Jumat, 11 Desember 2009

Amalan-Amalan Musyrik dan Bid’ah Pada Bulan Muharram

Yan-Yan Hardiansyah

(Mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadis STAIPI Garut)

Bulan Muharram, selain berisi banyak anjuran ibadah seperti sudah dipaparkan sebelumnya, juga dipenuhi dengan tradisi-tradisi di tengah masyarakat yang mengarah pada kemusyrikan dan bid’ah. Amalan-amalan dan upacara-upacara yang mengarah kepada kemusyrikan itu biasanya berakar pada tradisi dan ajaran-ajaran sesat. Namun, anehnya banyak kalangan yang justru mendukung acara-acara tersebut dengan dalih sebagai warisan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Tidak jarang pula pemerintah malah menjadi sponsor dan mendanai acara-acara tersebut dengan alasan ekonomis: agar menjadi daya taik pariwisata. Padahal, tindakan seperti itu jelas menantang azab Allah Swt. Na’udzubillah.

Berikut akan diulas sedikit mengenai acara apa saja yang sering dilakukan setiap bulan Muharram dan mengarh kepada kemusyrikan dan juga bid’ah. .

Tradisi Jawa

Dalam tradisi jawa kita mengenal “Sura” yang terambil dari kata ‘asyura’ yang berarti hari ke-10 pada bulan Muharram. Pada bulan ini muncul pemahaman yang menjadi bukti adanya pensakralan. Muharram dianggap sebagai bulan keramat sehingga banyak aktivitas yang dikurangi bahkan dihentikan salah satunya adalah pernikahan. Mereka beranggapan bahwa nikah pada bulan ini akan mengakibatkan malapetaka bagi kedua mempelai. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Ia menyatakan, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Sura (Muharram), dan ternyata tertimpa mushibah!” .

Dengan adanya peristiwa ini maka logika sebagian masyarakat awam akan membenarkannya. Lantas membuat acara ritual untuk tolak bala. Di antaranya mgengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram). Sebagian yang lain mengadakan sadranan berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu dihanyutkan di laut selatan dengan disertai kepala kerbau. Tujuannya tiada lain untuk mengalap berkah dari sang Ratu Pantai dan supaya ia tidak mengganggu penduduk sekitar.

Selain itu juga acara yang sudah menjadi tradisi pada bulan Muharram yakni kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kiai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Acara ini mendapatkan respon yang begitu besar dari warga solo dan sekitarnya. Sehingga mereka rela berjubel dan bersusah payah menghadiri acara tersebut. Tujuannya tiada lain untuk mendapatkan berkah dari sang kerbau berupa kemudahan rezeki, dagangan yang laris, dan sebagaianya.

Itulah sebagian besar acara yang sering dikerjakan pada bulan Muharram di Jawa. Acara tersebut bisa kita temukan di sekitar pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Jogjakarta, Cilacap, dan lainnya. Hal ini bukan muncul begitu saja. Jauh sebelum Islam datang, sebagian besar masyarakat kita memiliki kepercayaan animisme & dinamisme. Dalam kepercayaan tersebut ada prosesi ritual seperti itu dan tampaknya sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jawa sehingga untuk melepaskannya sangat sulit. Bahkan meskipun Islam sudah jadi agama yang mereka anut, tetap saja mereka tidak bisa meninggalkannya. Dengan alasan, ini adalah warisan leluhur yang tidak boleh diganggu gugat apalagi ditinggalkan.

Tradisi Syi’ah

Selain dinilai keramat. Muharram juga ternyata merupakan bulan yang penuh dengan duka. Pada bulan tersebut, tepatnya tanggal 10 Muharram. Komunitas yang mengatasnamakan dirinya Syi’ah senantiasa melakukan acara akbar terutama pada tanggal tersebut. Acara ini diadakan untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Ratusan pemuda Syi’ah melakukan pawai besar-besaran dengan hanya mengenakan sarung saja. Di punggung mereka tersedia rantai besi untuk dijadikan sebagai alat penyiksaan terhadap diri mereka sendiri. Banyak diantara mereka yang luka memar sampai berdarah bahkan sampai melukai dahi mereka sendiri. Suasana seperti itu akan terlihat mulai dari tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram. (Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51)

Memperhatikan hal tersebut Imam Al-Musawi tokoh ulama mereka menyatakan: “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. (hal. 85)

Tidak serta merta apa yang mereka lakukan jauh dari konsep yang mereka pelajari. Justru apa yang nampak merupakan cerminan dari apa yang mereka yakini dalam beberapa kitabnya, yakni Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, menyatakan : “…Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pda hari ‘Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan Imam yang adil”.

Selain itu juga dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan ” Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling mulia”. Riwayat yang lainnya juga menyebutkan: “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia di banding Makkah Al-Mukarramah hanya dikarenakan Al-Husain dimakamkan di sana. (Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah al-Itsna Asyriyah Dr. Nashir Al-Qifari, hal. 460- 464)

Koreksi Terhadap Tradisi di Bulan Muharram

Berbagai macam ritual yang ada pada bulan Muharram sebagaimana disebutkan diatas. Nampaknya telah jauh dari nilai dasar ajaran Islam. Pada prinsipnya dalam ajaran Islam segala kekuatan adalah milik Allah. Tidak dibenarkan bagi hambanya untuk berlindung, meminta berkah kepada selain Allah. Jika berbuat demikian, Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang muysrik. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Dan sekali-kali mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Orang yang menyandarkan dirinya pada waktu termasuk menentukan celaka dan juga bahagianya karena waktu tertentu maka Allah menyatakan dalam hadits qudsinya: “Manusia menyakiti Aku, dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah (pemilik dan pengatur masa) Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti” (Bukhari 4826, Muslim 2246)

Dalam hadits tersebut Imam Al-Baghawi berpendapat bahwa dahulu orang-orang Arab terbiasa mencela masa apabila tertimpa mushibah. Mereka mengatakan: “Makna tertimpa masa bencana”. Maka jika mereka menyandarkan mushibah yang menimpa kepada masa, berarti mereka telah mencaci pengatur masa itu yakni Allah SWT. Karena pengatur urusan yang mereka lakukan itu pada hakikatnya adalah Allah. Oleh karena itu mereka dilarang mencela masa. (Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, hal. 51)
Oleh karena itu keyakinan menyakralkan waktu-waktu tertentu termasuk pada bulan Muharram bahkan dianggap sebagai waktu yang keramat maka hal ini jelas telah melakukan tindakan syirik besar yakni meyakini adanya kekuatan lain yang lebih besar dibandingkan kekuatan Allah SWT.

Demikian halnya dengan tradisi ritual yang dilakukan oleh Syi’ah. Di dalamnya tercermin sikap Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap imamnya. Rasulullah Saw melaknat perbuatan ini melalui sabdanya: “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)” (HR. Bukhari 435, Muslim 531)

Dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa Nabi pernah dikabari mengenai gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia), dengan dihiasi berbagai macam ornamen. Lantas mengenai hal ini beliau bersabda: “Mereka itu, apabila ada orang shalih meninggal, mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu gambar-gambar (patung-patung). Mereka itulah makhluk yang paling jelek disisi Allah” (HR. Bukhari: 427, Muslim: 528)

Perbuatan diatas mengisayaratkan bagaimana sikap ghuluw yang mereka tunjukkan kepada Nabi mereka. Padahal hal itu tidak diperintahkan oleh Allah dan juga Rasul-Nya. Bahkan Allah dan juga Rasulnya melaknat perbuatan tersebut dan menyebut mereka sebagai makhluk yang paling jelek disisi Allah SWT.

Dengan demikian ada dua hal yang dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan. Pertama bahwa tradisi jawa yang ada pada bulan Muharam adalah kemusyrikan yang nyata. Kedua tradisi Syi’ah yang dilakukan tiap tahunnya adalah bentuk kemusyrikan yang dilaknat Allah SWT. Kita sebagai kaum muslimin harus terus berupaya menyadarkan pada mereka mengenai kesalahan yang mereka lakukan. Semoga saja mereka segera bertaubat. Wallahu ‘Alam.

http://persis.or.id/?p=1067

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah