Selasa, 26 Januari 2010

Empat Golongan Penyebab Hilangnya Islam

Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

وقال محمد بن الفضل الصوفي الزاهد ذهاب الاسلام على يدي اربعة اصناف من الناس صنف لا يعملون بما يعلمون وصنف يعملون بما لا يعلمون وصنف لا يعملون ولا يعلمون وصنف يمنعون الناس من التعلم قلت الصنف الاول من له علم بلا عمل فهو اضر شيء على العامة فإنه حجة لهم في كل نقيصة ومنحسة والصنف الثاني العابد الجاهل فإن الناس يحسنون الظن به لعبادته وصلاحه فيقتدون به على جهله وهذان الصنفان هما اللذان ذكرهما بعض السلف في قوله احذروا فتنة العالم الفاجر والعابد الجاهل فإن فتنتهما فتنة لكل مفتون فان الناس إنما يقتدون بعلمائهم وعبادهم فإذا كان العلماء فجرة والعباد جهلة عمت المصيبة بهما وعظمت الفتنة على الخاصة والعامة والصنف الثالث الذين لا علم لهم ولا عملوإنما هم كالانعام السائمة والصنف الرابع نواب ابليس في الارض وهم الذي يثبطون الناس عن طلب العلم والتفقه في الدين فهؤلاء اضر عليهم من شياطين الجن فانهم يحولون بين القلوب وبين هدى الله وطريقه فهؤلاء الاربعة اصناف هم الذين ذكرهم هذا العارف رحمة الله عليه وهؤلاء كلهم على شفا جرف هار وعلى سبيل الهلكة وما يلقى العالم الداعي الى الله ورسوله ما يلقاه من الاذى والمحاربة الا على ايديهم والله يستعمل من يشاء في سخطه كما يستعمل من يحب في مرضاته إنه بعباده خبير بصير ولا ينكشف سر هذه الطوائف وطريقتهم إلا بالعلم فعاد الخير بحذافيره الى العلم وموجبه والشر بحذافيره الى الجهل وموجبه

“Telah berkata Muhammad bin Al-Fadhl Ash-Shuufy Az-Zaahid : Hilangnya Islam itu disebabkan oleh empat golongan manusia :

1. Orang yang tidak beramal dengan apa-apa yang ia ketahui.

2. Orang yang beramal dengan apa apa-apa yang tidak ia ketahui (beramal tanpa ilmu).

3. Orang yang tidak beramal dan juga tidak berilmu.

4. Orang yang menghalangi manusia untuk belajar menuntut ilmu.

Aku (Ibnul-Qayyim) berkata :

Golongan Pertama, adalah orang yang mempunyai ilmu namun tidak mau beramal. Mereka ini lebih berbahaya terhadap masyarakat, sebab ia menjadi hujjah bagi mereka dalam setiap kekurangan dan kesulitan.

Golongan Kedua, adalah ahli ibadah namun bodoh (jahil). Manusia berprasangka baik dengannya karena ibadah dan kebaikan yang dilakukannya. Maka mereka pun mengikutinya disebabkan atas dasar kejahilan yang dilakukan oleh orang tersebut.

Kedua golongan di atas telah disebutkan oleh sebagian ulama salaf dengan perkataan mereka : ”Hati-hatilah terhadap seorang ’alim yang fajir dan seorang ahli ibadah yang jahil, karena fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah”. Sesungguhnya manusia itu akan mengikuti ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka. Apabila ulama itu adalah seorang yang fajir (senang bermaksiat) dan ahli ibadah itu adalah seorang yang jahil, maka meratalah musibah (bagi manusia) akibat keduanya. Menjadi besarlah fitnah, baik bagi kalangan tertentu dan juga masyarakat awam.

Golongan Ketiga, adalah orang yang tidak berilmu lagi tidak beramal yang mereka ini seperti binatang ternak.

Golongan Keempat, adalah para utusan Iblis di muka bumi yang (bertugas) melemahkan semangat manusia dalam menuntut ilmu dan ber-tafaqquh fid-diin (mendalami ilmu agama). Mereka ini lebih berbahaya dibandingkan syaithan-syaithan dari golongan jin. Mereka senantiasa memberikan tipu muslihat antara hati-hati manusia dan petunjuk/jalan Allah (yang lurus).

Keempat golongan yang disebutkan oleh Muhammad bin Al-Fadhl – rahmatullaahi ’alaih –, kesemuanya berada pada tepi jurang dan di atas jalan kebinasaan. Dan tidaklah akan ditemui suatu bahaya dan permusuhan yang menimpa seorang yang ’alim yang menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali disebabkan oleh (kejahatan) tangan-tangan mereka. Allah akan menjadikan siapapun yang dikehendaki-Nya (untuk beramal dengan amalan) yang menjadi sebab kebencian mereka terhadapnya sebagaimana Dia akan menjadikan orang yang Dia cintai untuk beramal dengan apa-apa yang menjadi keridlaan-Nya. (Allah ta’ala telah berfirman : ) ”Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-Nya lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuuraa : 27). Tidak ada yang dapat menyingkap rahasia dan thariqah golongan-golongan ini kecuali dengan ilmu. (Dengan hal itu), maka kembalilah kebaikan dengan segala unsurnya kepada ilmu dan segala pendorongnya; dan kembalilah kejelekan dengan segala unsurnya kepada kebodohan dengan segala pendorongnya pula”.

[selesai – Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1/160-161; Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Beirut - Abu Al-Jauzaa’, Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor, 16610 – http://abul-jauzaa.blogspot.com].

Semoga kita tidak termasuk salah satu di antara empat golongan tersebut.....

Keutamaan Ilmu

Dari : Abu Abror Ar Rizal

بسم الله الرحمن الرحيم
oleh Al-Ustadz Abu Muawiah


Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?” (QS. Az-Zumar: 9)

Dan Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Dan Allah juga berfirman:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmuku.” (QS. Thaha: 114)

Dari Muawiah bin Abi Sufyan -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya niscaya Allah akan menjadikannya faham dalam masalah agama.” (HR. Al-Bukhari no. 71, 2948, 6882 dan Muslim no. 1037)

Dari Abu Ad-Darda` -radhiallahu anhu- dia berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ سَلَكَ سَبِيْلاً يَبْتَغِي بِهِ عِلْماً، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ. وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتِهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ. وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلًّ شَيْءٍ حَتَّى الْحَيْتَانُ فِي الْمَاءِ. وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَاراً وَلاَ دِرْهَماً, إِنَّمَا وَرَّثُْوا الْعِلْمَ, فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa yang menempuh sebuah jalan guna mencari ilmu niscaya Allah akan memudahkan jalannya untuk masuk ke dalam surga. Sesungguhnya para malaikat betul-betul meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena mereka ridha dengan apa yang dia tuntut. Sesungguhnya seorang alim (orang yang berilmu) itu dimintaampunkan oleh segala sesuatu sampai ikan-ikan di lautan. Kelebihan seorang alim di atas abid (ahli ibadah) adalah bagaikan kelebihan yang dimiliki oleh bulan di atas bintang-bintang lainnya. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula perak akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu, karenanya barangsiapa yang mengambilnya (ilmu) maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat besar.” (HR. Abu Daud no. 3642 dan At-Tirmizi no. 2682 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6297)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal maka semua amalannya terputus kecuali tiga perkara: Kecuali sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim no. 1631)


Penjelasan ringkas:

Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa semua kata ilmu yang tersebut dan yang dipuji pemiliknya dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka yang dimaksud di situ adalah ilmu-ilmu agama dan bukan ilmu-ilmu dunia berdasarkan kesepakatan para ulama. Hal itu karena ilmu-ilmu dunia sama seperti masalah dunia lainnya, yakni hukum asalnya tidak mendapatkan pahala dan tidak juga mendapatkan dosa ketika melakukannya.

Kemudian ketahuilah bahwa iman dan ilmu agama mempunyai kedudukan yang besar lagi mulia di dalam agama ini, karenanya Allah Ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang beriman di atas orang-orang yang tidak beriman, dan Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman lagi berilmu di atas orang-orang yang beriman tapi tidak mempunyai ilmu terhadap agamanya. Dan kelebihan mereka yang beriman lagi berilmu dibandingkan orang yang beriman tapi tidak berilmu sangat nampak dalam hadits Abu Ad-Darda` di atas yaitu:

1. Dia akan dinaungi oleh para malaikat dengan sayap-sayap mereka.
2. Segala sesuatu akan memintaampunkan dosanya kepada Allah mulai makhluk yang berada di bawah lautan sampai makhluk yang ada di atas langit (para malaikat).
3. Dia diibaratkan sebagai bulan yang menerangi alam semesta, sementara orang yang hanya beriman tapi tidak berilmu hanya diibaratkan sebagai bintang yang hanya menerangi dirinya sendiri.
4. Mereka adalah pewaris para nabi, dan cukuplah ini menunjukkan keutamaan mereka.
5. Dia bisa mengajarkan ilmunya kepada orang lain, yang dengannya pahala akan terus mengalir kepadanya -sampai walaupun dia telah meninggal- selama ilmu yang diajarkan masih diamalkan oleh orang-orang setelahnya.

Dan kelima perkara ini tidak akan didapatkan oleh orang yang hanya beriman tapi tidak berilmu (ahli ibadah). Karenanya sangat wajar sekali kalau Allah tidak menyamakan kedudukan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu karena mereka adalah mujahid yang memperbaiki dirinya, memperbaiki orang lain, dan melindungi agama Allah dari setiap perkara yang bisa merusaknya, berbeda halnya dengan ahli ibadah yang kebaikannya hanya terbatas pada dirinya.

Berkaca dari semua keutamaan di atas, kita tentu akan memahami kenapa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- masih diperintahkan oleh Allah untuk meminta penambahan ilmu agama, padahal beliau adalah makhluk yang paling berilmu secara mutlak. Kalau beliau masih diperintahkan oleh Allah untuk menambah perbendaharaan ilmu beliau dan diperintahkan untuk berdoa meminta tambahan ilmu, maka bagaimana lagi dengan kita?!

Karenanya jika kita telah diberikan minat oleh Allah untuk mendekati ilmu agama -apalagi yang teah terjun di dalam menuntutnya- maka bergembiralah, karena sungguh itu merupakan tanda besar yang menunjukkan Allah ingin kamu mendapatkan kebaikan di dunia dan Dia akan mempermudah jalanmu untuk masuk ke dalam surga, yang mana jalan menuju ke sana adalah perjalanan yang sangat panjang lagi berat.

sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=1421

Kehormatanku Sudah Direnggut, Haruskah Aku Jujur Pada Calon Suamiku?


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tadinya saya sedang menunggu seorang pria yang ingin melamar saya 5 bulan lagi, karena dia sedang dalam masa kontrak dengan perusahaan tempat dia bekerja. Selama masa penantian itu, kami sepakat untuk tidak berkomunikasi. Kami sudah saling mengenal sejak lama. Dia kakak kelasku sewaktu kuliah dulu. Jujur, saya senang sekali dengan niatan dia untuk melamar saya, karena (menurut saya) akhlak dan agamanya baik.

Tapi ada satu hal yang membuat saya takut. Saya memiliki masa lalu yang tidak baik. Saya tidak bisa menjaga kehormatan saya. Tetapi alhamdulillah sekarang saya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah. Saya ingin jujur kepada dia, apapun yang terjadi nantinya, saya harus jujur sebelum dia menikahi saya. Sebab, saya tidak mau berbohong kepada dia tentang masa lalu saya.

Alhamdulillah saya sudah lega. Saya sudah jujur kepada dia, dan akhirnya dia memutuskan untuk tidak jadi melamar saya. Ini adalah resiko yang harus saya tanggung atas perbuatan saya di masa lalu. Saya akan mencoba ikhlas dan ridha atas semua keputusannya. Saya yakin rencana Allah –di balik semua itu- pasti indah. Tapi saya harus menjalani semuanya. Saya harus tetap SABAR dan SEMANGAT. Saya tidak akan menyerah karena saya yakin Cinta Allah akan selalu melindungi saya, dan hanya dengan Cinta-Nya itu saya dapat bertahan. Lalu apakah seorang seperti saya bisa menjadi seorang wanita yang shalehah, wanita yang akan dipilih oleh seorang laki-laki shaleh untuk dijadikan isterinya dn juga ibu dari anak-anaknya, meskipun saya memiliki masa lalu yang sangat buruk?? Masih pantaskah saya mendapat seorang pendamping yang shaleh?

Ironisnya lagi, adik saya juga mengalami hal yang sama seperti yang saya alami. Dia juga telah kehilangan kehormatannya sebelum menikah. Saya tidak tahu mengapa semua ini menimpa keluarga saya. Namun, keluarga tidak pernah tahu apa yang saya alami. Saya sembunyikan semuanya dari mereka karena saya tidak tinggal bersama mereka, sedangkan adik saya tinggal bersama mereka. Menurut pandangan Islam, bagaimana saya harus menyikapi keadaan ini? Terima kasih sebelumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

A - ….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudariku yang terhormat, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda:
Pertama: Keberanian Anda untuk berterus terang dan berkata jujur dalam kondisi seperti itu sungguh luar biasa. Anda berani mengatakan hal yang sebenarnya kepada laki-laki yang sebentar lagi akan melamar Anda di saat hati Anda sudah mulai tertarik kepadanya, meskipun Anda tahu bahwa keterusterangan itu akan mendatangkan hasil yang pahit dan tidak menyenangkan. Tapi yakinlah bahwa rasa pahit yang Anda alami itu tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan hasil yang akan Anda peroleh bila Anda tidak berterus terang kepadanya. Sebab bila Anda tidak melakukan hal itu, bisa jadi setelah menikah nanti, dia akan mengetahui bahwa sebenarnya Anda sudah tidak perawan lagi. Tentunya hal ini akan menjadi preseden buruk bagi Anda sehingga dia akan selalu berpandangan negatif terhadap Anda. Bila ini terjadi, maka keharmonisan rumah tangga Anda berdua rasanya sulit terwujud.

Jadi, menurut saya, apa yang Anda lakukan sudah tepat dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, karena Islam telah mengajarkan kepada kita untuk selalu berkata jujur meskipun pahit hasilnya. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian harus berkata jujur karena sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan (kalian) kepada kebajikan, dan sesungguhnya kebajikan itu akan mengantarkan kalian ke surga.” Beliau juga bersabda: “Katakanlah yang benar meskipun pahit hasilnya.”
Memang terkadang apa yang terlihat baik dalam kacamata manusia belum tentu baik dalam pandangan Allah. Demikian juga, apa yang terlihat buruk dalam kacamata manusia belum tentu buruk dalam pandangan Allah. Terkadang kita menyukai sesuatu dan berusaha keras untuk mendapatkannya, padahal di mata Allah, sesuatu yang kita perjuangkan itu justru tidak baik bagi kita. Sebaliknya, terkadang kita membenci sesuatu dan berusaha keras untuk menghindarinya, padahal di mata Allah, sesuatu yang kita benci dan hindari itu justru baik untuk kita. Karena itu, dalam menilai sesuatu, hendaknya kita mendasarkan penilaian itu pada nilai-nilai Islam. Inilah yang diajarkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Kedua: Saudariku, Anda tidak perlu khawatir dan bertanya-tanya apakah Anda masih bisa menjadi wanita shalehah ataukah tidak, hanya gara-gara masa lalu Anda yang kelam itu? Keshalehan seseorang bukanlah diukur berdasarkan masa lalunya, tetapi diukur berdasarkan perilakunya sekarang, apakah dia shaleh di mata Allah ataukah tidak. Semua itu tergantung diri Anda sendiri, apakah Anda benar-benar mau bertaubat kepada Allah dan memperbaiki masa lalu Anda itu ataukah tidak. Jika Anda sungguh-sungguh bertaubat kepada-Nya, Allah pasti akan menerimanya.

Rasulullah saw. bersabda: “Allah lebih bahagia dengan taubat hamba-Nya daripada seseorang di antara kalian yang berada di atas kuda tunggangannya, sedangkan ia sedang berada di atas tanah yang tandus, kemudian kuda itu hilang darinya, padahal makanan dan minumannya berada di atas kuda tersebut. Hal itu membuatnya putus asa, lalu ia menghampiri sebuah pohon dan membaringkan tubuhnya di atas pohon tersebut. Ia benar-benar putus asa atas kehlangan kudanya itu. Ketika ia sedang berbaring, tiba-tiba ia melihat kuda tersebut sudah berada di sisinya. Ia pun segera meraih tali kekang kuda tersebut. Karena terlalu gembira, ia pun mengatakan: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Rabb-Mu.’ Orang itu mengucapkan perkataan yang salah karena sangkin gembiranya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apa yang disebutkan dalam hadits tersebut hanyalah perumpamaan yang menggambarkan betapa gembira dan senangnya Allah bila ada hamba-Nya yang benar-benar bertaubat kepada-Nya. Tentunya, Allah juga akan mencintainya. Ketahuilah bahwa bila Allah telah mencintai seseorang, maka apa yang dia minta, insya Allah akan dikabulkan. Karena itu, bila Anda sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah, Anda tidak perlu khawatir apakah Anda masih bisa menjadi wanita shalehah ataukah tidak. Anda juga tidak perlu khawatir akan jodoh Anda. Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk Anda, sesuai firman-Nya: “Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik.” (QS. An-Nuur: 26)

Berdasarkan hal itu, maka mantapkanlah hati Anda untuk bertaubat kepada-Nya dengan taubat nasuha. Lalu mohonlah kepada-Nya agar Anda selalu dibimbing oleh-Nya, niscaya Anda akan mendapatkan yang terbaik di dunia dan akhirat.

Ketiga: Kisah yang Anda alami merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi remaja-remaja puteri kita, yaitu agar hendaknya mereka berhati-hati dan berusaha keras untuk menjaga kehormatannya. Jangan mudah terpedaya oleh bujuk rayu syaitan, baik syaitan jin ataupun syaitan manusia. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Terus terang, Anda termasuk orang yang beruntung karena Anda masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertaubat kepada-Nya. Sungguh berapa banyak orang yang telah berbuat maksiat, namun sampai akhir hayatnya mereka tidak diberi kesempatan oleh Allah untuk bertaubat. Na’udzubillah min dzaalik. Wallaahu A’lam….

Source: www.mediasilaturahim.com

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah