Jumat, 05 Maret 2010

Peringatan Kepada Kaum Gay, Lesbian, Homoseksual

Oleh: Syaikh Nabil Muhammad Mahmud

DALIL DARI SUNNAH TENTANG HARAMNYA HOMOSEKSUAL
[a]. Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” [HR Tirmidzi : 1456, Abu Dawud : 4462, Ibnu Majah : 2561 dan Ahmad : 2727]

[b]. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah : 2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]

[c]. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337]

[d]. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi : 1166, Nasa’i : 1456 dan Ibnu Hibban : 1456 dalam Shahihnya. Keterangan : hadits ini mencakup pula wanita kepada wanita]

[e]. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Itu adalah liwat kecil, yakni laki-laki yang menggauli istrinya di lubang duburnya” [HR Ahmad : 6667]

HUKUMAN TERHADAP KAUM HOMOSEKS
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan hukumannya sebagaimana hukuman zina yaitu dirajam bagi yang muhshan (sudah pernah menikah) dan dicambuk dan diasingkan bagi yang belum menikah. Sebagian yang lain mengatakan, kedua-duanya dirajam dalam keadaan apapun, menerapkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, “Bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Para sahabat telah menerapkan hukum bunuh terhadap pelaku homoseks. Mereka hanya berselisih pendapat bagaimana cara membunuhnya”

HUKUMAN TERHADAP PELAKU HOMOSEKS SETELAH MUSNAHNYA KAUM LUTH
Para pengikut madzhab Hambali menukil ijma’ (kesepakatab) para sahabat yang mengatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh. Mereka berdalil dengan hadits: “Barangsiapa yang kalian dapatkan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”.

Mereka juga berdalil dengan perbuatan Ali Radhiyallahu ‘anhu yang merajam orang yang melakukan homoseksual. Syafi’i berkata : “Dengan ini, kita berpendapat merajam orang yang melakukan perbuatan homoseksual, baik dia seorang muhsan atau bukan”.

Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khalid bin Walid bahwa ada di pinggiran kota Arab seorang laki-laki yang dinikahi sebagaimana dinikahinya seorang perempuan. Maka dia menulis surat kepada Abu Bakar Shiddik Radhiyallahu ‘anhu. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabatnya. Orang yang paling keras pendapatnya adalah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Tidaklah melakukan perbuatan ini kecuali hanya satu ummat dan kalian telah mengetahui apa yang telah Allah lakukan kepada mereka. Aku berpendapat agar dia dibakar dengan api”. Kemudian Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid untuk membakarnya.

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Dipertontonkan dari bangunan yang paling tinggi lalu dilemparkan (ke bawah) diikuti lemparan batu”.

Dengan demikian hukuman homoseks adalah bisa dengan dibakar, dirajam dengan batu, dilempar dari bangunan yang paling tinggi yang diikuti lemparan batu, atau dipenggal lehernya. Ada pula yang mengatakan ditimpakan tembok kepadanya.

Imam Syaukani memilih hukuman bunuh dan melemahkan pendapat selain itu. Mereka berpendapat seperti itu menilik firman Allah.

“Artinya : Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” [Hud : 82-83]

Dalam penerapan hukuman ini, pelaku homoseks dipersilakan memilih hukuman yang dia kehendaki dari hukuman-hukuman yang ada.

PERINGATAN KEPADA KAUM HOMOSEKS
[a]. Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku homoseks sebanyak tiga kali sedangkan pezina hanya sekali.

[b]. Takutlah engkau terjerumus dalam dosa ini karena akan merusakan dirimu dan dikhawatirkan akan menyeretmu kepada kekafiran seperti yang menimpa saudaramu sebelum kamu sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi halaman 191

Diceritakan ada seorang laki-laki yang jatuh hati kepada seorang pemuda tampan bernama Aslam. Cinta di hatinya begitu mendalam kepada Aslam. Akan tetapi, anak muda tersebut tidak mau dan menjauh darinya sehingga menyebabkan laki-laki itu terbaring sakit dan tidak dapat bangkit. Orang-orang yang kasihan melihat diri laki-laki itu mencoba mendatangkan anak muda itu, dan dibuatlah perjanjian supaya dia menengok laki-laki itu. Mendengar berita itu, laki-laki yang sedang kasmaran tersebut merasa sangat senang dan mendadak hilang kegelisahan dan kesedihannya. Manakala dia dalam kegembiraan menanti anak muda tersebut datanglah orang lain yang mengabarkan bahwa anak muda tadi sebenarnya sudah sampai di tengah jalan tetapi kembali, tidak meneruskan perjalanannya dan tidak mau memperlihatkan dirinya kepada laki-laki itu. Ketika mendengar berita tersebut, mendadak kambuh sakitnya hingga tampak darinya tanda-tanda sakaratul maut.

Kemudan dia bersyair.

Wahai Aslam sang penyejuk hati
Wahai Aslam sang penyembuh sakit
Keridhaanmu lebih aku sukai pada diriku
Daripada rahmat Sang Pencipta
Yang Mahamulia

Dikatakan kepadanya, “Takulah kamu dengan kata-kata itu!” Laki-laki itu menjawab, “Itu kenyataannya”. Maka akhirnya matilah dia dalam keadaan kafir kepada Allah.

KEJELEKAN KAUM LUTH DAN PERLAWANAN MEREKA TERHADAP ALLAH
Cermatilah jeleknya kaum Luth dan penentangan mereka terhadap Allah ketika mereka mendatangi nabi Luth dan tamu-tamunya yang tampan. Ketika melihat mereka datang Nabi luth berkata.

“Artinya : Hai kamumku, inilah putri-putriku. Mereka lebih suci bagimu” [Hud : 78]

Dia merelakan putri-putrinya untuk mereka peristri sebagai ganti tamu-tamunya karena mengkhawatirkan dirinya dan tamunya dari aib yang sangat jelek sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Hud ayat 78-80.

“Artinya : Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah puteri-puteriku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’ Mereka menjawab : ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki’. Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)’

DAMPAK NEGATIF HOMOSEKSUAL DITINJAU DARI SISI KESEHATAN
Islam sangat keras dalam meberikan hukuman atas kejahatan yang satu ini karena dampaknya yang buruk dan kerusakan yang ditimbulkannya kepada pribadi dan masyarakat.

Dampak negatif tersebut di antaranya.

a. Benci terhadap wanita
Kaum Luth berpaling dari wanita dan kadang bisa sampai tidak mampu untuk menggauli mereka. Oleh karena itu, hilanglah tujuan pernikahan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun seorang homo itu bisa menikah, maka istrinya akan menjadi korbannya, tidak mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan balas kasih. Hidupnya tersiksa, bersuami tetapi seolah tidak bersuami.

b. Efek Terhadap Syaraf
Kebiasaan jelek ini mempengaruhi kejiwaan dan memberikan efek yang sangat kuat pada syaraf. Sebagai akibatnya dia merasa seolah dirinya diciptakan bukan sebagai laki-laki, yang pada akhirnya perasaan itu membawanya kepada penyelewengan. Dia merasa cenderung dengan orang yang sejenis dengannya.

c. Efek terhadap otak

d. Menyebabkan pelakunya menjadi pemurung

e. Seorang homoseks selalu merasa tidak puas dengan pelampiasan hawa nafsunya.

f. Hubungan homoseksual dengan kejelekan akhlaq
Kita dapatkan mereka jelek perangai dan tabiatnya. Mereka hampir tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang mulia dan yang hina.

g. Melemahkan organ tubuh yang kuat dan bisa menghancurkannya. Karena organ-organ tubuhnya telah rusak, maka didapati mereka sering tidak sadar setelah mengeluarkan air seni dan mengeluarkan kotoran dari duburnya tanpa terasa.

h. Hubungan homoseksual dengan kesehatan umum.
Mereka terancam oleh berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena merasa lemah mental dan depresi.

I. Pengaruh terhadap organ peranakan.
Homoseksual dapat melemahkan sumber-sumber utama pengeluaran mani dan membunuh sperma sehingga akan menyebabkan kemandulan

j. Dapat meyebabkan penyakit thypus dan disentri

k. Spilis, penyakit ini tidak muncul kecuali karena penyimpangan hubungan sek

l. Kencing nanah

m. AIDS, para ahli mengatakan bahwa 95% pengidap penyakit ini adalah kaum homoseks

BISAKAH KAUM HOMOSEKS BERTAUBAT DAN MASUK SURGA?
Ibnul Al-Qayyim berkata : “Jika pelaku homoseks bertaubat dengan sebenar-benarnya (taubat nasuha) dan beramal shaleh kemudian mengganti kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan, membersihkan berbagai dosanya dengan berbagai kataatan dan taqarrub kepada Allah, menjaga pandangan dan kemaluannya dari hal-hal yang haram, dan tulus dalam amal ibadahnya, maka dosanya diampuni dan termasuk ahli surga. Karena Allah mengampuni semua dosa. Apabila taubat saja bisa menghapus dosa syirik, kufur, membunuh para nabi, sihir, maka taubat pelaku homoseks juga bisa menghapuskan dosa-dosa mereka.

PENANGGULANGAN HOMOSEKS DAN PENYEMBUHANNYA
a. Menanamkan akidah shahihah pada semua anggota masyarakat karena ia merupakan benteng yang aman dan pelindung dari ketergelinciran dan penyelewengan.

b. Memperbanyak halaqah (majlis pengajian) menghafal Al-Qur’an khususnya pada anak-anak dan remaja

c. Memperhatikan pendidikan anak-ank muda dan mengisi waktu kosong mereka dengan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan tanah air mereka.

d. Menjadikan penjara sebagai madrasah untuk pendidikan, perbaikan narapidana, serta meluruskan akhlaq mereka dengan pendidikan Islam yang benar

e. Mengkhususkan khutbah (ceramah) untuk para pemuda yang memperingatkan mereka dari bahaya dan dampak buruk homoseksual

f. Menasehati para pemuda di kompleks-kompleks terdekat dan memberikan buku-buku bacaan Islam yang bisa menguatkan hubungan mereka denan Allah

g. Menghilangkan sarana berkumpulnya para pemuda tempat mereka melakukan kemasiatan

Kita berdo’a semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepada kita dan anak keturunan kita agar tidak terjrumus dalam gelimang dosa yang penuh kekejian ini dan memberikan hidayah kepada mereka yang telah terlanjur untuk kembali kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Lumpur dosa ini.

Allah Al-Musta’an. Wallahu a’lam

[Disalin dari Majalah Fatawa Vol. 11/Th.1/1424H-2003M. Disarikan dan dialaihbahasakan oleh Yusuf Purwanto dan Abdullah. Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan-Bantul, Yogyakarta]
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2108/slash/0

Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu sehat dan selalu dalam lindungan Allah swt., aamiin…

Ustadz yang saya hormati, saya ingin bertanya tentang satu hal kepada Ustadz, yaitu tentang status anak di luar nikah. Saya pernah mendengarkan pengajian yang –kalau tidak salah- disampaikan oleh Ustadzah Hj. Luthfiah Sungkar. Kemudian sewaktu akan melangsungkan pernikahan, saya juga mendapat nasehat pernikahan yang isinya antara sebagai berikut:

  1. Perempuan yang hamil di luar nikah tidak boleh dinikahi, dan boleh dinikahi jika telah melahirkan dan melewati masa nifasnya.
  2. Anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, jika laki-laki maka ia tidak mempunyai hak waris, dan jika perempuan, maka ayahnya tidak boleh bertindak sebagai wali pernikahannya kelak.
Ustadz, dua hal tersebut sangat saya yakini kebenarannya karena disampaikan oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama yang sangat dalam, sehingga sewaktu saya menerima pengetahuan tersebut, saya tidak berusaha untuk menghafalkan di surat apa dan ayat berapa dicantumkan perkara ini, atau hadits apa yang menerangkannya.

Tapi seiring berjalannya waktu, beberapa kali saya menghadapi orang-orang yang salah dalam melaksanakan perkara ini. Namun, karena keterbatasan pengetahuan yang saya miliki, saya pun sulit untuk mempertahankan pendapat saya. Misalnya:

  1. Ada orangtua yang buru-buru menikahkan anaknya yang hamil di luar nikah dengan alasan untuk menutupi aib keluarga. Tapi mereka tidak menikahkannya kembali saat sang anak telah melahirkan.
  2. Ada orangtua (ayahnya) yang menjadi wali saat menikahkan anak perempuannya yang merupakan anak hasil hubungan di luar nikah.

Tentu saja, kedua kejadian tersebut membuat pasangan-pasangan yang menikah itu hidup secara zina di mata Allah. Hal inilah yang membuat saya ingin memastikan kepada Ustadz tentang kebenaran yang saya yakini itu. Surat-surat apa sajakah dalam Al-Qur`an yang memuat tentang perkara-perkara di atas dan hadits-hadits apa sajakah yang menerangkannya, sehingga ketika saya bertemu dengan kejadian seperti ini lagi, saya dapat menerangkannya dengan lebih jelas apa yang saya yakini itu.

Selain itu, bagaimana cara agar saat menyampaikan hal itu kepada orang lain tidak menyinggung perasaan orang tersebut. Itu saja yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz. Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah. Atas kemurahn hati Ustadz untuk menjawabnya, sebelum dan sesudahnya saya haturkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
R -……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal’afiat. Terima kasih juga atas doanya, semoga Anda juga demikian adanya.

Saudariku yang terhormat, pendapat yang Anda yakini kebenarannya itu bukanlah satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah hukum menikahi wanita yang hamil di luar nikah dan juga status anak hasil hubungan di luar nikah. Ada banyak pendapat dalam masalah tersebut. Ada ulama yang menutup pintu rapat-rapat, ada yang mau membukanya tetapi hanya sedikit saja sebagai wujud kehati-hatiannya, dan ada yang membukanya cukup lebar. Namun perlu diketahui, pendapat mereka itu bukan pendapat asal-asalan, melainkan pendapat yang didasarkan pada dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Sebelum menuju inti permasalahan yang Anda tanyakan, terlebih dahulu saya akan menjelaskan tentang hukum kedua masalah tersebut secara umum.

A. Hukum Menikahi Wanita Hamil Di Luar Nikah

Bila seorang wanita hamil di luar nikah, berarti dia telah melakukan perbuatan zina. Mengenai hukum menikahi wanita yang pernah berzina itu, sedikitnya ada 3 pendapat:
  1. Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.
  2. Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.” (HR. Abu Daud). Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)
  3. Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.
Saudariku yang terhormat, nampaknya pendapat yang Anda sampaikan di atas merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang membolehkan wanita yang pernah berzina untuk dinikahi. Hanya saja pendapat tersebut tidak membolehkan wanita itu tidak boleh dinikahi saat sedang hamil dengan dalil seperti yang telah disebutkan di atas. Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang membolehkannya asalkan dia dinikahi oleh orang yang benar-benar menghamilinya dan memang hanya dia yang menggaulinya.

B. Status Anak Di Luar Nikah
Adapun mengenai status anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, memang ada yang berpendapat seperti pendapat yang Anda sebutkan. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang berbunyi: “(Status) seorang anak adalah bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah (kerugian dan penyesalan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud dengan firasy adalah kasur. Jadi, makna hadits tersebut adalah bahwa nasab (garis keturunan) seorang anak akan dinisbatkan kepada pemilik firasy atau laki-laki yang menggauli ibunya secara sah. Bila pemilik firasy itu adalah suami yang sah, maka nasab anak tersebut berhak dinisbatkan kepadanya. Namun bila pemilik firasy itu bukan suami yang sah, maka nasab anak yang lahir tidak boleh dinisbatkan kepadanya.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa bila anak itu lahir 6 bulan setelah pernikahan antara ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak itu merupakan anak yang sah tanpa harus ada ikrar (pengakuan) dari laki-laki yang menghamilinya itu. Sedangkan bila dia lahir di bawah 6 bulan setelah pernikahan, maka sah atau tidaknya nasab sang anak tergantung pada ikrar laki-laki yang menghamilinya.

Mengingat adanya perbedaan pendapat pada kedua masalah tersebut, maka bila ada kasus serupa, sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu kepada orang yang bersangkutan, apakah dia tahu tentang hukumnya ataukah tidak. Bila tahu, maka –menurut saya- hal itu tidak jadi masalah. Sebab perbedaan pendapat tersebut merupakan perbedaan pendapat (ikhtilaf) pada masalah-masalah furu’iyyah (cabang) yang tidak semestinya menimbulkan perpecahan. Apalagi masing-masing pendapat merupakan hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada dalil-dalil tertentu. Lain halnya, bila orang yang bersangkutan tidak mengetahui hukumnya, maka Anda bisa menjelaskan pendapat yang Anda yakini kebenarannya dengan dalil-dalil seperti yang saya sebutkan di atas.

Tapi apapun pendapat yang kita yakini, yang terpenting bagi kita sekarang adalah menghindari agar kasus seperti itu tidak terjadi, yaitu dengan cara menjaga diri kita dan juga anak-anak kita dari perbuatan zina. Sebab, mencabut akar-akar dari pohon yang berbahaya adalah jauh lebih baik daripada hanya sekedar memotong dahan-dahannya saja. Sekedar mengingatkan, perbuatan zina merupakan perbuatan dosa besar, bahkan termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari oleh seorang Muslim.

Dalam Al-Qur`an, Allah swt. melarang kita untuk melakukan perbuatan zina, bahkan mendekatinya (seperti dengan berpacaran) saja tidak dibolehkan. Allah swt. berfirman: “Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” (Al-Isra’:32)
Demikian yang bisa saya jelaskan, kurang lebihnya mohon maaf. Wallaahu A’lam….

Info: Bagi Anda yang ingin mendapatkan mutiara-mutiara hikmah singkat yang disarikan dari apa yang ada di seputar kehidupan kita, dan juga dari Al-Qur`an dan Hadits, silahkan bergabung menjadi fans page Media Silaturahim. Untuk bergabung, klink link berikut: http://www.facebook.com/search/?q=media+silaturahim&init=quick#!/pages/Media-Silaturahim-Umat-Islam/114097513840?ref=search&sid=100000015621487.2762803255..1

Source: http://www.media-silaturahim.blogspot.com

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah