tidak boleh kepada selain-Nya. Mengapa?

Karena didalamnya terkandung amalan hati, dimana berdasarkan ijma’ ulama tidaklah boleh bagi siapapun juga untuk ber-tawajjuh (menghadap), ber-ta’alluq (bergantung) dan menyandarkan hatinya kepada selain Alloh.

Namun apabila yang dimaksud dengan isti’adzah adalah hanya terbatas pada amalan zhohir saja, maka boleh ditujukan kepada selain Alloh (kepada makhluk). Dan perkara seperti ini tentu saja tidak kita ingkari. Terkadang seseorang meminta bantuan kepada saudaranya yang lain agar terhindar dari kejelekan atau marabahaya .Seperti seorang yang minta bantuan polisi dari ancaman pembunuhan atau lainnya. Maka hal seperti ini hukumnya mubah (boleh) namun dengan syarat berikut ini:

Perkara tersebut adalah perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk.
Maka tidak boleh seseorang hamba meminta perlindungan dari bahaya badai dan gempa serta tsunami kepada Nyi Roro Kidul atau kepada makhluk yang lainnya, meminta perlindungan dari bahaya paceklik kepada dukun, kyai ataupun nabi sekalipun. Mengapa? Karena jelas-jelas perkara ini perkara yang sedikitpun tidak mereka kuasai.

Orang yang dimintai tersebut masih hidup
Maka tidak boleh meminta kepada orang-orang yang telah mati, meskipun dia seorang wali atau nabi sekalipun.

Orang yang dimintai tidak dalam keadaan ghoib (terjadi komunikasi)
Maka salah perbuatan orang-orang thoriqot atau kaum sufi yang mereka meminta kepada syaikh-syaikh thoriqotnya (yang tidak hadir) agar terhindar dari suatu bahaya.
Dari ketiga syarat diatas, maka barang siapa yang ketika dalam isti’adzahnya kepada selain Alloh (kepada makhluk) itu tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka sesungguhnya dia telah melakukan kesyirikan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dalam hal isti’adzah.

Ancaman Kepada Kesyirikan

Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni apabila dia dipersekutukan dan dia mengampuni dosa-dosa selainnya kepada siapa yang dikehendakinya” (QS: An Nisa: 116). Rasulullah shalallahu 'alahi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mati sedangkan dia membuat tandingan-tandingan untuk Alloh maka dia masuk neraka” (HR: Bukhori)

Dalam kaitan dengan isti’adzah Alloh menceritakan yang artinya: “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS: Al-Jin: 6). Dari ayat ini Alloh ‘Azza wa Jalla menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Alloh, maka tidaklah dia akan mendapatkan suatu ketenangan, bahkan sebaliknya dia akan bertambah takut dan mendapatkan dosa.

(Dikutip dan diolah dari: Buletin At-Tauhid edisi 19 Sya’ban 1426 H)

www.media-muslim.info

Apakah Orang Seperti Saya Tidak Pantas Di Surga?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Afwan Ustad, saya mau curhat. ustad, saya sedang merasa dizhalimi oleh salah seorang akhwat. Dia seorang yang faham ilmu agama, hafidz al-Qur'an, dan keturunan ulama besar di Jawa.

Kami pernah terlibat perselisihan dalam urusan dunia yang cukup rumit. Dulu, suami saya adalah calon suami wanita tersebut. Sampai sekarang, dia merasa sakit hati karena suami lebih memilih saya daripada dia. Alasan suami tidak memilih dia adalah karena pernah dihina oleh orangtuanya yang merasa mereka adalah keluarga ulama besar, sementara suami hanya dari keturunan ulama kampung. Keluarganya mengatakan bahwa mereka tidak mungkin jadi keluarga karena ada perbedaan strata sosial. Karena itulah, suami saya memilih untuk mundur dan meminang saya.

Ustadz, saya hanyalah wanita umum yang tidak faham agama dengan baik, bukan penghafal al-Qur'an dan bukan pula lulusan pesantren. Terus terang, saya sangat tersanjung karena suami telah memilih saya. Namun, masalah terus berlanjut. Wanita tersebut tidak terima karena suami saya telah meninggalkan dia. Dia selalu menyindir saya dan selalu mengganggu suami lewat sms dan telpon. Bahkan, dia pernah mengajak suami saya untuk bertemu di satu tempat tertentu tanpa sepengetahuan saya. Sebenarnya saya sakit hati terhadap wanita tersebut, tapi saya berusaha untuk tidak membencinya. Ironisnya lagi, dia malah menceritakan hal bohong kepada orang lain dan memfitnah saya.

Ustadz, apakah neraka itu hanya untuk orang-orang seperti saya yang bukan penghafal al-Qur'an? Apakah orang seperti saya tidak pantas di surga? Apakah orang-orang seperti saya tidak boleh berdoa kebaikan dan kebahagiaan?

Tolong Ustadz, beri saya pencerahan. Terima kasih Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X-…….

Jawaban:

Wa'alaikumsalam Wr. Wb. 

Sebelumnya saya ucapkan selamat kepada Anda dan suami yang belum lama melangsungkan pernikahan. Mudah-mudahan suami bisa menjadi pemimpin yg baik hingga kalian berdua pun dapat mewujudkan rumah tangga yg sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, dan pada akhirnya kebahagiaan di dunia dan akhirat pun dapat terwujud, amin Ya Robbal-‘aalamiin. 

Saudariku, apa yang Anda alami itu memang sering terjadi di kalangan masyarakat kita. Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya pemahaman yang baik tentang ajaran-ajaran al-Qur'an dan hadits serta kurangnya komitmen untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, mulai dari hal yang terkecil. Saya yakin bahwa wanita yang Anda ceritakan itu pasti mengetahui bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH bukan diukur berdasarkan status sosial, ras, jabatan ataupun ilmu agamanya, tetapi diukur berdasarkan ketakwaannya. Sebanyak apapun ilmu agama yang dimiliki seseorang, tapi kalau tidak diamalkan, maka hal itu tidak akan menambah kemuliaannya di mata ALLAH. Hal itu justru malah menambah hina di mata-Nya. Tidak sedikit dalil yang menunjukkan hal itu, di antaranya: Firman Allah swt.: “Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi ALLAH ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 13) Hadits Nabi saw.: “Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian.” (HR. Muslim) Pada riwayat lain disebutkan: “hati dan amal kalian.” Hadits Nabi saw.: “Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya seberapa jauh ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia belanjakan/nafkahkan, dan tentang badannya untuk apa ia rusakkan (manfaatkan).” (HR Tirmidzi) Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu akan dimintai pertanggungjawaban oleh ALLAH atas ilmunya, apakah diamalkan atau tidak. Dari sini, dapat difahami bahwa bila ilmu tersebut diamalkan, maka kemuliaannya di mata ALLAH akan bertambah. Tetapi bila tidak diamalkan, maka kemuliaannya justru akan berkurang.

Lalu, kenapa hal seperti itu bisa terjadi pada diri wanita tersebut, padahal dia adalah orang yang tahu agama, bahkan hafal al-Qur`an? Menurut saya, hal itu disebabkan karena kurangnya komitmen yang baik untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Karena itu, Anda tidak perlu cemas, stres, apalagi sampai putus asa terhadap rahmat ALLAH! Yakinlah bahwa kemuliaan seseorang di mata ALLAH diukur berdasarkan ketakwaannya, seperti yang ditegaskan ALLAH dalam surah al-Hujuraat tersebut. Jadi, kemuliaan seseorang bukan diukur berdasarkan banyak tidaknya ilmu agama yang dimiliki. Ketakwaan itu sendiri sangat ditentukan oleh komitmen seseorang untuk mengamalkan apa yang dia ketahui, bukan oleh banyaknya ilmu yang dia miliki.

Saudariku, ketahui pula bahwa surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, bukan orang-orang yang berilmu. ALLAH swt. berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-135)

Sekarang hadapi masalah Anda dengan hati dan pikiran yg jernih. Lakukan dua pendekatan: pendekatan horisontal, yaitu dengan membicarakan masalah ini dengan suami. Tentunya sebisa mungkin hindari emosi, karena emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Emosi justru akan menambah runyam masalah. Yang kedua adalah pendekatan vertikal, yaitu dengan cara berdoa kepada ALLAH swt.. Memohonlah kepada-Nya agar Anda diberi ketabahan dalam menyelesaikan masalah ini, semoga suami bisa menghadapi masalah ini secara dewasa, dan semoga wanita tadi diberi hidayah oleh ALLAH swt. Selamat mencoba! Wallaahu A’lam….

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

www.mediasilaturahim.com 
www.media-silaturahim.blogspot.com

Bila Ayah Tiri Lepas Tanggung Jawab, Apa Dapat Warisan?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau menanyakan sesuatu. Begini ceritanya, ibu saya sudah meninggal sekitar 3 bulan yang lalu. Sekarang ayah tiri saya mengutak-atik harta warisan yang ditinggalkan ibu saya. Bahkan, sebenarnya hal itu sudah dia lakukan sebelum ibu meninggal dunia.

Sebenarnya pokok permasalahan bukan terletak pada tata cara bagi waris (fara’idh) yang sudah disepakati oleh semua ahli waris. Tapi pokok permasalahan terletak pada kewajiban dan tanggung jawab ayah tiri saya selama ibu masih hidup. Sebagai contoh, sejak dia menikah dengan ibu saya, ternyata ibu saya-lah yang menafkahi keluarga hingga punya berbagai macam harta. Ayah tiri saya hanya enak-enakan saja dan tidak kerja sama sekali.

Waktu ibu sakit, dia juga tidak mengambil alih fungsinya sebagai seorang suami. Akhirnya, saya bawa ibu ke rumah saya dan saya urus beliau hingga beliau dipanggil ALLAH swt.. Tidak hanya itu, setiap kali diajak berembug soal biaya pengobatan ibu yang sedang sakit, dia selalu mengatakan “tidak tahu” dan “tidak punya uang”. Padahal, semua harta yang diperoleh ibu saya melalui usahanya sendiri, telah dikuasai oleh ayah tiri saya. Saat kami minta untuk menjualnya guna membiayai pengobatan ibu, dia selalu melarang. Bahkan karena kami telah menjual harta bawaan ibu yang sudah dihibahkan kepada kami (anak-anaknya), dia pun menggugat kami ke Pengadilan Agama.

Anehnya lagi, setiap kali saya mengadakan pengajian di rumah guna mendoakan kesembuhan ibu, dia malah melarangnya. Begitu juga, saat ada dokter teraphist yang datang untuk mengobati ibu saya, dia malah menyuruhnya pulang lagi. Seakan-akan dia menginginkan agar ibu saya cepat meninggal.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya harus menghadapi masalah ini? Saya merasa tidak ada keadilan dalam masalah ini. Sebab menurut saya, ayah tiri saya telah meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami, tapi mengapa dia mengejar-ngejar haknya untuk mendapatkan warisan dari ibu saya? Harta bawaan yang sudah dihibahkan kepada kami pun ikut dituntutnya. Malahan sebagian warisan tersebut sudah dia jual untuk kepentingan pribadinya tanpa seizin empat orang ahli waris lainnya, termasuk dua anaknya alias adik-adik saya lain ayah yang sekarang semuanya ikut saya. Mereka ikut saya karena tidak tahan melihat tingkah laku ayahnya yang kurang biadab. Terima kasih atas penjelasannya. 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-.....

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga seluruh amal baiknya semasa hidup diterima di sisi-Nya dan dosa-dosanya juga diampuni oleh-Nya. Saudaraku yang terhormat, apa yang telah dilakukan oleh ayah tiri Anda memang tidak baik dan bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Namun, hal itu belum bisa dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan dirinya terhalang dari haknya sebagai ahli waris dari isterinya sendiri (ibu Anda). Sebab, walaupun terkesan dia menginginkan kematian ibunda, namun secara hukum dia tidak terbukti melakukan tindakan pembunuhan terhadap ibunda.

Perlu diketahui bahwa, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak seseorang sebagai ahli waris:

  1. Orang kafir: Orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Muslim, demikian pula sebaliknya, walaupun keduanya memiliki hubungan darah atau hubungan pernikahan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Orang Muslim tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. Pembunuh: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuhnya, sesuai sabda Nabi saw.: “Pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Abu Daud)

Dalam kasus ayah tiri Anda, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua faktor tersebut. Karena itu, dia pun masih berhak untuk mendapatkan bagian dari harta waris, sesuai ketentuan syariah. Adapun mengenai harta waris yang sudah diambil dan dijualnya, itu merupakan hak semua ahli waris. Selama harta itu belum dibagi secara sah sesuai ketentuan ilmu fara’idh, maka secara hukum harta itu masih milik bersama (semua ahli waris), sehingga ayah tiri Anda tidak berhak untuk menjualnya tanpa izin dari ahli waris yang lain. Bila hal itu dia lakukan, berarti dia telah menzhalimi orang lain. Dalam hal ini, dia dituntut untuk mengembalikan harta tersebut, atau -paling tidak- mengembalikan nilainya, atau bisa juga dikurangi dari bagiannya nanti.

Saudaraku yang terhormat, masalah sikap ayah tiri Anda yang terkesan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan terkesan menginginkan kematian ibunda, pasrahkan dan serahkan sepenuhnya kepada ALLAH swt.. Biarlah ALLAH yang memberi balasan yang setimpal untuknya. Yakinlah bahwa setiap keburukan, sekecil apapun, akan dibalas oleh-Nya. ALLAH swt. berfirman: “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 8) Bahkan, bisa jadi balasan itu akan diberikan ALLAH di dunia, mungkin dalam bentuk kehidupannya yang sulit atau tidak berkah.

Jadi, Anda tidak perlu merasa risau dan bertanya-tanya mengapa dia tetap memperoleh bagian warisan. Sebab dalam masalah warisan ini, yang bisa diintervensi oleh hukum adalah bila seorang ahli waris beragama lain (kafir) atau terbukti melakukan pembunuhan terhadap si mayit. Bila kedua hal itu tidak ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum waris (fara’idh) seperti biasa. Sekarang ikuti saja ketentuan tersebut dan pasrahkan sepenuhnya kepada ALLAH bila dia memang benar-benar ingin menggugat Anda dalam kaitannya dengan harta bawaan yang sudah dihibahkan ibunda kepada Anda dan adik-adik. 

Saudaraku, terkadang sikap buruk seseorang terhadap kita atau terhadap orang yang kita cintai memang seringkali membuat kita emosi atau merasa kesal, dan itu sangat manusiawi. Namun sebagai umat Nabi MUHAMMAD saw., kita dituntut untuk mengikuti tauladan yang beliau contohkan kepada kita, termasuk dalam menyikapi sikap tidak menyenangkan dari orang lain. Lihatlah bagaimana beliau selalu legowo dan selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas akan membunuh beliau. Itulah puncak ketinggian akhlak seorang manusia yang dipilih oleh ALLAH swt. sebagai panutan bagi seluruh manusia. 

Jadi, berusahalah untuk ikhlas terhadap apa yang telah terjadi, syukur-syukur Anda bisa sampai pada tahap memaafkan kesalahan ayah tiri Anda. Yakinlah bahwa bila Anda ikhlas, maka ALLAH akan membukakan untuk Anda pintu-pintu rezeki dan pintu-pintu keberkahan-Nya. Ingat, rezeki ALLAH tidak hanya memiliki satu pintu saja, tetapi memiliki pintu-pintu yang sangat banyak. Jangan sampai kita berusaha mati-matian untuk membuka pintu yang satu itu saja, sementara pintu-pintu yang lain tertutup. Padahal, bisa jadi pintu-pintu lain itulah yang justru mengandung banyak keberkahan. Wallaahu A’lam.....

Source: 
www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com

Masih Ada Hutang, Bagaimana Nasib Almarhum Ayah Kami?

Assalamualaikum Wr. Wb.

Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan Allah swt.. Ustadz, saya ingin memohon bantuan Ustadz untuk masalah yang sedang dihadapi keluarga kami yang sebenarnya sudah cukup lama terjadi namun hingga sekarang masih mengganjal di hati kami.

Sebenarnya saya agak bingung mau mulai dari mana. Begini Ustadz, almarhum ayah saya kira2 tahun 1995 (tidak terlalu yakin) menjual tanah milik beliau kepada 3 orang pembeli. Karena berdasarkan rencana tata kota, tanah tersebut akan dijadikan jalan by pass dan batas DMJ jalan (istilahnya konsilidiasi), maka masih ada kelebihan tanah. Sebenarnya ayah saya ingin menjual seluruh tanah tersebut, tapi salah satu pembeli (si O) yang membeli tanah di posisi pinggir jalan yang sebenarnya juga berminat membeli seluruhnya, tidak mau mengambil tanah tersebut, dengan alasan takut nanti tanah yang dibelinya akan banyak terpakai untuk rencana tata kota tersebut. Karena itulah dibuat perjanjian di atas segel antara ayah dan si O tersebut, bahwa si O akan membeli sisa tanah tersebut setelah selesai masalah konsilidiasi rencana tata kota tersebut dengan harga yang sama saat si O membeli tanah yang telah dibeli sebelumnya yaitu dengan harga Rp. 40.000/m2, (perjanjian ini kami ketahui setelah ayah tiada). Padahal harga tanah saat konsilidasi selesai melonjak menjadi 10 kali lipat.

Kira-kira tahun 1997/1998, ayah saya sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit ibu kota provinsi tempat saya tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena tidak ingin terlalu merepotkan kami, anak2 beliau, tanpa sepengetahuan kami, ternyata ayah meminjam uang untuk tambahan biaya rumah sakit kepada si O yang  diantarkan beliau saat menjenguk ayah di rumah sakit. Pada saat itu si O menyerahkan kwitansi tanda terima uang sebesar Rp. 2.000.000,- yang ditanda tangani oleh ayah saya sebagai tanda terima uang pinjaman. Waktu itu kami sekeluarga benar2 berlinangan air mata, karena tidak menyangka ayah akan berbuat seperti itu, dan kami benar2 tidak merasa enak kepada ayah. 

April 1999, ayah kami berpulang ke Rahmatullah. Tentu sebagai ahli waris Alharmahum, kami pun berkewajiban untuk menyelesaikan utang piutang Almarhum yang masih ada, termasuk masalah uang pinjaman ayah kepada si O. Pada saat kami mendatangi Si O untuk membayar utang ayah, si O tidak mau menerima uang itu dengan 2 alasan:

  1. Si O ingin membeli sisa tanah yang ia beli dulu dengan utang Almarhum ayah dengan harga sama, yaitu Rp 40.000, dengan alasan ayah kami dulu telah berjanji dan janji ayah adalah merupakan utang. Sebagai ahli waris kami merasa keberatan, apalagi bagaimana si O menghargai tanah tersebut. Kami pun memutuskan untuk tidak akan menjual tanah tersebut.
  2. Si O mengatakan bahwa uang yang dipinjamkan kepada ayah kami adalah merupakan hasil penjualan kalung emasnya, dan si O pun ingin kami menggantinya dengan emas sebanyak yang ia jual dulu. Hal ini tidak disebutkan dalam perjanjian sebelumnya, bahkan tidak dicantumkan dalam kwitansi. Tapi demi lunasnya utang ayah, kami bersedia membayarnya dengan emas. Pada saat itu kami pergi ke toko emas guna menanyakan: "Dengan uang 2 juta rupiah di tahun 1997, berapa gram emaskah yang didapat pada saat itu?" Sesuai dengan informasi itulah, akhirnya kami membeli perhiasan emas dengan harga di tahun 1999 (harganya lebih dari 2 kali lipat). Tapi walaupun telah kami belikan perhiasan emas, namun si O tetap tidak mau menerimanya. Dia tetap bersikeras ingin dikompensasikan ke sisa tanah warisan ayah kami dengan harga Rp 40.000 per meter, dan kurang lebihnya akan diperhitungkan kemudian. Yang ingin saya tanyakan:

  • Dengan tidak maunya kami menjual tanah tersebut, apakah berarti almarhum ayah kami masih terikat utang?
  • Dengan tidak bersedianya si O menerima piutangnya, bagaimanakah nasib ayah kami di mata Allah berkaitan dengan utang tersebut?

Ustadz, kami mohon bantuan bagaimana jalan keluar dari masalah kami ini, agar ayah kami tenang. Karena tepat bulan April tahun ini, telah 11 tahun ayah pergi meninggalkan kami. Kami ingin Mendiang tenang di alam sana. Atas perhatian dan jawabannya, kami haturkan ribuan terima kasih....


Wassalamualaikum Wr. Wb.
R-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.


Ibu R yang saya hormati, setelah menganalisa masalah yang dialami keluarga Anda dan -tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt., akhirnya saya beranikan diri untuk menjawabnya. Di antara kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya setelah orangtua meninggal dunia adalah melaksanakan janji-janji yang belum dipenuhinya dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi ra., bahwa Abu 'Usaid berkata: "Ketika kami sedang berada di dekat Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah datang kepada beliau, lalu dia berkata: 'Wahai Rasulullah, masih adakah (kewajiban) berbakti kepada kedua orangtuaku setelah keduanya meninggal dunia?' Rasulullah saw. pun menjawab: 'Ya (masih ada), yaitu mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia, membina silaturahim dengan saudara-saudaranya dan memuliakan sahabat keduanya." (HR. Abu Daud)


Hadits ini jelas menegaskan bahwa upaya untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan oleh orangtua semasa hidupnya namun belum sempat dilaksanakannya hingga ajal menjemputnya, merupakan kewajiban anaknya, bahkan dikatagorikan sebagai upaya untuk berbakti kepada orangtua setelah dia meninggal dunia. Termasuk ke dalam katagori melaksanakan janji orangtua tersebut adalah melunasi hutang-hutangnya. Ini merupakan satu hal yang sangat penting karena menyangkut nasib orangtua di akhirat, seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi berjudul: "Meninggal Tapi Masih Punya Hutang". Dalam konsultasi tersebut, saya menyebutkan beberapa hadits, antara lain:

  1. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
  2. Pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Berdasarkan hadits-hadits ini, maka dalam prosesi pengurusan jenazah, biasanya pihak keluarga si mayyit mengatakan: "Apabila ada masalah hutang piutang yang berkaitan dengan almarhum, maka mohon segera disampaikan kepada kami, pihak keluarga." 

Hal ini dimaksudkan agar di mata ALLAH, si mayit bisa terbebas dari berbagai macam tanggungan, termasuk hutang piutang. Bahkan bila tidak ada pihak keluarga yang siap menanggungnya, maka dianjurkan kepada siapapun yang memiliki kemampuan, untuk menanggungnya. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Abu Qatadah. 

Berdasarkan hal ini, maka ibu tidak perlu khawatir akan nasib ayahanda. Sebab, seperti yang ibu katakan tadi, ibu dan ahli waris lainnya siap untuk menanggung semua hutang dan janji yang belum dilaksanakan oleh ayahanda. Dengan demikian, maka ayahanda pun terbebas dari segala macam tanggungan duniawi (hutang piutang). Sekarang tinggal doakan saja ayahanda agar dosa-dosanya diampuni ALLAH swt. dan amal kebajikannya diterima oleh-Nya, kemudian selesaikanlah semua tanggungan dan janji yang masih ada.

Namun, melihat apa yang pernah terjadi antara ayahanda dengan si O, ada beberapa hal penting yang ingin saya jelaskan agar dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda dan keluarga dalam menyelesaikan masalah hutang piutang dan janji ayahanda.

  1. Masalah janji yang dilakukan antara ayahanda dengan si O mengenai jual beli tanah, dari segi hukum janji tersebut batal (tidak sah). Setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab batalnya perjanjian tersebut: Pertama: Perjanjian tersebut merupakan perjanjian jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi). Sebab, kedua belah pihak 
    (terutama pembeli) tidak tahu persis kondisi barang yang akan dibeli, baik menyangkut kuantitas ataupun nilai jualnya pasca terjadinya konsolidasi tersebut. Bisa jadi tanah itu lebih sedikit dari harapan sehingga dapat merugikan pihak pembeli, atau malah harganya yang melonjak tinggi seperti kenyataan yang terjadi sehingga dapat merugikan pihak penjual. Apalagi dengan kondisi seperti itu, harga sudah ditetapkan terlebih dahulu, bukan disesuaikan dengan kondisi yang akan datang. Jual beli seperti ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak, padahal Islam sangat menjaga hak pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi (akad). Sebagai dalil mengenai diharamkannya jual beli yang mengandung unsur gharar ini, saya kutipkan sabda Nabi saw. sebagai berikut: "Jangan kamu membeli ikan yang masih berada di dalam air, karena jual beli seperti itu adalah jual beli tipuan." (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi). Jual beli ikan seperti ini dianggap mengandung gharar karena belum diketahui pasti sifat-sifat ikan tersebut, baik kuantitas maupun kualitasnya.  Kedua: Jual beli tersebut dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli: "Saya jual kereta ini bulan depan, setelah gajian." Menurut jumhur (mayoritas) ulama, jual beli seperti ini batal karena mengandung unsur ketidakpastian. Dari kedua alasan tersebut, maka meskipun telah terjadi perjanjian antara ayahanda dengan si O untuk menjual tanah tersebut pasca konsolidasi, menurut saya pribadi isi perjanjian itu sudah batal sejak awal sehingga tidak perlu dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan hadits lain yang menyatakan bahwa persyaratan yang ditetapkan (dalam suatu akad) akan batal bila bertentangan dengan ketentuan syariat. Nabi saw. bersabda: “Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)
  2. Mengenai hutang yang akan dibayarkan kepada si O, menurut hukum Islam, apa yang dilakukan oleh si O sama sekali tidak benar. Andaikata dia memang memberikan pinjaman uang itu setelah menjual emasnya, maka yang seharusnya diserahterimakan kepada ayahanda adalah emas. Adapun permasalahan penjualan emas itu atas perintah ayahanda, tidak termasuk ke dalam akad tersebut. Dengan demikian, bila yang diserahkan emas, maka harus diganti dengan emas (atau nilainya dari emas tersebut). Tapi bila yang diserahkan uang, maka harus diganti pula dengan uang. Kecuali, bila memang ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa pada saat itu si O tidak memiliki uang, hanya emas. Kemudian hasil penjualan emas itulah yang diserahkan kepada ayahanda sebagai pinjaman untuknya.

Menanggapi sikap si O pada kedua masalah di atas, ada satu hal yang ingin kembali saya tekankan di sini, dengan tujuan agar dapat menjadi pelajaran yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Yaitu, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita hendak melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Artinya, kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan kita tuntut dan juga harus memberikan keringanan, bukan malah mempersulitnya. Sebab, walau bagaimanapun, orang yang meminjam uang itu (bila Muslim), maka dia juga merupakan saudara kita. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)  Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: "Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".

Ini mengisyaratkan bahwa apabila kita masih diberi kelonggaran oleh ALLAH, maka kita dianjurkan untuk menyedekahkan piutang kita. Tetapi bila kita memang tidak memiliki kelonggaran seperti itu sehingga kita tidak bisa menyedekahkannya, maka setidaknya kita dituntut untuk memberikan keringanan, bukan mempersulit seperti yang dilakukan si O. Wallaahu a'lam....

Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat, amin.

Source:
www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah