APA RAHASIA KESEHATAN NABI MUHAMMAD SAW ?
“4B KIAT HIDUP SEHAT” sebagaimana yang dijalani oleh Rasululllah Saw:
1. BANYAK MINUM MADU (Q.S AN-NAHL 69) & AIR PUTIH
2. BERBEKAM 1 BULAN 1 X & BANYAK OLAHRAGA (HR.Bukhari )
3. BERFIKIR POSITIF / TIDAK BERBURUK SANGKA(Q.S.Al-Hujurat 12)
4. BANGUN MALAM UNTUK SHOLAT TAHAJJUD (Q.S. Al-Isra’ 79)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab 21)
1. BANYAK MINUM MADU ( AN-NAHL 69 ) & MINUM AIR PUTIH
“ kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (MADU) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan” (An-Nahl 69)
Ini sesuai dengan sunnah Rasul, Madu dan air Putih itu LUAR BIASA KHASIATNYA. Madu adalah obat yang menyembuhkan kata Allah didalam Al Qur’an,sudah tidak diragukan lagi keunggulannya, Subhanallah. Disamping itu madu mempunyai KEISTIMEWAAN yaitu :
• Sangat cepat diserap oleh tubuh
• Tanpa proses pencernaan
• Tidak ada ampas
• Kandungannya 60% dari darah jadi sangat cepat diserap oleh darah
• 1 sendok makan = 1 butir telur
1 kilo gram madu = 3 kg daging sapi segar
2. BERBEKAM 1 BULAN 1X & BANYAK OLAHRAGA
Imam At Tirmidzi didalam jami’nya, dari Humaid At Thawil ra, dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda“ Sebaik-baik pengobatan yang kalian lakukan adalah Bekam “ (HR. Al Bukhari No. 5696 dan Muslim No. 1577, Hadits shahih menurut syarat Asy-Syaikhany. Al-Albany menshahkannya As-Silsilag Ash-Shahihah, 1053.26. Lihat pula Musnad Ahmad). Dan sabdanya lagi “ Tidak ada obat yang bisa disetarakan dengan berBekam dan mengeluarkan darah (fashd) “ Juga sabdanya lagi, “ Sesungguhnya syaitan berjalan dalam diri anak adam melalui saluran darah “. Sahabat Abdullah bin Umar ra berkata, “ Terdapat banyak manfaat dari memelihara darah “ Rasulullah SAW memuji orang yang berBekam, “ Dia membuang darah yang kotor, meringankan tubuh serta menajamkan penglihatan “
“ Jibril memberitahukan kepadaku bahwa Bekam adalah pengobatan yang paling bermanfaat bagi manusia “ ( Shahihul Jami, 218 menurut Syaikh Al-Albany).
Bekam merupakan Perawatan, Pencegahan serta Penyembuhan Penyakit yang telah dipraktekkan sendiri oleh Rasulullah SAW, sebagaimana Baginda SAW sendiri diperintahkan oleh para Malaikat ketika Beliau SAW di Isra dan di Mi’rajkan oleh Allah SWT ke Sidratul Munthaha “ Pada malam aku di Isra Mi’rajkan, aku pada waktu itu melewati sekerumunan Malaikat dan mereka berkata : Ya Muhammad anjurkan kepada umatmu untuk berBekam “ (HR. At Tirmidzi). Allah SWT mewajibkan kita satu bulan dalam setahun yaitu di Bulan Ramadhan untuk menyucikan Rohani dengan berpuasa, maka wajarlah bila Rasulullah SAW menyunahkan kita untuk berBekam satu bulan sekali bagi membersihkan Jasmani kita.
Beliau tidak pernah bermalas-malasan apalagi tidur berlebih-lebihan, Beliau selalu Aktif dan Bekerja. Nah bagi ibu-ibu rumah tangga pekerjaan sehari-hari sebenarnya juga merupakan olahraga asal dilakukan dengan hati yang senang dan ikhlas (jangan gerundel). Tapi sebaliknya, jika semua pekerjaan rumah oleh pembantu dan kita hanya duduk saja tentu tubuh juga kurang bergerak, apalagi jika tidak pernah berolahraga. Olahraga dan gerak tubuh selain menjaga kesehatan juga membuat Awet muda.
3. BERPIKIR POSITIF “TIDAK SU’UDZHON / TIDAK BERBURUK SANGKA” (AL-HUJURAT 12 )
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang” (Al-Hujurat 12). Contonya ketika berdakwah, Rasulullah SAW pernah dihina, dicaci, disakiti, diteror oleh kaum kafir Quraisy, tapi semua itu tidak membuat Beliau kecewa, patah semangat, apalagi stress. Beliau menghadapi setiap kesulitan dengan senyum, ketika ada beban yang berat Beliau tawakal kepada Allah. Rasullah SAW selalu berfikir positif tentang sikap orang lain, melihat masalah yang ada dengan hati dan pikiran yang jernih dan tenang. Sehingga kesehatan jiwa beliau terjaga dan berpengaruh terhadap fisik. Karena kita ketahui STRESS ITU BISA MEMICU BERBAGAI PENYAKIT. Banyak hikmah yang dapat kita petik dari kiat ketiga ini, contohnya : jika diantara kita ada yang belum mendapat jodoh, berfikir positif bahwa saat ini Allah masih memberi kita kesempatan yang lebih luas untuk mengabdi kepada kedua orang tua kita. Contoh lain : ketika kita kehilangan dompet, jangan stress karena belum tentu dengan stress dompet kita akan kembali. Tapi berfikirlah tenang, berusahalah untuk mendapatkannya kembali dan mendoakan orang yang mengambilnya atau yang menemukannya semoga ia mendapat hidayah. Tenang dan jangan panik, pandanglah setiap kejadian dengan positif, mungkin kita malas sedekah atau Allah sedang menguji kesabaran kita.
4. BANGUN MALAM UNTUK SHALAT TAHAJJUD (AL-ISRA 79)
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke Tempat yang terpuji” (Al-Isra 79) Rasulullah SAW selalu menikmati bangun malam untuk shalat tahajjud. Shalat tahajjud itu dapat menenangkan jiwa, karena kondisi tenang dan hening akan membuat jiwa kita lebih khusyu dan bisa sepuasnya curhat kepada Allah SWT sekaligus merenung tanpa diganggu oleh kesibukan dan aktifitas seperti disiang hari. Jadi dari sisi kejiwaan, shalat Tahajjud membuat jiwa tenang asal dilakukan dengan keikhlasan. Selain itu gerakan-gerakan shalat yang teratur juga merupakan olahraga yang bisa menjaga KESEHATAN. Alangkah baiknya jika TIDUR DI AWAL yaitu SETELAH SHALAT ISYA (kecuali ada tamu). Jangan lagi melakukan aktifitas berat, agar saat bangun malam TUBUH KITA SUDAH SEGAR KEMBALI. Tapi sayangnya masih banyak dari kita yang tidur larut malam sehingga saat Shalat Tahajjud kondisi tubuh kita kurang segar dan mengantuk,sehingga hasil yang dicapai tidak maksimal.
“ Didalam sistem pengobatan Tuhan, kesembuhan dan kesehatan bukan hal yang utama yang di lakukan dokter-dokter pada umumnya. Tuhan dalam sistemnya, menetapkan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang utama, dapatkan Tuhan, Insya Allah akan dapatkan segala-galanya; kesehatan, kesembuhan yang di harapkan”. (Abuya Syeikh Imam Ashari Muhammad At Tamimi).
Semoga kita menjadi hamba Allah SWT yang pandai brsyukur atas segala Ni’mat yang diberikan termasuk Kesehatan yang kita rasakan saat ini, mudah-mudahan Allah SWT selalau membimbing kita semua kepada jalan yang lurus dan Sunnah Kekasihnya Rasulullah SAW….Amin !
http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=390389579360
Jumat, 30 April 2010
MENANGIS KRN tAKUT KPD ALLAH TA'ALA
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan berkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya AKU TAKUT KEPADA ALLAH’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan:
“Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.
Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan:
“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan;
"Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah:
Suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).
Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya:
“Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.
al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya:
“Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”
Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya:
“Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.
Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab:
“Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”
Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74). Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!
Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.
http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/01/05/menangis-karena-takut-kepada-allah/
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; [1] seorang pemimpin yang adil, [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala, [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid, [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya, [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan berkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya AKU TAKUT KEPADA ALLAH’, [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan:
“Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.
Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan:
“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan;
"Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.” Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).
Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah:
Suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’ Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”. Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’. Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).
Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya:
“Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.
al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya:
“Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”
Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya:
“Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.
Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab:
“Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”
Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah! Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salafi, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74). Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!
Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.
http://abu0mushlih.wordpress.com/2009/01/05/menangis-karena-takut-kepada-allah/
Suamiku Ingin Merebut Kembali Mahar Perkawinan
Suamiku Ingin Merebut Kembali Mahar Perkawinan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, sebelumnya saya minta maaf bila kata-kata saya terlalu “to the point”. Hal itu disebabkan karena saya tidak bisa merangkai kata-kata yang indah. Begini Pak Ustadz, saya terpaksa bercerai dengan suami saya karena dia telah pergi meninggalkan saya dan anak-anak demi wanita lain. Namun, dia mengajukan banding karena tidak puas dengan putusan hakim. Yang menjadi keberatannya adalah masalah “mahar”.
Pernikahan saya yang berujung pada perceraian ini merupakan pernikahan saya yang kedua kali dengannya. Sebelumnya saya pernah menikah dengannya, tepatnya pada tahun 1998. Alhamdulillah, kami dikaruniai 3 orang anak. Tapi karena sifatnya temperamental dan sering main perempuan, akhirnya kami pun bercerai pada tahun 2006. Pada perceraian kami yang pertama itu, ada satu hal yang unik. Saya tidak memperoleh nafkah iddah dan juga nafkah untuk anak-anak. Bahkan pembagian harta gono-gini mengalami proses yang rumit dan panjang.
Rumah yang kami tempati adalah rumah yang kami beli dari Mr. A setelah anak pertama kali lahir. Akan tetapi setelah sekian lama dibeli, sertifikat rumah itu belum juga dibalik-namakan olehnya, sehingga saya tidak bisa menuntut rumah itu sebagai harta gono-gini. Dia berkilah bahwa rumah itu bukan rumahnya, buktinya sertifikat rumah itu bukan atas namanya. Bahkan, sepertinya dia telah bersekongkol dengan mantan pemilik rumah itu, karena mantan pemilik rumah itu mengatakan bahwa suami saya hanya menumpang di rumahnya (ada pernyataan tertulis dari Mr. A). Hakim juga tidak memutuskan rumah tersebut milik siapa, karena suami saya sendiri tidak mengakui bahwa rumah tersebut sebagai miliknya. Saya sendiri tidak dapat membuktikan kebenarannya karena semua surat berharga disimpan oleh suami saya.
Setelah terjadi perceraian, saya dan anak-anak kembali ke rumah orangtua saya di Sumatera. Semua nafkah anak ditanggung oleh orangtua saya. Sementara suami saya dengan sukacitanya bisa menempati rumah itu bersama wanita lain yang dinikahinya secara sirri.
Awal tahun 2009, anak-anak ingin pergi berlibur ke Jakarta. Kebetulan saya memiliki saudara yang juga tinggal di Jakarta. Sebelum kami berangkat, orangtua saya berpesan kepada saya: “Coba hubungi ayah anak-anak, siapa tahu hati dan pikirannya terbuka saat melihat anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak pernah dia temui dan dia nafkahi.”
Sesampainya di Jakarta, saya pun menghubungi dia. Dari sinilah, anak-anak saya dapat bertemu kembali dengan ayahnya, bahkan hampir setiap hari. Mau ga mau, saya juga bertemu dengannya, karena anak-anak tidak mau bertemu dengan ayahnya kalau tidak ditemani oleh saya. Dia pun membawa anak-anak ke rumahnya, rumah yang dulu kami tempati bersama. Kebetulan menurutnya, dia sudah berpisah dengan isteri sirrinya.
Waktu liburan tidak lama, anak-anak pun harus kembali ke sekolah. Sebelum kami pulang ke Sumatera, mantan suami saya itu mengajak saya untuk bersatu kembali, katanya demi anak-anak. Saya tidak langsung mengiyakan, bahkan saya meminta dia untuk memikirkan kembali niatannya itu. Tetapi dia terus mengejar saya. Bahkan setiap hari, dia selalu menelpon saya. Dia meminta maaf kepada saya dan mengakui semua kesalahan yang pernah dia lakukan dulu, lalu dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan dia bersedia memberikan rumah yang dia tempati itu sebagai maskawin atau mahar untuk saya.
Akhirnya kami pun menikah kembali pada akhir Maret 2009 dengan maskawin sebuah rumah (tercatat dalam buku nikah). Namun sayangnya, baru dua minggu usia pernikahan kami, penyakit lama suami saya kambuh lagi. Dia berhubungan kembali dengan mantan isteri sirrinya itu. Bahkan 2 minggu kemudian, suami saya benar-benar pergi meninggalkan rumah dan tinggal bersama wanita tersebut. Saya sudah berusaha menyadarkan dan merayunya agar dia mau kembali, tapi dia malah mengatakan bahwa dia salah mengambil keputusan saat menikah lagi dengan saya. Katanya, dia tidak bisa berpisah dari wanita itu, lalu dia mengirim SMS yang isinya dia menceraikan saya.
Setelah 6 bulan menunggu, akhirnya saya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dengan proses yang cukup lama (sekitar 6 bulan). Hakim pun mengabulkan gugatan cerai saya, lalu dia menetapkan bahwa rumah itu menjadi milik saya karena sudah dijadikan maskawin.
Seperti yang saya sebutkan di awal, suami saya merasa keberatan dengan keputusan hakim tersebut. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah memberikan rumah itu kepada saya karena rumah itu bukan miliknya. Padahal pada persidangan cerai, saya berhasil menemui Mr. A (si penjual rumah) dan mendapat pernyataan darinya bahwa rumah itu memang sudah dibeli oleh suami saya.
Sekarang suami saya sudah mengajukan memori banding ke PTA, lalu dia menemui Mr. A guna meminta agar Mr. A mau mencabut kembali pernyataannya yang mengatakan bahwa rumah itu sudah dibeli oleh suami saya. Saat ini, saya benar-benar mendapat tekanan dari dua pihak; pertama adalah dari suami saya yang mengajukan banding ke PTA dan mengklaim bahwa saya tidak berhak atas rumah itu, dan kedua adalah dari Mr. A yang menuduh saya telah menempati rumahnya tanpa izin. Lalu dia meminta saya untuk segera meninggalkan rumah itu, kalau tidak, dia akan menuntut saya dengan tuntutan pidana.
Pak Ustadz, saya benar-benar merasa tertekan dalam menghadapi masalah ini, walaupun saya tidak lupa untuk selalu memohon kepada ALLAH swt. agar Dia meringankan beban saya ini. Saya juga membutuhkan pencerahan dari Pak Ustadz. Langkah apa yang perlu saya lakukan? Lalu bagaimana pendapat Pak Ustadz mengenai status rumah tersebut?
Atas pencerahan dan penjelasan yang Ustadz berikan, saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, pertama saya ingin mengucapkan prihatin atas musibah yang menimpa Anda. Mudah-mudahan Anda diberi ketabahan dalam menghadapinya serta diberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik, amin. Dari cerita Anda yang cukup panjang dan mendetail itu, saya bisa membayangkan betapa tertekan dan terpukulnya hati Anda. “Sudah jatuh tertimpa tangga”, nampaknya itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang sedang Anda alami. Sebab, di samping harus menanggung rasa sakit akibat perlakuan suami yang tidak bertanggung jawab itu, Anda juga dihadapkan pada kasus perebutan rumah yang secara hukum telah menjadi milik Anda.
Saudariku, karena apa yang Anda sampaikan lebih banyak curhatnya daripada pertanyaan atau permohonan penjelasan, maka jawaban yang saya berikan pun tidak terlalu panjang. Namun demikian, saya berharap jawaban yang saya berikan ini dapat menjadi pencerahan bagi Anda dalam menghadapi masalah tersebut.
Bila ditinjau dari hukum Islam, rumah tersebut jelas telah menjadi milik Anda karena ia telah dijadikan sebagai maskawin untuk Anda. Sebagaimana diketahui, maskawin atau mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, seperti yang difirmankan ALLAH swt.: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. Ali ‘Imran [4]: 4) Bila maskawin itu tidak dibayarkan oleh suami, maka ia akan menjadi hutang baginya sampai kapanpun kecuali bila sang isteri mengikhlaskannya.
Jadi, baik menurut agama ataupun hukum, ibu bisa menang, apalagi pernyataan bahwa rumah itu dijadikan mahar tertulis di buku nikah. Buku nikah merupakan bukti yang kuat di pengadilan. Inilah yang dijadikan landasan hukum bagi hakim di pengadilan agama untuk menetapkan keputusan bahwa rumah itu telah menjadi milik Anda. Mudah-mudahan hal ini juga akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim di PTA nanti, amin.
Saudariku, menurut saya apa yang sedang dilakukan oleh suami ibu dengan meminta kepada Mr. A hanyalah rekayasa belaka. Dia berusaha untuk mencari celah agar rumah itu menjadi miliknya lagi, baik dengan memberikan kesaksian (sumpah) palsu ataupun membuat bukti palsu. Hal seperti itu bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf (Lihat tulisan saya yang berjudul “Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu”, dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/budaya-sumpah-dan-kesaksian-palsu.html ). Apalagi pada zaman sekarang ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi, bahkan ada di mana-mana, terutama di dunia peradilan. Keadilan seakan-akan sudah menjadi hal yang tidak penting lagi, yang penting adalah uang dan kepentingan.
Jadi saran saya, menghadapi hal seperti itu, serahkan sepenuhnya kepada ALLAH. Biarlah ALLAH yang mengaturnya, karena memang hanya Dia-lah Yang Maha Mengatur dan Maha Kuasa. Sering-seringlah shalat Hajat dan Dhuha. Kemudian berdoalah kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan, usahakan sampai meneteskan air mata. Yakinlah bahwa bila kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada ALLAH swt., insya ALLAH ALLAH akan mengabulkannya. Kemudian, banyak-banyaklah berdzikir dan memohon ampunan kepada-Nya. Bacalah kalimat berikut ini "Laailaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin” (Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zhalim). Kalau bisa, baca terus kalimat tersebut, dimanapun Anda berada, termasuk saat berada di kendaraan, kecuali di kamar mandi atau toilet. Usahakan jangan berhenti berdzikir kepada ALLAH, insya ALLAH hati akan tenang dan hidup kita akan selalu dibimbing oleh ALLAH swt.
Bila Anda mau mengikuti saran saya ini, insya ALLAH Anda akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati, walau apapun keputusan pengadilan nanti. Bahkan, mudah-mudahan Anda diberi jalan yang terbaik oleh ALLAH swt….Wallaahu A’lam…..
Source: www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com
Info: Ingin mengikuti umrah + kajian di Akhir Ramadhan (28 Agustus – 10 September 2010) bersama Ust. Fatkhurozi Khafas, MA, lihat infonya dengan mengklik link berikut: http://www.ziddu.com/download/9582867/BrosurUmroh.pdf.html
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, sebelumnya saya minta maaf bila kata-kata saya terlalu “to the point”. Hal itu disebabkan karena saya tidak bisa merangkai kata-kata yang indah. Begini Pak Ustadz, saya terpaksa bercerai dengan suami saya karena dia telah pergi meninggalkan saya dan anak-anak demi wanita lain. Namun, dia mengajukan banding karena tidak puas dengan putusan hakim. Yang menjadi keberatannya adalah masalah “mahar”.
Pernikahan saya yang berujung pada perceraian ini merupakan pernikahan saya yang kedua kali dengannya. Sebelumnya saya pernah menikah dengannya, tepatnya pada tahun 1998. Alhamdulillah, kami dikaruniai 3 orang anak. Tapi karena sifatnya temperamental dan sering main perempuan, akhirnya kami pun bercerai pada tahun 2006. Pada perceraian kami yang pertama itu, ada satu hal yang unik. Saya tidak memperoleh nafkah iddah dan juga nafkah untuk anak-anak. Bahkan pembagian harta gono-gini mengalami proses yang rumit dan panjang.
Rumah yang kami tempati adalah rumah yang kami beli dari Mr. A setelah anak pertama kali lahir. Akan tetapi setelah sekian lama dibeli, sertifikat rumah itu belum juga dibalik-namakan olehnya, sehingga saya tidak bisa menuntut rumah itu sebagai harta gono-gini. Dia berkilah bahwa rumah itu bukan rumahnya, buktinya sertifikat rumah itu bukan atas namanya. Bahkan, sepertinya dia telah bersekongkol dengan mantan pemilik rumah itu, karena mantan pemilik rumah itu mengatakan bahwa suami saya hanya menumpang di rumahnya (ada pernyataan tertulis dari Mr. A). Hakim juga tidak memutuskan rumah tersebut milik siapa, karena suami saya sendiri tidak mengakui bahwa rumah tersebut sebagai miliknya. Saya sendiri tidak dapat membuktikan kebenarannya karena semua surat berharga disimpan oleh suami saya.
Setelah terjadi perceraian, saya dan anak-anak kembali ke rumah orangtua saya di Sumatera. Semua nafkah anak ditanggung oleh orangtua saya. Sementara suami saya dengan sukacitanya bisa menempati rumah itu bersama wanita lain yang dinikahinya secara sirri.
Awal tahun 2009, anak-anak ingin pergi berlibur ke Jakarta. Kebetulan saya memiliki saudara yang juga tinggal di Jakarta. Sebelum kami berangkat, orangtua saya berpesan kepada saya: “Coba hubungi ayah anak-anak, siapa tahu hati dan pikirannya terbuka saat melihat anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak pernah dia temui dan dia nafkahi.”
Sesampainya di Jakarta, saya pun menghubungi dia. Dari sinilah, anak-anak saya dapat bertemu kembali dengan ayahnya, bahkan hampir setiap hari. Mau ga mau, saya juga bertemu dengannya, karena anak-anak tidak mau bertemu dengan ayahnya kalau tidak ditemani oleh saya. Dia pun membawa anak-anak ke rumahnya, rumah yang dulu kami tempati bersama. Kebetulan menurutnya, dia sudah berpisah dengan isteri sirrinya.
Waktu liburan tidak lama, anak-anak pun harus kembali ke sekolah. Sebelum kami pulang ke Sumatera, mantan suami saya itu mengajak saya untuk bersatu kembali, katanya demi anak-anak. Saya tidak langsung mengiyakan, bahkan saya meminta dia untuk memikirkan kembali niatannya itu. Tetapi dia terus mengejar saya. Bahkan setiap hari, dia selalu menelpon saya. Dia meminta maaf kepada saya dan mengakui semua kesalahan yang pernah dia lakukan dulu, lalu dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan dia bersedia memberikan rumah yang dia tempati itu sebagai maskawin atau mahar untuk saya.
Akhirnya kami pun menikah kembali pada akhir Maret 2009 dengan maskawin sebuah rumah (tercatat dalam buku nikah). Namun sayangnya, baru dua minggu usia pernikahan kami, penyakit lama suami saya kambuh lagi. Dia berhubungan kembali dengan mantan isteri sirrinya itu. Bahkan 2 minggu kemudian, suami saya benar-benar pergi meninggalkan rumah dan tinggal bersama wanita tersebut. Saya sudah berusaha menyadarkan dan merayunya agar dia mau kembali, tapi dia malah mengatakan bahwa dia salah mengambil keputusan saat menikah lagi dengan saya. Katanya, dia tidak bisa berpisah dari wanita itu, lalu dia mengirim SMS yang isinya dia menceraikan saya.
Setelah 6 bulan menunggu, akhirnya saya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dengan proses yang cukup lama (sekitar 6 bulan). Hakim pun mengabulkan gugatan cerai saya, lalu dia menetapkan bahwa rumah itu menjadi milik saya karena sudah dijadikan maskawin.
Seperti yang saya sebutkan di awal, suami saya merasa keberatan dengan keputusan hakim tersebut. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah memberikan rumah itu kepada saya karena rumah itu bukan miliknya. Padahal pada persidangan cerai, saya berhasil menemui Mr. A (si penjual rumah) dan mendapat pernyataan darinya bahwa rumah itu memang sudah dibeli oleh suami saya.
Sekarang suami saya sudah mengajukan memori banding ke PTA, lalu dia menemui Mr. A guna meminta agar Mr. A mau mencabut kembali pernyataannya yang mengatakan bahwa rumah itu sudah dibeli oleh suami saya. Saat ini, saya benar-benar mendapat tekanan dari dua pihak; pertama adalah dari suami saya yang mengajukan banding ke PTA dan mengklaim bahwa saya tidak berhak atas rumah itu, dan kedua adalah dari Mr. A yang menuduh saya telah menempati rumahnya tanpa izin. Lalu dia meminta saya untuk segera meninggalkan rumah itu, kalau tidak, dia akan menuntut saya dengan tuntutan pidana.
Pak Ustadz, saya benar-benar merasa tertekan dalam menghadapi masalah ini, walaupun saya tidak lupa untuk selalu memohon kepada ALLAH swt. agar Dia meringankan beban saya ini. Saya juga membutuhkan pencerahan dari Pak Ustadz. Langkah apa yang perlu saya lakukan? Lalu bagaimana pendapat Pak Ustadz mengenai status rumah tersebut?
Atas pencerahan dan penjelasan yang Ustadz berikan, saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, pertama saya ingin mengucapkan prihatin atas musibah yang menimpa Anda. Mudah-mudahan Anda diberi ketabahan dalam menghadapinya serta diberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik, amin. Dari cerita Anda yang cukup panjang dan mendetail itu, saya bisa membayangkan betapa tertekan dan terpukulnya hati Anda. “Sudah jatuh tertimpa tangga”, nampaknya itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang sedang Anda alami. Sebab, di samping harus menanggung rasa sakit akibat perlakuan suami yang tidak bertanggung jawab itu, Anda juga dihadapkan pada kasus perebutan rumah yang secara hukum telah menjadi milik Anda.
Saudariku, karena apa yang Anda sampaikan lebih banyak curhatnya daripada pertanyaan atau permohonan penjelasan, maka jawaban yang saya berikan pun tidak terlalu panjang. Namun demikian, saya berharap jawaban yang saya berikan ini dapat menjadi pencerahan bagi Anda dalam menghadapi masalah tersebut.
Bila ditinjau dari hukum Islam, rumah tersebut jelas telah menjadi milik Anda karena ia telah dijadikan sebagai maskawin untuk Anda. Sebagaimana diketahui, maskawin atau mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, seperti yang difirmankan ALLAH swt.: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. Ali ‘Imran [4]: 4) Bila maskawin itu tidak dibayarkan oleh suami, maka ia akan menjadi hutang baginya sampai kapanpun kecuali bila sang isteri mengikhlaskannya.
Jadi, baik menurut agama ataupun hukum, ibu bisa menang, apalagi pernyataan bahwa rumah itu dijadikan mahar tertulis di buku nikah. Buku nikah merupakan bukti yang kuat di pengadilan. Inilah yang dijadikan landasan hukum bagi hakim di pengadilan agama untuk menetapkan keputusan bahwa rumah itu telah menjadi milik Anda. Mudah-mudahan hal ini juga akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim di PTA nanti, amin.
Saudariku, menurut saya apa yang sedang dilakukan oleh suami ibu dengan meminta kepada Mr. A hanyalah rekayasa belaka. Dia berusaha untuk mencari celah agar rumah itu menjadi miliknya lagi, baik dengan memberikan kesaksian (sumpah) palsu ataupun membuat bukti palsu. Hal seperti itu bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf (Lihat tulisan saya yang berjudul “Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu”, dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/budaya-sumpah-dan-kesaksian-palsu.html ). Apalagi pada zaman sekarang ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi, bahkan ada di mana-mana, terutama di dunia peradilan. Keadilan seakan-akan sudah menjadi hal yang tidak penting lagi, yang penting adalah uang dan kepentingan.
Jadi saran saya, menghadapi hal seperti itu, serahkan sepenuhnya kepada ALLAH. Biarlah ALLAH yang mengaturnya, karena memang hanya Dia-lah Yang Maha Mengatur dan Maha Kuasa. Sering-seringlah shalat Hajat dan Dhuha. Kemudian berdoalah kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan, usahakan sampai meneteskan air mata. Yakinlah bahwa bila kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada ALLAH swt., insya ALLAH ALLAH akan mengabulkannya. Kemudian, banyak-banyaklah berdzikir dan memohon ampunan kepada-Nya. Bacalah kalimat berikut ini "Laailaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin” (Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zhalim). Kalau bisa, baca terus kalimat tersebut, dimanapun Anda berada, termasuk saat berada di kendaraan, kecuali di kamar mandi atau toilet. Usahakan jangan berhenti berdzikir kepada ALLAH, insya ALLAH hati akan tenang dan hidup kita akan selalu dibimbing oleh ALLAH swt.
Bila Anda mau mengikuti saran saya ini, insya ALLAH Anda akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati, walau apapun keputusan pengadilan nanti. Bahkan, mudah-mudahan Anda diberi jalan yang terbaik oleh ALLAH swt….Wallaahu A’lam…..
Source: www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com
Info: Ingin mengikuti umrah + kajian di Akhir Ramadhan (28 Agustus – 10 September 2010) bersama Ust. Fatkhurozi Khafas, MA, lihat infonya dengan mengklik link berikut: http://www.ziddu.com/download/9582867/BrosurUmroh.pdf.html
Senin, 26 April 2010
orang2 yg didoakan malaikat
1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci".
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)
2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’"
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)
3. Orang - orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan"
(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)
4. Orang - orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah
(tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf"
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)
5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu"
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)
6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)
7. Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’"
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)
9. Orang - orang yang berinfak.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’"
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)
10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang sedang makan sahur"
(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)
11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih")
12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain"
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)
Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang - orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci".
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)
2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’"
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)
3. Orang - orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan"
(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)
4. Orang - orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah
(tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang - orang yang menyambung shaf - shaf"
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)
5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu"
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)
6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)
7. Orang - orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’"
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)
9. Orang - orang yang berinfak.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’"
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)
10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang - orang yang sedang makan sahur"
(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)
11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh"
(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, "Sanadnya shahih")
12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain"
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)
Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang - orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005)
Minggu, 25 April 2010
Surat Dari Iblis Untukmu
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Sungguh aku telah melihatmu kemarin…
Engkau memulai kehidupan seharian, engkau bangun dan pergi untuk bekerja tanpa memikirkan shalat fajar…! Di kantor, engkau tidak peduli sama sekali tentang aturan halal haram, sebagaimana yang dilakukan oleh kawan-kawanmu…
Saat engkau pulang ke rumah, engkaupun menyantap makananmu tanpa menyebut nama Allah Sang Pemberi rizki kepadamu… Juga tidak ada waktu untuk shalat Isya' sebelum tidur, meskipun kamu sempatkan nonton TV sampai engkau tertidur pulas …!
Engkau adalah seorang pengingkar nikmat dan penentang Pemberi nikmat. Aku sangat mencintaimu dengan kelakuanmu itu. Kelakuanmu adalah salah satu sifat dari sifatku. Aku sangat berbahagia melihatmu hidup seperti itu.
Egkau adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu.
Ingatlah, tahun-tahun telah berlalu, tahun berganti tahun, dan di antara kita ada hubungan intim selama puluhan tahun itu. Suatu persahabatan yang sangat panjang…!
Meskipun demikian, aku tetap tidak mencintaimu. Aku membencimu dengan segenap hatiku…dan memusuhimu dengan segenap raga dan jiwaku… Allah telah mengeluarkanku dari sorga setelah aku berpaling dari nikmat-Nya, dan menolak sujud kepada bapakmu, Adam…! Aku akan berusaha terus untuk menyesatkanmu dengan segala kemampuanku agar engkau sengsara bersamaku.
Terus terang, engkau tidak menggunakan akal dalam memahami hakikat kehidupan ini. Betapa tidak, Allah telah membuka pintu sorga dan pintu taubat dari dosa untukmu… Akan tetapi engkau justru menghadap kepadaku… engkau mengharap janjiku, yang itu hanyalah angan-angan, dan pasti akan menghantarkanmu ke neraka…
Terima kasih wahai kekasihku…!
Sungguh aku telah bersumpah kepada Allah untuk menyesatkan seluruh anak keturunan Adam, orang-orang sepertimu… Aku ingin sekali melaksanakan keinginanku. Agar aku yakin… bahwa engkau mentaati perintah-perintahku…
Itulah dia, hari-hari yang telah berlalu…! Engkau beristighatsah, meminta pertolongan dengan ahli kubur… engkau menyandarkan diri kepada mereka saat terkena musibah…
Engkau suka mengerjakan yang bid'ah dan menyelisihi Nabimu serta perintah-perintahnya, karena tidak cukup puas dengan sunnah…!
Engkau berkelompok-kelompok (hizbiyyah ashabiyyah), dengan sebuah anggapan bahwa engkau membela Islam dan memperjuangkannya. Padahal kenyataannya, engkau melayaniku dengan membantuku menjauhkan manusia dari berpegang teguh dengan manhaj orang dahulu yg soleh (salaf) mu…
Engkau mendengarkan nyanyian-nyanyian…
Engkau melihat film-film…
Engkau kerjakan perbuatan-perbuatan keji dan hal-hal yang diharamkan…
Engkau melaknat manusia… mencuri… menipu… berkhianat… dan seterusnya…
Terima kasih kawan, atas semuanya. Sungguh engkau telah membahagiakanku. Karena dengan entengnya engkau telah membuat murka Allah…! Maka marilah sahabat… kita terbakar bersama-sama…!
Di hadapan kita masih banyak langkah untuk kita berdua. Aku tertawa mengejekmu, saat melihatmu melakukan maksiat dengan disertai tertawaan yang memenuhi tempat tersebut, seakan-akan engkau menantang keagungan Allah…! Aku menginginkanmu wahai kekasih, agar engkau menyebarkan kerusakan di antara manusia sesamamu…
Doronglah mereka untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa! Tuntunlah mereka, agar bermaksiat kepada Allah dengan segenap cara yang kau mampu! Sebarkanlah di antara mereka film-film dan nyanyian-nyanyian, serta berbagai permainan…!
Setiap kali engkau melihat seseorang beribadah kepada Allah, jangan lupa menghina mereka… Mencemooh penampilannya, hingga engkau membuatku tertawa.
Maaf… aku sekarang ada urusan… aku akan meninggalkanmu, menyemangati orang-orang lain sepertimu. Cukuplah bagimu pasukanku setan-setan bangsa jin, kelak aku akan kembali. Melanjutkan kerjasama kita, memikirkan langkah baru bagi maksiat baru…!
Seandainya engkau cerdas, tentu engkau akan lari dariku. Kemudian engkau memohon ampunan kepada Allah dari dosa-dosamu. Lalu engkau hidup dalam ketaatan kepada Allah di tahun-tahun akhir dari usiamu yang tinggal sedikit ini…! Hingga engkau mendapatkan pahala serta kenikmatan iman, sebelum ridha Allah Subhanaahu wa Ta'ala yang abadi di dalam sorga… daripada engkau dilemparkan ke dalam neraka bersamaku selamanya.
Akan tetapi aku yakin… bahwa engkau lebih mencintaiku daripada kecintaanmu kepada Allah…! Bahwasannya engkau lebih mendahulukan hawa nafsumu daripada ketaatan kepada Allah dan janji sorga yang masih jauh katamu.
Engkau adalah sahabatku yang terkasih…!
Yang menyesatkanmu,
ttd
Iblis yang terkutuk…. Pemimpin para Setan (AR)*
Sumber: Majalah Qiblati ed 1 th III
Sungguh aku telah melihatmu kemarin…
Engkau memulai kehidupan seharian, engkau bangun dan pergi untuk bekerja tanpa memikirkan shalat fajar…! Di kantor, engkau tidak peduli sama sekali tentang aturan halal haram, sebagaimana yang dilakukan oleh kawan-kawanmu…
Saat engkau pulang ke rumah, engkaupun menyantap makananmu tanpa menyebut nama Allah Sang Pemberi rizki kepadamu… Juga tidak ada waktu untuk shalat Isya' sebelum tidur, meskipun kamu sempatkan nonton TV sampai engkau tertidur pulas …!
Engkau adalah seorang pengingkar nikmat dan penentang Pemberi nikmat. Aku sangat mencintaimu dengan kelakuanmu itu. Kelakuanmu adalah salah satu sifat dari sifatku. Aku sangat berbahagia melihatmu hidup seperti itu.
Egkau adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari dirimu.
Ingatlah, tahun-tahun telah berlalu, tahun berganti tahun, dan di antara kita ada hubungan intim selama puluhan tahun itu. Suatu persahabatan yang sangat panjang…!
Meskipun demikian, aku tetap tidak mencintaimu. Aku membencimu dengan segenap hatiku…dan memusuhimu dengan segenap raga dan jiwaku… Allah telah mengeluarkanku dari sorga setelah aku berpaling dari nikmat-Nya, dan menolak sujud kepada bapakmu, Adam…! Aku akan berusaha terus untuk menyesatkanmu dengan segala kemampuanku agar engkau sengsara bersamaku.
Terus terang, engkau tidak menggunakan akal dalam memahami hakikat kehidupan ini. Betapa tidak, Allah telah membuka pintu sorga dan pintu taubat dari dosa untukmu… Akan tetapi engkau justru menghadap kepadaku… engkau mengharap janjiku, yang itu hanyalah angan-angan, dan pasti akan menghantarkanmu ke neraka…
Terima kasih wahai kekasihku…!
Sungguh aku telah bersumpah kepada Allah untuk menyesatkan seluruh anak keturunan Adam, orang-orang sepertimu… Aku ingin sekali melaksanakan keinginanku. Agar aku yakin… bahwa engkau mentaati perintah-perintahku…
Itulah dia, hari-hari yang telah berlalu…! Engkau beristighatsah, meminta pertolongan dengan ahli kubur… engkau menyandarkan diri kepada mereka saat terkena musibah…
Engkau suka mengerjakan yang bid'ah dan menyelisihi Nabimu serta perintah-perintahnya, karena tidak cukup puas dengan sunnah…!
Engkau berkelompok-kelompok (hizbiyyah ashabiyyah), dengan sebuah anggapan bahwa engkau membela Islam dan memperjuangkannya. Padahal kenyataannya, engkau melayaniku dengan membantuku menjauhkan manusia dari berpegang teguh dengan manhaj orang dahulu yg soleh (salaf) mu…
Engkau mendengarkan nyanyian-nyanyian…
Engkau melihat film-film…
Engkau kerjakan perbuatan-perbuatan keji dan hal-hal yang diharamkan…
Engkau melaknat manusia… mencuri… menipu… berkhianat… dan seterusnya…
Terima kasih kawan, atas semuanya. Sungguh engkau telah membahagiakanku. Karena dengan entengnya engkau telah membuat murka Allah…! Maka marilah sahabat… kita terbakar bersama-sama…!
Di hadapan kita masih banyak langkah untuk kita berdua. Aku tertawa mengejekmu, saat melihatmu melakukan maksiat dengan disertai tertawaan yang memenuhi tempat tersebut, seakan-akan engkau menantang keagungan Allah…! Aku menginginkanmu wahai kekasih, agar engkau menyebarkan kerusakan di antara manusia sesamamu…
Doronglah mereka untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa! Tuntunlah mereka, agar bermaksiat kepada Allah dengan segenap cara yang kau mampu! Sebarkanlah di antara mereka film-film dan nyanyian-nyanyian, serta berbagai permainan…!
Setiap kali engkau melihat seseorang beribadah kepada Allah, jangan lupa menghina mereka… Mencemooh penampilannya, hingga engkau membuatku tertawa.
Maaf… aku sekarang ada urusan… aku akan meninggalkanmu, menyemangati orang-orang lain sepertimu. Cukuplah bagimu pasukanku setan-setan bangsa jin, kelak aku akan kembali. Melanjutkan kerjasama kita, memikirkan langkah baru bagi maksiat baru…!
Seandainya engkau cerdas, tentu engkau akan lari dariku. Kemudian engkau memohon ampunan kepada Allah dari dosa-dosamu. Lalu engkau hidup dalam ketaatan kepada Allah di tahun-tahun akhir dari usiamu yang tinggal sedikit ini…! Hingga engkau mendapatkan pahala serta kenikmatan iman, sebelum ridha Allah Subhanaahu wa Ta'ala yang abadi di dalam sorga… daripada engkau dilemparkan ke dalam neraka bersamaku selamanya.
Akan tetapi aku yakin… bahwa engkau lebih mencintaiku daripada kecintaanmu kepada Allah…! Bahwasannya engkau lebih mendahulukan hawa nafsumu daripada ketaatan kepada Allah dan janji sorga yang masih jauh katamu.
Engkau adalah sahabatku yang terkasih…!
Yang menyesatkanmu,
ttd
Iblis yang terkutuk…. Pemimpin para Setan (AR)*
Sumber: Majalah Qiblati ed 1 th III
Sabtu, 24 April 2010
Mutiara yang Tersembunyi
Ada seseorang laki-laki yang awam mengatakan, “Kenapa sih para perempuan berpakaian seperti itu, sudah tebal, gelap, tertutup semuanya lagi tidak kepanasan apa, buat risih yang melihatnya..!” ada lagi perempuan yang awam juga mengatakan, “Huh! Sok banget pakai pakaian seperti itu, muna! Padahal hatinya sama saja busuk juga! Pakaian itu Cuma buat kedok saja!” dan banyak lagi perkataan lainnya yang sering penulis dengar dari mulut mereka yang tidak memahami hukum-hukum dalam agamanya. Sungguh penulis merasakan kombinasi perasaan antara kasihan dan sedih mendengar perkataan-perkataan seperti ini.
Dengan memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan mendoakan kebaikan bagi mereka yang masih awam penulis menjawab, “Wahai saudaraku! Mereka ini seperti mutiara-mutiara tengah pasir!” Mereka bertanya, “Maksud anda apa? Apakah kami ini pasir-pasirnya?” Penulis menjawab, “Benar, keutamaan perempuan yang berpakaian gamis tebal itu bagaikan mutiara di antara pasir, di tengah-tengah kalian!” mereka kembali bertanya, “Kenapa bisa begitu?” Penulis menjawab, “Karena keutamaan mereka di hadapan Allah Ta’ala, karena keridhaan mereka terhadap syari’at Allah Ta’ala, karena kesungguhan mereka dalam menjaga kehormatan mereka di hadapan manusia!”
Dari merekalah akan terdidik generasi-generasi muda Islam yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dari merekalah akan kita harapkan anak-anak kita menjadi shalih dan shalihah, maka jika engkau mengambil mutiara itu dan membawanya kerumahmu, maka akan engkau dapati dia adalah hal yang terindah dalam rumahmu. Dari wanita shalihah seperti ini engkau bisa berbagi sedih dan ceria maka dapatilah dia sebagai teman terbaik dalam hidupmu..
Wanita shalihah juga mampu tampil sebagai gurumu dalam mempelajari ilmu-ilmu agama yang syar’i, sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tampilah dia sebagai guru yang penuk kasih sayang..
Inilah sosok putri Sa’id bin Musayyib manakala suaminya datang kepadanya, suaminya (Abu Wida’ah) adalah salah seorang murid dari ayahnya sendiri. Saat menjelang waktu Subuh, suaminya mengambil sorbannya karena hendak keluar. Sang istri pun bertanya kepadanya, “Mau kemanakah engkau?” Abu Wida’ah menjawab, “Aku hendak pergi ke majelis Sa’id untuk menuntut ilmu,” Lalu sang istri itu berkata, “Duduklah, aku akan mengajarkan ilmu Sa’id kepadamu.” [Al-Madkhol, Imam Ibnul Hajj (1/215)]
Duhai alangkah indah dan mulianya majelis ini, ketika seorang istri yang shalihah lagi faqih mengajarkan ilmu agama kepada suaminya yang tekun menuntut ilmu, semoga Allah merahmati suami istri yang selalu bersama berusaha memperbaiki diri dan keluarga untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Jika majelis-majelis seperti ini selalu ada dalam rumah tangga kaum muslimin maka darimanakah keburukan itu bisa bermula? Maka mutiara-mutiara itu selalu menjadi impian bagi laki-laki yang shalih, mutiara-mutiara yang begitu bersih, bercahaya seperti mentari pagi yang menghangatkan bumi ini... dan mutiara-mutiara itu tersebunyi ... di balik hijabnya.
Inilah kisah sebuah mutiara lain yang tersembunyi dan berkilau di antara pasir-pasir manusia, “Seseorang membacakan Kitab Al-Muwaththo’ kepada Imam Malik rahimahullah. (Sedangkan Putri Imam Malik berada di balik pintu untuk mendengarkan bacaan itu), apabila bacaan si pembaca itu keliru, atau ia menambahi atau mengurangi bacaan tersebut, maka putri Imam Malik langsung mengetuk dari balik pintu. Lalu ayahnya (Imam Malik) berkata kepada si pembaca, “Ulangilah, karena bacaanmu keliru.” Si pembaca pun mengulanginya, maka ia menemui kekeliruannya tersebut.” [Al madkhol (1/215)]
Maka wanita-wanita shalihah yang menjadi lautan ilmu ini membasahi kekeringan bagi manusia-manusia yang merindukan ilmu syar’i, mereka termasuk dalam barisan wanita-wanita ahli ilmu yang namanya harum dalam sejarah manusia, harum semerbak tanpa menimbulkan fitnah, memukau hati dan jiwa..
‘Amroh adalah seorang wanita dari kaum Anshar, dari Bani Najjar, dari Madinah, seorang wanita yang faqih, belajar dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan merupakan murid ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ayyub bin Suwaid meriwayatkan dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Al-Qosim bin Muhammad bahwa beliau berkata kepadaku, “Wahai anak muda! Aku melihat engkau sangat senang menuntut ilmu, maukah engkau aku beritahu sumber ilmu yang banyak?” Aku menjawab, “Tentu saja aku mau.” Dia berkata lagi, “Datangilah ‘Amroh, karena ia berada dalam bimbingan langsung ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Kemudian dia melanjutkan, “Lalu aku pun mendatanginya dan aku mendapatkan ilmu yang banyak darinya.” [Siyar A’lami ‘n-Nubala’ (4/507-508)]
Wahai saudaraku ikhwani fillah, wahai laki-laki yang mengharapkan keselamatan dan keindahan dalam rumah tangganya, mutiara-mutiara ini tersembunyi dari pandangan manusia, indah berkilau di rumah mereka tak tersentuh pandangan-pandangan kotor laki-laki yang memiliki penyakit dalam hatinya. Mutiara ini teramat mahal dan tak ternilai harganya, mereka adalah perhiasan terindah di dunia ini.
Mutiara-mutiara ini tidak akan tertarik dengan keindahan dunia yang engkau miliki, harta yang berlimpah tidak menyilaukan matanya, wajah yang rupawan bukanlah impiannya, kedudukan dan jabatan tak pernah menjadi tujuannya, hanya seorang laki-laki sederhana yang shalih, seorang penuntut ilmu yang tak pernah letih dalam usahanya, dan seorang lelaki yang merindukan jannah yang kelak akan mampu mengisi hari-hari mutiara-mutiara ini.
Jika engkau ingin mendapatkan mutiara ini wahai saudaraku! Maka jadikanlah dirimu layak untuk mendapatkannya, bukan dengan harta berlimpah dan kedudukan yang tinggi, namun uluran tangan menuju kepada keridhaan Allah Ta’ala yang mampu membawanya dengan ikhlas dan rela, yang mampu melindungi kilauannya dari pandangan jahat manusia, yang mampu merawat kilauannya hingga akhirnnya, mutiara ini merindukan kehidupan sederhana yang diisi dengan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah mutiara yang tersembunyi dalam hijab tebal dan gelap, tersembunyi hingga engkau yang shalih kelak diizinkan membawanya...
Wallahu a’lam bish showab
Oleh Andi Abu Najwa
Dengan memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan mendoakan kebaikan bagi mereka yang masih awam penulis menjawab, “Wahai saudaraku! Mereka ini seperti mutiara-mutiara tengah pasir!” Mereka bertanya, “Maksud anda apa? Apakah kami ini pasir-pasirnya?” Penulis menjawab, “Benar, keutamaan perempuan yang berpakaian gamis tebal itu bagaikan mutiara di antara pasir, di tengah-tengah kalian!” mereka kembali bertanya, “Kenapa bisa begitu?” Penulis menjawab, “Karena keutamaan mereka di hadapan Allah Ta’ala, karena keridhaan mereka terhadap syari’at Allah Ta’ala, karena kesungguhan mereka dalam menjaga kehormatan mereka di hadapan manusia!”
Dari merekalah akan terdidik generasi-generasi muda Islam yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dari merekalah akan kita harapkan anak-anak kita menjadi shalih dan shalihah, maka jika engkau mengambil mutiara itu dan membawanya kerumahmu, maka akan engkau dapati dia adalah hal yang terindah dalam rumahmu. Dari wanita shalihah seperti ini engkau bisa berbagi sedih dan ceria maka dapatilah dia sebagai teman terbaik dalam hidupmu..
Wanita shalihah juga mampu tampil sebagai gurumu dalam mempelajari ilmu-ilmu agama yang syar’i, sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tampilah dia sebagai guru yang penuk kasih sayang..
Inilah sosok putri Sa’id bin Musayyib manakala suaminya datang kepadanya, suaminya (Abu Wida’ah) adalah salah seorang murid dari ayahnya sendiri. Saat menjelang waktu Subuh, suaminya mengambil sorbannya karena hendak keluar. Sang istri pun bertanya kepadanya, “Mau kemanakah engkau?” Abu Wida’ah menjawab, “Aku hendak pergi ke majelis Sa’id untuk menuntut ilmu,” Lalu sang istri itu berkata, “Duduklah, aku akan mengajarkan ilmu Sa’id kepadamu.” [Al-Madkhol, Imam Ibnul Hajj (1/215)]
Duhai alangkah indah dan mulianya majelis ini, ketika seorang istri yang shalihah lagi faqih mengajarkan ilmu agama kepada suaminya yang tekun menuntut ilmu, semoga Allah merahmati suami istri yang selalu bersama berusaha memperbaiki diri dan keluarga untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Jika majelis-majelis seperti ini selalu ada dalam rumah tangga kaum muslimin maka darimanakah keburukan itu bisa bermula? Maka mutiara-mutiara itu selalu menjadi impian bagi laki-laki yang shalih, mutiara-mutiara yang begitu bersih, bercahaya seperti mentari pagi yang menghangatkan bumi ini... dan mutiara-mutiara itu tersebunyi ... di balik hijabnya.
Inilah kisah sebuah mutiara lain yang tersembunyi dan berkilau di antara pasir-pasir manusia, “Seseorang membacakan Kitab Al-Muwaththo’ kepada Imam Malik rahimahullah. (Sedangkan Putri Imam Malik berada di balik pintu untuk mendengarkan bacaan itu), apabila bacaan si pembaca itu keliru, atau ia menambahi atau mengurangi bacaan tersebut, maka putri Imam Malik langsung mengetuk dari balik pintu. Lalu ayahnya (Imam Malik) berkata kepada si pembaca, “Ulangilah, karena bacaanmu keliru.” Si pembaca pun mengulanginya, maka ia menemui kekeliruannya tersebut.” [Al madkhol (1/215)]
Maka wanita-wanita shalihah yang menjadi lautan ilmu ini membasahi kekeringan bagi manusia-manusia yang merindukan ilmu syar’i, mereka termasuk dalam barisan wanita-wanita ahli ilmu yang namanya harum dalam sejarah manusia, harum semerbak tanpa menimbulkan fitnah, memukau hati dan jiwa..
‘Amroh adalah seorang wanita dari kaum Anshar, dari Bani Najjar, dari Madinah, seorang wanita yang faqih, belajar dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan merupakan murid ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ayyub bin Suwaid meriwayatkan dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Al-Qosim bin Muhammad bahwa beliau berkata kepadaku, “Wahai anak muda! Aku melihat engkau sangat senang menuntut ilmu, maukah engkau aku beritahu sumber ilmu yang banyak?” Aku menjawab, “Tentu saja aku mau.” Dia berkata lagi, “Datangilah ‘Amroh, karena ia berada dalam bimbingan langsung ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Kemudian dia melanjutkan, “Lalu aku pun mendatanginya dan aku mendapatkan ilmu yang banyak darinya.” [Siyar A’lami ‘n-Nubala’ (4/507-508)]
Wahai saudaraku ikhwani fillah, wahai laki-laki yang mengharapkan keselamatan dan keindahan dalam rumah tangganya, mutiara-mutiara ini tersembunyi dari pandangan manusia, indah berkilau di rumah mereka tak tersentuh pandangan-pandangan kotor laki-laki yang memiliki penyakit dalam hatinya. Mutiara ini teramat mahal dan tak ternilai harganya, mereka adalah perhiasan terindah di dunia ini.
Mutiara-mutiara ini tidak akan tertarik dengan keindahan dunia yang engkau miliki, harta yang berlimpah tidak menyilaukan matanya, wajah yang rupawan bukanlah impiannya, kedudukan dan jabatan tak pernah menjadi tujuannya, hanya seorang laki-laki sederhana yang shalih, seorang penuntut ilmu yang tak pernah letih dalam usahanya, dan seorang lelaki yang merindukan jannah yang kelak akan mampu mengisi hari-hari mutiara-mutiara ini.
Jika engkau ingin mendapatkan mutiara ini wahai saudaraku! Maka jadikanlah dirimu layak untuk mendapatkannya, bukan dengan harta berlimpah dan kedudukan yang tinggi, namun uluran tangan menuju kepada keridhaan Allah Ta’ala yang mampu membawanya dengan ikhlas dan rela, yang mampu melindungi kilauannya dari pandangan jahat manusia, yang mampu merawat kilauannya hingga akhirnnya, mutiara ini merindukan kehidupan sederhana yang diisi dengan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah mutiara yang tersembunyi dalam hijab tebal dan gelap, tersembunyi hingga engkau yang shalih kelak diizinkan membawanya...
Wallahu a’lam bish showab
Oleh Andi Abu Najwa
Minggu, 18 April 2010
Bahaya Orang yang Enggan Melunasi Hutangnya
Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”
(HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.
Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
(HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)
Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.”(Faidul Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411).
Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.
Masih Ada Hutang, Enggan Disholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)
Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat
Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”
Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397)
Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)
Adapun hutang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:
1. Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.
2. Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.
3. Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya. Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata akan berdusta. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38)
Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.
Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat?
Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak hutang akan mendatangkan kerugian di dunia.”
Inilah do’a yang seharusnya kita amalkan agar terlindung dari hutang: ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).
Berbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya
Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.
كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya -di dunia-)
Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.
Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Kami ucapkan jazakumullah khoiron kepada guru kami Al Ustadz Aris Munandar yang telah mengoreksi ulang tulisan ini. Semoga Allah selalu memberkahi ilmu dan umur beliau.
Yogyakarta, 6 Shofar 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”
(HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.
Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
(HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)
Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.”(Faidul Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411).
Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.
Masih Ada Hutang, Enggan Disholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)
Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat
Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”
Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397)
Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)
Adapun hutang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:
1. Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.
2. Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.
3. Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya. Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata akan berdusta. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38)
Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.
Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat?
Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak hutang akan mendatangkan kerugian di dunia.”
Inilah do’a yang seharusnya kita amalkan agar terlindung dari hutang: ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).
Berbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya
Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.
كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya -di dunia-)
Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.
Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Kami ucapkan jazakumullah khoiron kepada guru kami Al Ustadz Aris Munandar yang telah mengoreksi ulang tulisan ini. Semoga Allah selalu memberkahi ilmu dan umur beliau.
Yogyakarta, 6 Shofar 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Rumah Tanggaku Pernah Berantakan Gara-gara Ibu Mertua Pesan Baru
Rumah Tanggaku Pernah Berantakan Gara-gara Ibu Mertua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mohon penjelasan dari Ustadz tentang masalah yang sedang saya hadapi, tentunya penjelasan menurut syariat Islam yang disertai dalil-dalil Al-Qur`an dan Hadits. Hal itu dimaksudkan agar saya bisa menyampaikannya kepada suami saya. Syukran katsiran atas bantuannya.
Ibu mertua saya tinggal bersama keluarga kecil saya. Sebetulnya hal itu tidak jadi masalah bagi saya, malah saya merasa senang karena –kebetulan- kedua orangtua saya sudah tiada. Ibu mertua saya masih punya suami (bapak mertua saya). Kata ibu mertua, bapak mertua tidak usah ikut tinggal bersama kami, alias tinggal di kampung saja. Maaf, ibu mertua saya sikapnya memang selalu meremehkan suaminya (bapak mertua saya). Sedangkan suami saya, otaknya seperti sudah dicuci oleh ibunya. Dia selalu menuruti kemauan ibunya. Di matanya, perkataan ibunya selalu benar.
Sebetulnya saya juga agak risih jika tinggal bersama ibu mertua saya, karena dia pernah menghancurkan mahligai pernikahan kami hingga dua kali. Dia pernah memerintahkan suami saya untuk selingkuh dan melakukan tindak kekerasan kepada saya. Ini adalah kali kedua kami rujuk (bersatu kembali). Semua kami lakukan semata-mata demi anak kami.
Setahu saya, jika jarang bertemu dengan ibunya, suami saya termasuk orang yang baik. Apalagi dia sering berteman dengan orang-orang yang shaleh. Tapi jika sudah bertemu dengan ibunya, semua menjadi gelap. Yang paling benar di matanya hanyalah perkataan ibunya. Saya takut bila ibu mertua saya ikut tinggal bersama kami, rumah tangga kami berantakan lagi. Bagaimana saya menyampaikan hal ini kepada suami saya, Ustadz?
Perlu diketahui, saat ibu mertua tinggal di kampung, kami selalu mengirim sejumlah uang untuknya. Menurut suami saya, ibunya menyuruh suami saya untuk melakukan balas budi karena sudah disekolahkan oleh sang ibu. Bahkan katanya, separoh uang gaji ibunya digunakan untuk biaya sekolah suami saya. Padahal kedua adiknya saja tahu bahwa sikap ibunya memang kurang baik. Karenanya, mereka tidak mau tinggal bersama ibu mertua saya, meskipun mereka berada dalam satu kota. Bagaimana menurut Ustadz?
Selain itu, suami saya kurang mengenal karakter ibunya, karena setelah lulus SMP, dia tidak serumah lagi dengan ibunya. Dia tinggal di kost karena sekolahnya agak jauh. Mohon sekali jawabannya Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebenarnya masalah yang Anda hadapi hampir mirip dengan masalah yang sudah saya bahas pada konsultasi minggu lalu, yaitu mengenai “Batasan Berbakti Kepada Orangtua”. Sebab, kedua masalah tersebut sama-sama berkaitan dengan upaya seorang anak untuk berbakti kepada ibunya dan juga sikap sang ibu yang dinilai pihak ketiga (dalam hal ini adalah istri sang anak) sebagai sikap yang kurang menyenangkan. Karena itu, saya sarankan Anda untuk membaca kembali pembahasan tersebut agar Anda lebih mengetahui tentang batasan-batasan dalam berbakti kepada orangtua sehingga Anda dapat menjelaskannya kepada suami Anda.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah tentang kondisi rumah tangga Anda yang sudah dua kali berantarakan akibat campur tangan pihak ketiga (ibu mertua). Di atas, Anda mengatakan bahwa ibu mertua Anda pernah menghancurkan pernikahan Anda berdua hingga dua kali, tetapi kemudian Anda berdua rujuk (bersatu kembali). Ini berarti bahwa hanya tinggal satu kesempatan lagi bagi Anda dan suami untuk menggayuh bahtera rumah tangga, karena Anda dan suami telah melakukan talak sebanyak dua kali. Menurut hukum Islam, talak yang di dalamnya boleh dilakukan rujuk hanya dua kali. Bila sampai terjadi talak lagi, maka sepasang suami-isteri yang bercerai tidak boleh bersatu kembali kecuali setelah si isteri dinikahi oleh laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, bukan main-main atau rekayasa. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah swt.:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan terakhir ini sebaik-baiknya. Bila Anda benar-benar ingin tetap bersatu dengan suami Anda, terutama karena pertimbangan anak-anak, jelaskanlah masalah ini dan juga masalah “Batasan Berbakti Kepada Orangtua” kepada suami Anda. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, lalu diskusikanlah dengan menggunakan hati dan akal yang jernih. Ingat, jangan sampai ada emosi! Carilah solusi yang terbaik.
Sekedar masukan, ada beberapa alternatif yang mungkin bisa Anda berdua lakukan:
1. Ibu mertua masih tetap tinggal bersama keluarga kecil Anda. Tetapi ingat, Anda dan suami harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Anda harus berusaha keras untuk bersabar, terutama bila ada sikap ibu mertua yang kurang menyenangkan. Sebab walau bagaimanapun, ibu suami Anda adalah ibu Anda juga, yang harus selalu dihormati dan dijaga perasaannya. Demikian pula dengan suami Anda, dia harus berani mengatakan “tidak” (menolak) kepada ibunya bila sang ibu menyuruhnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan aturan-aturan Allah, seperti menyuruhnya untuk selingkuh, seperti yang Anda sebutkan di atas. Sebab, kepatuhan kepada orangtua hanya boleh dilakukan bila tidak mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya, penolakan tersebut harus disampaikan dengan cara yang baik agar tidak menyakiti hati sang ibu.
2. Suruhlah suami untuk merayu ibunya agar mau tinggal di kampung bersama suaminya (bapak mertua Anda). Bila Anda memilih alternatif ini, carilah waktu yang tepat dan cara yang baik untuk menyampaikannya kepada ibu mertua Anda. Jangan lupa, Anda berdua harus berkomitmen untuk membantu sang ibu. Buatlah agar dia merasa lebih nyaman tinggal di kampung bersama suaminya. Dalam hal ini, Anda berdua bisa meminta bantuan kepada adik-adik suami Anda.
Sebagai penutup, saya ingin kembali menekankan bahwa seperti apapun sikap orangtua kita atau orangtua suami/isteri kita, mereka tetaplah orangtua kita yang harus kita hormati dan kita jaga perasaannya. Sebagai anak, kita harus bersabar bila ada sikapnya yang mungkin kurang menyenangkan. Andaikata ada penolakan yang ingin disampaikan, carilah waktu yang tepat dan kemaslah penolakan itu dengan cara yang baik. Satu lagi, ingatlah bahwa setiap orang punya masalah; dan ketika masalah itu datang, kita harus menghadapinya dengan hati dan akal yang jernih. Untuk mendapatkan solusi yang terbaik, janganlah lupa untuk memohon petunjuk dan pertolongan Allah. Wallaahu A’lam…..
Source: www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mohon penjelasan dari Ustadz tentang masalah yang sedang saya hadapi, tentunya penjelasan menurut syariat Islam yang disertai dalil-dalil Al-Qur`an dan Hadits. Hal itu dimaksudkan agar saya bisa menyampaikannya kepada suami saya. Syukran katsiran atas bantuannya.
Ibu mertua saya tinggal bersama keluarga kecil saya. Sebetulnya hal itu tidak jadi masalah bagi saya, malah saya merasa senang karena –kebetulan- kedua orangtua saya sudah tiada. Ibu mertua saya masih punya suami (bapak mertua saya). Kata ibu mertua, bapak mertua tidak usah ikut tinggal bersama kami, alias tinggal di kampung saja. Maaf, ibu mertua saya sikapnya memang selalu meremehkan suaminya (bapak mertua saya). Sedangkan suami saya, otaknya seperti sudah dicuci oleh ibunya. Dia selalu menuruti kemauan ibunya. Di matanya, perkataan ibunya selalu benar.
Sebetulnya saya juga agak risih jika tinggal bersama ibu mertua saya, karena dia pernah menghancurkan mahligai pernikahan kami hingga dua kali. Dia pernah memerintahkan suami saya untuk selingkuh dan melakukan tindak kekerasan kepada saya. Ini adalah kali kedua kami rujuk (bersatu kembali). Semua kami lakukan semata-mata demi anak kami.
Setahu saya, jika jarang bertemu dengan ibunya, suami saya termasuk orang yang baik. Apalagi dia sering berteman dengan orang-orang yang shaleh. Tapi jika sudah bertemu dengan ibunya, semua menjadi gelap. Yang paling benar di matanya hanyalah perkataan ibunya. Saya takut bila ibu mertua saya ikut tinggal bersama kami, rumah tangga kami berantakan lagi. Bagaimana saya menyampaikan hal ini kepada suami saya, Ustadz?
Perlu diketahui, saat ibu mertua tinggal di kampung, kami selalu mengirim sejumlah uang untuknya. Menurut suami saya, ibunya menyuruh suami saya untuk melakukan balas budi karena sudah disekolahkan oleh sang ibu. Bahkan katanya, separoh uang gaji ibunya digunakan untuk biaya sekolah suami saya. Padahal kedua adiknya saja tahu bahwa sikap ibunya memang kurang baik. Karenanya, mereka tidak mau tinggal bersama ibu mertua saya, meskipun mereka berada dalam satu kota. Bagaimana menurut Ustadz?
Selain itu, suami saya kurang mengenal karakter ibunya, karena setelah lulus SMP, dia tidak serumah lagi dengan ibunya. Dia tinggal di kost karena sekolahnya agak jauh. Mohon sekali jawabannya Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebenarnya masalah yang Anda hadapi hampir mirip dengan masalah yang sudah saya bahas pada konsultasi minggu lalu, yaitu mengenai “Batasan Berbakti Kepada Orangtua”. Sebab, kedua masalah tersebut sama-sama berkaitan dengan upaya seorang anak untuk berbakti kepada ibunya dan juga sikap sang ibu yang dinilai pihak ketiga (dalam hal ini adalah istri sang anak) sebagai sikap yang kurang menyenangkan. Karena itu, saya sarankan Anda untuk membaca kembali pembahasan tersebut agar Anda lebih mengetahui tentang batasan-batasan dalam berbakti kepada orangtua sehingga Anda dapat menjelaskannya kepada suami Anda.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah tentang kondisi rumah tangga Anda yang sudah dua kali berantarakan akibat campur tangan pihak ketiga (ibu mertua). Di atas, Anda mengatakan bahwa ibu mertua Anda pernah menghancurkan pernikahan Anda berdua hingga dua kali, tetapi kemudian Anda berdua rujuk (bersatu kembali). Ini berarti bahwa hanya tinggal satu kesempatan lagi bagi Anda dan suami untuk menggayuh bahtera rumah tangga, karena Anda dan suami telah melakukan talak sebanyak dua kali. Menurut hukum Islam, talak yang di dalamnya boleh dilakukan rujuk hanya dua kali. Bila sampai terjadi talak lagi, maka sepasang suami-isteri yang bercerai tidak boleh bersatu kembali kecuali setelah si isteri dinikahi oleh laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, bukan main-main atau rekayasa. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah swt.:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 230)
Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan terakhir ini sebaik-baiknya. Bila Anda benar-benar ingin tetap bersatu dengan suami Anda, terutama karena pertimbangan anak-anak, jelaskanlah masalah ini dan juga masalah “Batasan Berbakti Kepada Orangtua” kepada suami Anda. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, lalu diskusikanlah dengan menggunakan hati dan akal yang jernih. Ingat, jangan sampai ada emosi! Carilah solusi yang terbaik.
Sekedar masukan, ada beberapa alternatif yang mungkin bisa Anda berdua lakukan:
1. Ibu mertua masih tetap tinggal bersama keluarga kecil Anda. Tetapi ingat, Anda dan suami harus memiliki komitmen yang tinggi untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Anda harus berusaha keras untuk bersabar, terutama bila ada sikap ibu mertua yang kurang menyenangkan. Sebab walau bagaimanapun, ibu suami Anda adalah ibu Anda juga, yang harus selalu dihormati dan dijaga perasaannya. Demikian pula dengan suami Anda, dia harus berani mengatakan “tidak” (menolak) kepada ibunya bila sang ibu menyuruhnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan aturan-aturan Allah, seperti menyuruhnya untuk selingkuh, seperti yang Anda sebutkan di atas. Sebab, kepatuhan kepada orangtua hanya boleh dilakukan bila tidak mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentunya, penolakan tersebut harus disampaikan dengan cara yang baik agar tidak menyakiti hati sang ibu.
2. Suruhlah suami untuk merayu ibunya agar mau tinggal di kampung bersama suaminya (bapak mertua Anda). Bila Anda memilih alternatif ini, carilah waktu yang tepat dan cara yang baik untuk menyampaikannya kepada ibu mertua Anda. Jangan lupa, Anda berdua harus berkomitmen untuk membantu sang ibu. Buatlah agar dia merasa lebih nyaman tinggal di kampung bersama suaminya. Dalam hal ini, Anda berdua bisa meminta bantuan kepada adik-adik suami Anda.
Sebagai penutup, saya ingin kembali menekankan bahwa seperti apapun sikap orangtua kita atau orangtua suami/isteri kita, mereka tetaplah orangtua kita yang harus kita hormati dan kita jaga perasaannya. Sebagai anak, kita harus bersabar bila ada sikapnya yang mungkin kurang menyenangkan. Andaikata ada penolakan yang ingin disampaikan, carilah waktu yang tepat dan kemaslah penolakan itu dengan cara yang baik. Satu lagi, ingatlah bahwa setiap orang punya masalah; dan ketika masalah itu datang, kita harus menghadapinya dengan hati dan akal yang jernih. Untuk mendapatkan solusi yang terbaik, janganlah lupa untuk memohon petunjuk dan pertolongan Allah. Wallaahu A’lam…..
Source: www.mediasilaturahim.com
www.media-silaturahim.blogspot.com
Batasan Berbakti Kepada Orangtua
Batasan Berbakti Kepada Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal, Pak! Bapak dan keluarga apa kabar? Pak, saya termasuk anggota Group Pecinta Qur’an dan Sunnah. Saya mau tanya sedikit, sebenarnya definisi berbakti kepada orangtua itu sebatas apa? Maksudnya, sejauhmana seorang anak harus berbakti kepada ibunya? Apakah semua permintaan dan kehendak ibunya harus dituruti agar tidak menjadi anak yang durhaka? Bukannya orangtua juga bisa salah, Pak? Apakah pada saat itu kita boleh memberi saran atau masukan?
Di sini, saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman pribadi teman saya. Suami teman saya takut sekali menolak kemauan ibunya ataupun menegur ibunya (bila sang ibu melakukan kesalahan), karena sang ibu gampang sekali melontarkan kata-kata “anak durhaka”. Terkadang untuk hal-hal yang sepele saja, kata-kata seperti itu sering keluar dari mulutnya. Kalau seperti itu bagaimana, Pak?
Bahkan untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, suami teman saya itu harus mencium kaki ibunya dulu. Padahal –menurut saya- masalanya sepele sekali. Awalnya, sang ibu pergi ke pasar bersama suami teman saya itu. Di pasar, sang ibu menawar suatu barang dengan harga tertentu. Tapi setelah penjual menyetujui harga yang ditawar sang ibu, sang ibu malah menawar lagi dengan harga yang lebih murah. Melihat itu, suami teman saya pun langsung menegur ibunya karena dia khawatir sang penjual akan marah (dan nampaknya dia memang sudah marah). Maksud hati ingin mengingatkan sang ibu, eh malah sang ibu marah-marah kepada anaknya. Lalu dia melontarkan kata-kata “anak durhaka”.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh saja, Pak. Mungkin masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang sebenarnya berawal dari masalah-masalah sepele. Bagaimana kita harus menyikapi ibu seperti itu, Pak?
Selain itu, sang ibu tidak mau “lepas” dari anaknya. Dia terlalu manja kepada suami teman saya itu. Padahal untuk isteri dan anaknya saja, suami saya itu jarang punya waktu karena pekerjaannya sangat banyak, sampai-sampai jarang ada hari libur. Apa mungkin hal itu disebabkan karena ibunya sudah janda, jadi dia ingin bermanja-manjaan dengan anaknya? Kalau seperti itu, bagaimana caranya agar suami teman saya itu bisa bersikap adil dalam mengurus ibu, anak dan juga isterinya?
Oya Pak, ada satu pertanyaan lagi, apa benar dalam Al-Qur`an ada ayat yang menegaskan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya? Jika benar, lalu siapa yang berkewajiban menafkahi isteri dan anaknya? Mohon jawabannya, Pak! Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, Bu. Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal‘afiat. Si kecil yang beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit pun sekarang sudah kembali ceria dan menyenangkan seperti sediakala. Mudah-mudahan ukhti dan keluarga juga demikian adanya, amin ya Robbal-‘alamin.
Seperti yang pernah saya singgung dalam salah satu konsultasi sebelumnya, birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. Dari sini, maka para ulama pun mendefinisikan term “birrul waalidain” (berbakti kepada orangtua) dengan definisi sebagai berikut: Berbakti kepada kedua orangtua adalah berbuat baik kepada mereka, memenuhi hak-hak mereka, dan menaati mereka dalam hal-hal yang bersifat sunah dan mubah, bukan pada hal-hal yang sifatnya wajib atau haram. Artinya, seorang anak harus menuruti perintah orangtuanya selama perintah itu tidak untuk meninggalkan perbuatan yang wajib hukumnya ataupun melakukan perbuatan yang diharamkan. Sebagai contoh, bila seorang ibu menyuruh anaknya untuk melakukan satu pekerjaan tertentu, yang dengannya dia harus meninggalkan shalat, maka sang anak wajib untuk menolak perintah tersebut. Demikian pula bila sang ibu menyuruh anak laki-lakinya meninggalkan begitu saja (menelantarkan) isteri dan anaknya agar dia menikah dengan wanita pilihan ibunya, maka sang anak harus menolak perintah tersebut, karena menelantarkan isteri dan anak merupakan perbuatan yang dilarang Allah swt..
Tetapi perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Saudariku yang terhormat, pada kasus yang Anda sebutkan, saya melihat bahwa sang anak belum wajib untuk menolak kemauan sang ibu. Sebab, masalah tawar menawar dalam jual beli merupakan satu hal yang sifatnya mubah (tidak terkait dengan hukum wajib ataupun haram seperti yang dijelaskan di atas). Apalagi dalam kajian fikih muamalah, dikenal istilah khiyar majlis, yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan akad (transaksi) selama kedua belah pihak belum berpisah dari tempat transaksi. Bahkan menurut Imam Syafi’I dan Hanbali, sang ibu masih boleh membatalkan transaksi yang dilakukannya itu meskipun sudah dilakukan ijab qabul (serah terima uang dan barang), selama mereka belum berpisah.
Menurut hemat saya, andaikata sang anak memang ingin memberikan masukan pada saat itu karena hal seperti itu dianggap tidak baik menurut adat/kebiasaan/etika (meskipun dibolehkan secara hukum), maka dia harus ektra hati-hati dan harus melihat kondisi sang ibu. Jangan sampai niat baiknya itu akan menyinggung perasaan sang ibu. Apalagi bila dia tahu bahwa ibunya termasuk tipe orang yang sangat sensitif.
Kalau saya boleh menilai, suami teman Anda itu termasuk orang yang sangat berhati-hati dan khawatir bila dirinya tidak bisa meraih ridha orangtua. Bahkan dia rela untuk mencium kaki sang ibu hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Mungkin dia ingin mengamalkan Hadits Nabi saw.: “Ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orangtua.”
Tetapi dia juga harus ingat, jangan sampai hal itu menyebabkan dia melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dia dituntut harus benar-benar bersikap adil sehingga tidak ada yang dikorbankan, meskipun dalam hal pelayanan, orangtua harus tetap didahulukan. Dalam sebuah Hadits shahih disebutkan sebuah kisah tentang 3 orang yang masuk ke dalam gua, tetapi kemudian pintu gua tersebut tertutup oleh batu. Batu itu baru bisa digeser setelah setiap orang di antara mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal kebajikannya masing-masing. Salah seorang di antara mereka adalah orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya. Dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orangtua yang sudah lanjut usia, seorang isteri dan juga seorang anak. Aku menggembala untuk (menghidupi) mereka. Setelah aku mengandangkan ternak, aku memerah susunya. Lalu aku mulai memberikan susu itu kepada kedua orangtuaku sebelum aku memberikannya kepada anakku.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas, saya berani mengatakan bahwa bila suami teman Anda itu bisa bersikap seperti itu dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai suami dan ayah, maka teman Anda itu sangat beruntung. Dia seharusnya rela dan mendukung sikap suaminya itu. Sebab, bisa jadi saat tua nanti, dia dan juga suaminya itu akan diperlakukan seperti itu oleh anak dan menantunya.
Mengenai pertanyaan terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada satu ayat atau Hadits pun yang menyatakan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya. Memang ada satu riwayat yang mengisyaratkan bahwa seorang ayah boleh membelanjakan harta anaknya, tetapi itu merupakan kekhususan yang diberikan Allah kepada ayah, dan hal itu hanya boleh dilakukan secara tidak berlebihan dan tidak memudharatkan anaknya.Tapi dari segi hukum, harta itu tetap milik anaknya, bukan milik ayahnya. Oleh karenanya, ketika sang anak meninggal, maka harta itu harus dibagikan kepada semua ahli waris, termasuk ayah dan ibu. Bila anak laki-laki itu memiliki anak atau saudara, maka ibu hanya mendapat seperenam. Tetapi bila dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali ayah ibunya (yang masih hidup), maka sang ibu mendapat sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan (Lihat QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Source: www.mediasilaturahim.com
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal, Pak! Bapak dan keluarga apa kabar? Pak, saya termasuk anggota Group Pecinta Qur’an dan Sunnah. Saya mau tanya sedikit, sebenarnya definisi berbakti kepada orangtua itu sebatas apa? Maksudnya, sejauhmana seorang anak harus berbakti kepada ibunya? Apakah semua permintaan dan kehendak ibunya harus dituruti agar tidak menjadi anak yang durhaka? Bukannya orangtua juga bisa salah, Pak? Apakah pada saat itu kita boleh memberi saran atau masukan?
Di sini, saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman pribadi teman saya. Suami teman saya takut sekali menolak kemauan ibunya ataupun menegur ibunya (bila sang ibu melakukan kesalahan), karena sang ibu gampang sekali melontarkan kata-kata “anak durhaka”. Terkadang untuk hal-hal yang sepele saja, kata-kata seperti itu sering keluar dari mulutnya. Kalau seperti itu bagaimana, Pak?
Bahkan untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, suami teman saya itu harus mencium kaki ibunya dulu. Padahal –menurut saya- masalanya sepele sekali. Awalnya, sang ibu pergi ke pasar bersama suami teman saya itu. Di pasar, sang ibu menawar suatu barang dengan harga tertentu. Tapi setelah penjual menyetujui harga yang ditawar sang ibu, sang ibu malah menawar lagi dengan harga yang lebih murah. Melihat itu, suami teman saya pun langsung menegur ibunya karena dia khawatir sang penjual akan marah (dan nampaknya dia memang sudah marah). Maksud hati ingin mengingatkan sang ibu, eh malah sang ibu marah-marah kepada anaknya. Lalu dia melontarkan kata-kata “anak durhaka”.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh saja, Pak. Mungkin masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang sebenarnya berawal dari masalah-masalah sepele. Bagaimana kita harus menyikapi ibu seperti itu, Pak?
Selain itu, sang ibu tidak mau “lepas” dari anaknya. Dia terlalu manja kepada suami teman saya itu. Padahal untuk isteri dan anaknya saja, suami saya itu jarang punya waktu karena pekerjaannya sangat banyak, sampai-sampai jarang ada hari libur. Apa mungkin hal itu disebabkan karena ibunya sudah janda, jadi dia ingin bermanja-manjaan dengan anaknya? Kalau seperti itu, bagaimana caranya agar suami teman saya itu bisa bersikap adil dalam mengurus ibu, anak dan juga isterinya?
Oya Pak, ada satu pertanyaan lagi, apa benar dalam Al-Qur`an ada ayat yang menegaskan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya? Jika benar, lalu siapa yang berkewajiban menafkahi isteri dan anaknya? Mohon jawabannya, Pak! Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, Bu. Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal‘afiat. Si kecil yang beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit pun sekarang sudah kembali ceria dan menyenangkan seperti sediakala. Mudah-mudahan ukhti dan keluarga juga demikian adanya, amin ya Robbal-‘alamin.
Seperti yang pernah saya singgung dalam salah satu konsultasi sebelumnya, birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. Dari sini, maka para ulama pun mendefinisikan term “birrul waalidain” (berbakti kepada orangtua) dengan definisi sebagai berikut: Berbakti kepada kedua orangtua adalah berbuat baik kepada mereka, memenuhi hak-hak mereka, dan menaati mereka dalam hal-hal yang bersifat sunah dan mubah, bukan pada hal-hal yang sifatnya wajib atau haram. Artinya, seorang anak harus menuruti perintah orangtuanya selama perintah itu tidak untuk meninggalkan perbuatan yang wajib hukumnya ataupun melakukan perbuatan yang diharamkan. Sebagai contoh, bila seorang ibu menyuruh anaknya untuk melakukan satu pekerjaan tertentu, yang dengannya dia harus meninggalkan shalat, maka sang anak wajib untuk menolak perintah tersebut. Demikian pula bila sang ibu menyuruh anak laki-lakinya meninggalkan begitu saja (menelantarkan) isteri dan anaknya agar dia menikah dengan wanita pilihan ibunya, maka sang anak harus menolak perintah tersebut, karena menelantarkan isteri dan anak merupakan perbuatan yang dilarang Allah swt..
Tetapi perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Saudariku yang terhormat, pada kasus yang Anda sebutkan, saya melihat bahwa sang anak belum wajib untuk menolak kemauan sang ibu. Sebab, masalah tawar menawar dalam jual beli merupakan satu hal yang sifatnya mubah (tidak terkait dengan hukum wajib ataupun haram seperti yang dijelaskan di atas). Apalagi dalam kajian fikih muamalah, dikenal istilah khiyar majlis, yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan akad (transaksi) selama kedua belah pihak belum berpisah dari tempat transaksi. Bahkan menurut Imam Syafi’I dan Hanbali, sang ibu masih boleh membatalkan transaksi yang dilakukannya itu meskipun sudah dilakukan ijab qabul (serah terima uang dan barang), selama mereka belum berpisah.
Menurut hemat saya, andaikata sang anak memang ingin memberikan masukan pada saat itu karena hal seperti itu dianggap tidak baik menurut adat/kebiasaan/etika (meskipun dibolehkan secara hukum), maka dia harus ektra hati-hati dan harus melihat kondisi sang ibu. Jangan sampai niat baiknya itu akan menyinggung perasaan sang ibu. Apalagi bila dia tahu bahwa ibunya termasuk tipe orang yang sangat sensitif.
Kalau saya boleh menilai, suami teman Anda itu termasuk orang yang sangat berhati-hati dan khawatir bila dirinya tidak bisa meraih ridha orangtua. Bahkan dia rela untuk mencium kaki sang ibu hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Mungkin dia ingin mengamalkan Hadits Nabi saw.: “Ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orangtua.”
Tetapi dia juga harus ingat, jangan sampai hal itu menyebabkan dia melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dia dituntut harus benar-benar bersikap adil sehingga tidak ada yang dikorbankan, meskipun dalam hal pelayanan, orangtua harus tetap didahulukan. Dalam sebuah Hadits shahih disebutkan sebuah kisah tentang 3 orang yang masuk ke dalam gua, tetapi kemudian pintu gua tersebut tertutup oleh batu. Batu itu baru bisa digeser setelah setiap orang di antara mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal kebajikannya masing-masing. Salah seorang di antara mereka adalah orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya. Dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orangtua yang sudah lanjut usia, seorang isteri dan juga seorang anak. Aku menggembala untuk (menghidupi) mereka. Setelah aku mengandangkan ternak, aku memerah susunya. Lalu aku mulai memberikan susu itu kepada kedua orangtuaku sebelum aku memberikannya kepada anakku.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas, saya berani mengatakan bahwa bila suami teman Anda itu bisa bersikap seperti itu dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai suami dan ayah, maka teman Anda itu sangat beruntung. Dia seharusnya rela dan mendukung sikap suaminya itu. Sebab, bisa jadi saat tua nanti, dia dan juga suaminya itu akan diperlakukan seperti itu oleh anak dan menantunya.
Mengenai pertanyaan terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada satu ayat atau Hadits pun yang menyatakan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya. Memang ada satu riwayat yang mengisyaratkan bahwa seorang ayah boleh membelanjakan harta anaknya, tetapi itu merupakan kekhususan yang diberikan Allah kepada ayah, dan hal itu hanya boleh dilakukan secara tidak berlebihan dan tidak memudharatkan anaknya.Tapi dari segi hukum, harta itu tetap milik anaknya, bukan milik ayahnya. Oleh karenanya, ketika sang anak meninggal, maka harta itu harus dibagikan kepada semua ahli waris, termasuk ayah dan ibu. Bila anak laki-laki itu memiliki anak atau saudara, maka ibu hanya mendapat seperenam. Tetapi bila dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali ayah ibunya (yang masih hidup), maka sang ibu mendapat sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan (Lihat QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Source: www.mediasilaturahim.com
Hukum Bisnis Tarik Tunai Pesan Baru
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai bisnis tarik tunai melalui mesin EDC atau yang lebih kita kenal dengan nama mesin gesek kartu kredit. Jika kita mempunyai kartu kredit yang diterbitkan oleh salah satu bank lokal atau internasional, lalu saat kita membutuhkan dana untuk suatu keperluan, maka kita akan memakai kartu kredit tersebut untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai.
Di sini, kartu kredit tersebut tidak dipakai untuk membeli barang, tapi untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai. Seandainya saya membuka usaha ini dengan ilustrasi sebagai berikut: Saya mendapatkan mesin EDC (merchant) atau mesin gesek kartu kredit dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan salah satu bank, dengan dikenai potongan sebesar 2,5%. Jika seseorang bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,- menggunakan kartu kredit, maka dana yang akan dikembalikan bank kepada saya sebesar Rp. 975.000,- Dalam jangka waktu 3 hari sebelum bank mengembalikan dana tersebut, saya terlebih dahulu memberikan uang tunai kepada si pemilik kartu kredit. Jika si pemilik kartu kredit tersebut bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,-, maka uang tunai yang diberikan kepadanya sebesar Rp. 975.000,-. Jadi, pemilik kartu kredit tersebut mempunyai hutang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada Bank penerbit kartu kredit, sementara keuntungan yang saya peroleh Rp. 5.000,-
Yang ingin saya tanyakan, apakah keuntungan yang saya peroleh itu termasuk kategori riba? Sebab, di zaman modern dengan tekhnologi serba canggih seperti ini, banyak kesempatan yang bisa diraih. Tapi saya takut melanggap apa yang telah Allah haramkan kepada kita semua. Mohon petunjuk dari Pak Ustadz. Terima kasih….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
P - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, di zaman yang serba canggih ini, memang banyak peluang atau kesempatan yang bisa kita raih. Namun sebagai Muslim, kita dituntut untuk tetap berhati-hati agar tidak ada uang haram yang masuk ke dalam tubuh kita dan juga keluarga kita. Setidaknya, pertanyaan yang Anda lontarkan di atas mencerminkan adanya kehati-hatian seperti itu dalam diri Anda. Sungguh tidak sedikit orang yang sudah tidak care lagi alias masa bodoh terhadap masalah tersebut. Mereka tidak lagi memikirkan halal atau haram. Bagi mereka yang terpenting adalah: asal perut kenyang, asal anak isteri girang, atau asal babeh senang. Na’uudzu billaah min dzaalik…
Saudaraku, sebenarnya transaksi yang Anda tanyakan di atas terdiri dari 3 macam transaksi, yaitu:
1. Transaksi antara pihak bank yang mengeluarkan kartu kredit dengan pihak pemilik merchant. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan atau penjaminan. Artinya, bank menjamin akan membayar uang yang dibayarkan oleh pihak pemilik merchant kepada pemegang kartu kredit.
2. Transaksi antara pihak pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit. Transaksi ini menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa). Artinya, pihak pemilik merchant berfungsi sebagai mediator pencairan uang, yang akan mendapat upah atas jasa yang telah diberikan.
3. Transaksi antara pihak bank dengan pemegang kartu. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak pemegang kartu berhutang kepada bank dan harus melunasinya pada waktu yang telah ditentukan dan sesuai ketentuan yang ditetapkan pihak bank.
Yang menjadi inti permasalahan ini adalah hukum transaksi pertama dan kedua, karena kedua transaksi tersebut berkaitan langsung dengan pihak pemilik merchant, berbeda dengan transaksi ketiga yang hanya terjadi antara pihak bank dengan pemegang kartu kredit. Di sini, kami tidak akan mengulas kembali pembahasan mengenai hukum transaksi ketiga. Anda bisa melihat kembali pembahasan tersebut pada artikel berjudul “Hukum Bunga Bank”, “Hukum Meminjam Modal Ke Bank Konvensional” dan “Hukum Rentenir”.
Transaksi antara pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa), sebuah transaksi yang pada prinsipnya dibolehkan selama memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan syariat Islam. Hanya saja dalam bisnis tarik tunai ini, transaksi berbasis ijarah tersebut dikaitkan dengan transaksi lain yang –menurut sebagian ulama- mengandung unsur riba. Seandainya tidak dikaitkan dengan transaksi yang mengandung unsur riba tersebut, maka kemungkinan besar para ulama sepakat untuk membolehkan bisnis tarik tunai ini. Namun, karena ada kaitannya dengan transaksi lain, yaitu transaksi ketiga yang mengandung riba, maka para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat bahwa pengambilan kelebihan uang yang dianggap sebagai uang administrasi dalam bisnis tersebut dibolehkan, karena pada prinsipnya bisnis ini menggunakan akad ijarah (jasa/sewa). Uang administrasi inilah yang akan digunakan untuk menutup biaya operasional. Pendapat inilah yang diambil oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.
2. Sebagian ulama yang lain mengharamkannya karena proses penarikan uang tersebut bersifat hutang atau peminjaman yang diberikan kepada pihak pemegang kartu. Maka, uang yang dihasilkan dari transaksi tersebut dan merupakan kelebihan atas pokok pinjaman itu pun dianggap sebagai riba. Pendapat inilah yang diambil oleh Bank Ar-Rajhi.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua, apalagi meskipun terdiri dari 3 macam transaksi, tetapi pada hakekatnya bisnis tarik tunai ini merupakan satu kesatuan proses transaksi. Karena salah satu bagiannya mengandung unsur riba, maka yang lain pun ikut terkena dampaknya. Wallaahu A’lam….
Source: www.mediasilaturahim.com
Pak Ustadz, ada hal yang ingin saya tanyakan mengenai bisnis tarik tunai melalui mesin EDC atau yang lebih kita kenal dengan nama mesin gesek kartu kredit. Jika kita mempunyai kartu kredit yang diterbitkan oleh salah satu bank lokal atau internasional, lalu saat kita membutuhkan dana untuk suatu keperluan, maka kita akan memakai kartu kredit tersebut untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai.
Di sini, kartu kredit tersebut tidak dipakai untuk membeli barang, tapi untuk tarik tunai dengan tujuan untuk mendapatkan uang tunai. Seandainya saya membuka usaha ini dengan ilustrasi sebagai berikut: Saya mendapatkan mesin EDC (merchant) atau mesin gesek kartu kredit dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan salah satu bank, dengan dikenai potongan sebesar 2,5%. Jika seseorang bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,- menggunakan kartu kredit, maka dana yang akan dikembalikan bank kepada saya sebesar Rp. 975.000,- Dalam jangka waktu 3 hari sebelum bank mengembalikan dana tersebut, saya terlebih dahulu memberikan uang tunai kepada si pemilik kartu kredit. Jika si pemilik kartu kredit tersebut bertransaksi sebesar Rp. 1.000.000,-, maka uang tunai yang diberikan kepadanya sebesar Rp. 975.000,-. Jadi, pemilik kartu kredit tersebut mempunyai hutang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada Bank penerbit kartu kredit, sementara keuntungan yang saya peroleh Rp. 5.000,-
Yang ingin saya tanyakan, apakah keuntungan yang saya peroleh itu termasuk kategori riba? Sebab, di zaman modern dengan tekhnologi serba canggih seperti ini, banyak kesempatan yang bisa diraih. Tapi saya takut melanggap apa yang telah Allah haramkan kepada kita semua. Mohon petunjuk dari Pak Ustadz. Terima kasih….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
P - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, di zaman yang serba canggih ini, memang banyak peluang atau kesempatan yang bisa kita raih. Namun sebagai Muslim, kita dituntut untuk tetap berhati-hati agar tidak ada uang haram yang masuk ke dalam tubuh kita dan juga keluarga kita. Setidaknya, pertanyaan yang Anda lontarkan di atas mencerminkan adanya kehati-hatian seperti itu dalam diri Anda. Sungguh tidak sedikit orang yang sudah tidak care lagi alias masa bodoh terhadap masalah tersebut. Mereka tidak lagi memikirkan halal atau haram. Bagi mereka yang terpenting adalah: asal perut kenyang, asal anak isteri girang, atau asal babeh senang. Na’uudzu billaah min dzaalik…
Saudaraku, sebenarnya transaksi yang Anda tanyakan di atas terdiri dari 3 macam transaksi, yaitu:
1. Transaksi antara pihak bank yang mengeluarkan kartu kredit dengan pihak pemilik merchant. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan atau penjaminan. Artinya, bank menjamin akan membayar uang yang dibayarkan oleh pihak pemilik merchant kepada pemegang kartu kredit.
2. Transaksi antara pihak pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit. Transaksi ini menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa). Artinya, pihak pemilik merchant berfungsi sebagai mediator pencairan uang, yang akan mendapat upah atas jasa yang telah diberikan.
3. Transaksi antara pihak bank dengan pemegang kartu. Transaksi ini menggunakan sistem jaminan, penjaminan dan peminjaman. Pihak pemegang kartu berhutang kepada bank dan harus melunasinya pada waktu yang telah ditentukan dan sesuai ketentuan yang ditetapkan pihak bank.
Yang menjadi inti permasalahan ini adalah hukum transaksi pertama dan kedua, karena kedua transaksi tersebut berkaitan langsung dengan pihak pemilik merchant, berbeda dengan transaksi ketiga yang hanya terjadi antara pihak bank dengan pemegang kartu kredit. Di sini, kami tidak akan mengulas kembali pembahasan mengenai hukum transaksi ketiga. Anda bisa melihat kembali pembahasan tersebut pada artikel berjudul “Hukum Bunga Bank”, “Hukum Meminjam Modal Ke Bank Konvensional” dan “Hukum Rentenir”.
Transaksi antara pemilik merchant dengan pemegang kartu kredit menggunakan sistem ijarah (jasa/sewa), sebuah transaksi yang pada prinsipnya dibolehkan selama memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang ditetapkan syariat Islam. Hanya saja dalam bisnis tarik tunai ini, transaksi berbasis ijarah tersebut dikaitkan dengan transaksi lain yang –menurut sebagian ulama- mengandung unsur riba. Seandainya tidak dikaitkan dengan transaksi yang mengandung unsur riba tersebut, maka kemungkinan besar para ulama sepakat untuk membolehkan bisnis tarik tunai ini. Namun, karena ada kaitannya dengan transaksi lain, yaitu transaksi ketiga yang mengandung riba, maka para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat bahwa pengambilan kelebihan uang yang dianggap sebagai uang administrasi dalam bisnis tersebut dibolehkan, karena pada prinsipnya bisnis ini menggunakan akad ijarah (jasa/sewa). Uang administrasi inilah yang akan digunakan untuk menutup biaya operasional. Pendapat inilah yang diambil oleh Lembaga Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania.
2. Sebagian ulama yang lain mengharamkannya karena proses penarikan uang tersebut bersifat hutang atau peminjaman yang diberikan kepada pihak pemegang kartu. Maka, uang yang dihasilkan dari transaksi tersebut dan merupakan kelebihan atas pokok pinjaman itu pun dianggap sebagai riba. Pendapat inilah yang diambil oleh Bank Ar-Rajhi.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua, apalagi meskipun terdiri dari 3 macam transaksi, tetapi pada hakekatnya bisnis tarik tunai ini merupakan satu kesatuan proses transaksi. Karena salah satu bagiannya mengandung unsur riba, maka yang lain pun ikut terkena dampaknya. Wallaahu A’lam….
Source: www.mediasilaturahim.com
Suami Menuduh Isterinya “Pelacur” Pesan Baru
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, keponakan saya ada masalah dengan rumah tangganya. Saat ini dalam situasi yang perlu mendapat pandangan agar dapat diselesaikan dengan jalan yang baik dan benar, terutama menurut agama.
Mereka menikah 2 tahun yang lalu. Setengah tahun usia pernikahan itu, mereka menghadapi goncangan karena suami tidak dapat mengendalikan perkataannya yang mengatakan istrinya "Pelacur" saat ada perselisihan kecil. Bahkan saat istrinya mengandung pernah melontarkan perkataan bahwa "Janin yang dikandung itu mungkin bukan anaknya". Menurut cerita, kata-kata tersebut sangat menyakitkan hati keponakan saya, sehingga hampir setiap hari ada perselisihan dan pertengkaran. Pada puncaknya orang tua terlibat dalam masalah tersebut. Di hadapan Orang Tua Wanita, sang suami mengatakan bahwa dirinya menceraikan istrinya. Saat itu istrinya sedang hamil.
Mereka pisah rumah, dan sepakat akan menyelesaikan secara hukum dan agama setelah kelahiran anaknya.
Suami tidak lagi membiayai istrinya, bahkan biaya kelahiran anaknya dan semua biaya sampai saat ini dipikul oleh istri dan orang tuanya. Setelah kelahiran anaknya suami tidak pernah memberikan nafkah lahir dan bathin. Tapi dia tidak mau melanjutkan proses perceraian. Bahkan pernah mengancam akan membanting bayinya atau membawa lari. Hal itu tentu sangat menyusahkan dan membuat ketakutan istrinya dan keluarga lainnya. Suami baru mau melanjutkan proses perceraian jika diberi ganti rugi dalam bentuk materi dan uang. Katanya aturan itu ada dalam agama, sebab yang minta cerai pihak wanita. Sebagai tambahan dapat diinformasikan bahwa uang yang diserahkan pihak lelaki saat akan pernikahan juga sudah diambil kembali untuk modal usaha sang suami.
Sampai saat ini, rumah tangga mereka dalam status yang tidak ada kepastian, sementara keluarga telah mencoba untuk merukunkan mereka kembali tapi si wanita sudah sangat trauma dengan rangkaian kejadian yang secara tidak nyaman dialaminya dan begitu menakutkan. Apalagi bila suaminya datang, selalu saja timbul keributan. Sang isteri pun merasa terancam.
Mereka telah memiliki seorang putera yang sekarang berusia 1 tahun.
Rumah dan semua harta benda yang dimiliki oleh istri adalah miliknya sendiri dari orang tua istri. Mohon pandangan dari Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, masalah yang dihadapi keponakan Anda sangat kompleks dan rumit, dan hal ini semakin menipiskan harapan bagi kedua belah pihak (suami-isteri) untuk berdamai kembali. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin, hanya saja upaya untuk mempersatukan mereka kembali membutuhkan adanya komitmen yang kuat dari kedua belah pihak (terutama suami) untuk merajut kembali benang-benang cinta yang telah terurai, menambah kekurangan-kekurangan yang ada, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Rumitnya masalah tersebut disebabkan karena suami telah melakukan sejumlah pelanggaran berat yang tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim terhadap isterinya. Bahkan bila pelanggaran-pelanggaran seperti itu memang benar dilakukan oleh suami keponakan Anda, maka terus terang saya berani mengatakan bahwa dia bukan tipe suami yang baik atau shaleh, yang patut untuk dijadikan sebagai teman hidup. Sebab suami yang baik tidak mungkin tega untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang saya maksud adalah:
1. Dia telah menganggap isterinya sendiri sebagai pelacur atau menganggap anak yang dikandung isterinya bukan anaknya yang sah, tanpa bukti-bukti yang kuat. Ini berarti bahwa dia menuduh isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Meskipun terlihat begitu ringan kata-kata tersebut keluar dari mulut (begitu mudahnya diucapkan), tetapi ia memiliki dampak hukum yang luar biasa.
Dalam Islam, bila seorang Muslim menuduh orang lain berbuat zina, maka dia harus bisa membuktikannya dengan mendatangkan empat orang saksi. Bila tidak, maka dia sendiri yang akan terancam hukuman had (dicambuk sebanyak 80 kali). Allah swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.” (QS. An-Nuur [24]: 4)
Hukum seperti ini semestinya juga berlaku dalam hubungan antara suami isteri. Hanya saja karena rahmat Allah, Allah memberikan alternatif solusi yang bertujuan agar suami yang melakukan hal seperti itu tidak dikenai hukuman had tersebut. Alternatif yang dimaksud adalah Li’an. Li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami, bahwa isterinya telah berzina dengan orang lain, atau bahwa suami menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya. Setelah suami mengucapkan sumpah seperti itu, maka sang isteri pun diminta untuk bersumpah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar.
Hukum li’an ini telah dijelaskan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur [24]: 6-9).
Bila kedua belah pihak sudah sama-sama mengucapkan sumpah, maka berlakulah hukum-hukum sebagai berikut:
- Kedua belah pihak (suami-isteri) harus diceraikan.
- Keduanya diharamkan untuk rujuk kembali.
- Wanita yang melakukan li’an berhak memiliki mahar.
- Anak yang lahir dari isteri yang melakukan li’an harus diserahkan kepada isteri (ibunya).
- Isteri yang melakukan li’an berhak menjadi ahli waris anaknya, dan demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa perkataan yang begitu mudahnya keluar dari mulut suami keponakan Anda itu ternyata bukan perkataan yang sepele, melainkan perkataan yang memiliki dampak hukum yang sangat besar. Oleh karena itu, maka kita pun dituntut untuk berhati-hati terhadapnya.
2. Suami telah melanggar janji (ikrar) yang telah diucapkannya atau ditandatanginya sesaat setelah melakukan akad nikah. Ikrar tersebut dapat dilihat pada sighat ta’lik talak yang dicantumkan dalam buku nikah. Bunyi sighat ta’lik tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
- Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,
- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
- Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,
- Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,
kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)
Ustadz, keponakan saya ada masalah dengan rumah tangganya. Saat ini dalam situasi yang perlu mendapat pandangan agar dapat diselesaikan dengan jalan yang baik dan benar, terutama menurut agama.
Mereka menikah 2 tahun yang lalu. Setengah tahun usia pernikahan itu, mereka menghadapi goncangan karena suami tidak dapat mengendalikan perkataannya yang mengatakan istrinya "Pelacur" saat ada perselisihan kecil. Bahkan saat istrinya mengandung pernah melontarkan perkataan bahwa "Janin yang dikandung itu mungkin bukan anaknya". Menurut cerita, kata-kata tersebut sangat menyakitkan hati keponakan saya, sehingga hampir setiap hari ada perselisihan dan pertengkaran. Pada puncaknya orang tua terlibat dalam masalah tersebut. Di hadapan Orang Tua Wanita, sang suami mengatakan bahwa dirinya menceraikan istrinya. Saat itu istrinya sedang hamil.
Mereka pisah rumah, dan sepakat akan menyelesaikan secara hukum dan agama setelah kelahiran anaknya.
Suami tidak lagi membiayai istrinya, bahkan biaya kelahiran anaknya dan semua biaya sampai saat ini dipikul oleh istri dan orang tuanya. Setelah kelahiran anaknya suami tidak pernah memberikan nafkah lahir dan bathin. Tapi dia tidak mau melanjutkan proses perceraian. Bahkan pernah mengancam akan membanting bayinya atau membawa lari. Hal itu tentu sangat menyusahkan dan membuat ketakutan istrinya dan keluarga lainnya. Suami baru mau melanjutkan proses perceraian jika diberi ganti rugi dalam bentuk materi dan uang. Katanya aturan itu ada dalam agama, sebab yang minta cerai pihak wanita. Sebagai tambahan dapat diinformasikan bahwa uang yang diserahkan pihak lelaki saat akan pernikahan juga sudah diambil kembali untuk modal usaha sang suami.
Sampai saat ini, rumah tangga mereka dalam status yang tidak ada kepastian, sementara keluarga telah mencoba untuk merukunkan mereka kembali tapi si wanita sudah sangat trauma dengan rangkaian kejadian yang secara tidak nyaman dialaminya dan begitu menakutkan. Apalagi bila suaminya datang, selalu saja timbul keributan. Sang isteri pun merasa terancam.
Mereka telah memiliki seorang putera yang sekarang berusia 1 tahun.
Rumah dan semua harta benda yang dimiliki oleh istri adalah miliknya sendiri dari orang tua istri. Mohon pandangan dari Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, masalah yang dihadapi keponakan Anda sangat kompleks dan rumit, dan hal ini semakin menipiskan harapan bagi kedua belah pihak (suami-isteri) untuk berdamai kembali. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin, hanya saja upaya untuk mempersatukan mereka kembali membutuhkan adanya komitmen yang kuat dari kedua belah pihak (terutama suami) untuk merajut kembali benang-benang cinta yang telah terurai, menambah kekurangan-kekurangan yang ada, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Rumitnya masalah tersebut disebabkan karena suami telah melakukan sejumlah pelanggaran berat yang tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim terhadap isterinya. Bahkan bila pelanggaran-pelanggaran seperti itu memang benar dilakukan oleh suami keponakan Anda, maka terus terang saya berani mengatakan bahwa dia bukan tipe suami yang baik atau shaleh, yang patut untuk dijadikan sebagai teman hidup. Sebab suami yang baik tidak mungkin tega untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang saya maksud adalah:
1. Dia telah menganggap isterinya sendiri sebagai pelacur atau menganggap anak yang dikandung isterinya bukan anaknya yang sah, tanpa bukti-bukti yang kuat. Ini berarti bahwa dia menuduh isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Meskipun terlihat begitu ringan kata-kata tersebut keluar dari mulut (begitu mudahnya diucapkan), tetapi ia memiliki dampak hukum yang luar biasa.
Dalam Islam, bila seorang Muslim menuduh orang lain berbuat zina, maka dia harus bisa membuktikannya dengan mendatangkan empat orang saksi. Bila tidak, maka dia sendiri yang akan terancam hukuman had (dicambuk sebanyak 80 kali). Allah swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.” (QS. An-Nuur [24]: 4)
Hukum seperti ini semestinya juga berlaku dalam hubungan antara suami isteri. Hanya saja karena rahmat Allah, Allah memberikan alternatif solusi yang bertujuan agar suami yang melakukan hal seperti itu tidak dikenai hukuman had tersebut. Alternatif yang dimaksud adalah Li’an. Li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami, bahwa isterinya telah berzina dengan orang lain, atau bahwa suami menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya. Setelah suami mengucapkan sumpah seperti itu, maka sang isteri pun diminta untuk bersumpah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar.
Hukum li’an ini telah dijelaskan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur [24]: 6-9).
Bila kedua belah pihak sudah sama-sama mengucapkan sumpah, maka berlakulah hukum-hukum sebagai berikut:
- Kedua belah pihak (suami-isteri) harus diceraikan.
- Keduanya diharamkan untuk rujuk kembali.
- Wanita yang melakukan li’an berhak memiliki mahar.
- Anak yang lahir dari isteri yang melakukan li’an harus diserahkan kepada isteri (ibunya).
- Isteri yang melakukan li’an berhak menjadi ahli waris anaknya, dan demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa perkataan yang begitu mudahnya keluar dari mulut suami keponakan Anda itu ternyata bukan perkataan yang sepele, melainkan perkataan yang memiliki dampak hukum yang sangat besar. Oleh karena itu, maka kita pun dituntut untuk berhati-hati terhadapnya.
2. Suami telah melanggar janji (ikrar) yang telah diucapkannya atau ditandatanginya sesaat setelah melakukan akad nikah. Ikrar tersebut dapat dilihat pada sighat ta’lik talak yang dicantumkan dalam buku nikah. Bunyi sighat ta’lik tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
- Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,
- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
- Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,
- Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,
kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)
30 Kesalahan dalam Shalat
"Sesungguhnya yang petama kali akan dihisab atas seorang hamba pada hari kiamat adalah perkara shalat. Jika Shalatnya baik, maka baikpula seluruh amalan ibadah lainnya, kemudian semua amalannya akan dihitung atas hal itu."
(HR. An Nasa'I : 463)
Banyak orang yang lalai dalam shalat, tanpa sengaja melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahuinya, yang mungkin bisa memubat amalan shalatnya tidak sempurna.
kami akan paparkan kesalahan yang sering terjadi dalam shalat.
1. Menunda–nunda Shalat dari waktu yang telah ditetapkan
Hal ini merupakan pelanggaran berdasarkan firman Allah عزوجل ,
, "Sesungguhnya shalat suatu kewajiban yang telah ditetepkan waktunya bagi orang-orang beriman". (QS. An-Nisa : 103)
2. Tidak shalat berjamah di masjid bagi laki-laki
Rasullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Barang siapa yang mendengar panggilan (azan) kemudina tidak menjawabnya (dengan mendatangi shalat berjamaah), kecuali uzur yang dibenarkan". (HR. Ibnu Majah Shahih) Dalam hadits bukhari dan Muslim disebutkan. "Lalu aku bangkit (setelah shalat dimulai) dan pergi menuju orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, kemudian aku akan membakar rumah-rumah mereka hingga rata dengan tanah."
3. Tidak tuma'minah dalam shalat
Makna tuma'minah adalah, seseorang yang melakukan shalat, diam (tenang) dalam ruku'.i'tidal,sujud dan duduk diantara dua sujud. Dia harus ada pada posisitersebut, dimana setiap ruas-ruas tulang ditempatkan pada tempatnya yang sesuai. Tiak boleh terburu-buru di antara dua gerakan dalam shalat, sampai dia seleasi tuma'ninah dalam posisi tertentu sesuai waktunya. Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda kepada seseorang yang tergegesa dalam shalatnya tanpa memperlihatkan tuma;minah dengan benar, "Ulangi shalatmu, sebab kamu belum melakukan shalat."
4. Tidak khusu' dalam shalat, dan melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan di dalamnya.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya, seseorang beranjak setelah megnerjakan shalatnya dan tidak ditetapkan pahala untuknya kecuali hanya sepersepuluh untuk shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau setangah darinya. " (HR. Abu Dawud, Shahih) mereka tidak mendapat pahala shlatnya dengan sempurna disebabkan tidak adanya kekhusyu'an dalam hati atau melakukan gerakan-gerakan yang melalaikan dalam shalat.
5. Sengaja mendahului gerakan iman atau tidak mengikuti gerakan-gerakannya.
Perbuatan ini dapat membatalkan shalat atau rakaat-rakaat. Merupakan suatu kewajiban bagi mukmin untuk mengikuti imam secara keseluruhan tanpa mendahuluinya atau melambat-lambatkan sesudahnya pada setiap rakaat shalat. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti keseluruhannya. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan bertakbir sampai imam bertakbir, dan jika dia ruku' maka ruku'lah dan jangan ruku' sampai imam ruku' ". (HR. Bukhari)
6. Berdiri untuk melngkapi rakaat yang tertinggal sebelum imam menyelesaikan tasyahud akhir dengan mengucap salam ke kiri dan kekanan
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jangan mendahuluiku dalam ruku', sujud dan jangan pergi dari shalat (Al-Insiraf)". Para ulama berpedapat bahwa Al-Insiraf, ada pada tasyahud akhir. Seseorang yang mendahului imam harus tetap pada tempatnya sampai imam menyelesaikan shalatnya (sempurna salamnya). Baru setalah itu dia berdiri dan melengkapi rakaat yang tertinggal.
7. Melafadzkan niat.
Tidak ada keterangan dari nabi صلى الله عليه وسلم maupun dari para sahabat bahwa meraka pernah melafadzkan niat shalat. Ibnul Qayyim rmh menyatakan dalam Zadul-Ma'ad "Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم berdiri untuk shalat beliau mengucapkan "Allahu Akbar", dan tidak berkata apapun selain itu. Beliau صلى الله عليه وسلم juga tidak melafalkan niatnya dengan keras.
8. Membaca Al-Qur'an dalam ruku' atau selama sujud.
Hal ini dilarang, berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas رضي الله عنه, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, "saya telah dilarang untuk membaca Al-Qur'an selama ruku' atau dalam sujud." (HR. Muslim)
9. Memandang keatas selama shalat atau melihat ke kiri dan ke kanan tanpa alasan tertentu.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Cegalah orang-orang itu untuk mengangkat pandangan keatas atau biarkan pandangan mereka tidak kembali lagi". (HR. Muslim)
10. Melihat ke sekeliling tanpa ada keperluan apapun.
Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنها, bahwa ia berkata, "Aku berkata kepada Rasulallah صلى الله عليه وسلم tentang melihat ke sekeliling dalam shalat Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, "Itu adalah curian yang sengaja dibisikan setan pada umat dalam shalatnya". (HR. Bukhari)
11. Seorang wanita yang tidak menutupi kepala dan kakinya dalam shalat.
Sabda Rasulallah صلى الله عليه وسلم, "Allah tidak menerima shalat wania yang sudah mencapai usia-haid, kecuali jiak dia memakai jilbab (khimar)". (HR. Ahmad)
12. Berjalan di depan orang yang shalat baik orang yang dilewati di hadapanya itu sebagai imam, maupun sedang shalat sendirian dan melangka (melewati) di antara orang selama khutbah shalat Jum'at.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jika orang yang melintas didepan orang yang sedang shalat mengetahui betapa beratnya dosa baginya melakukan hal itu, maka akan lebih baik baginya untuk menunggu dalam hitungan 40 tahun dari pada berjalan didepan orang shalat itu". (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun lewat diantara shaf orang yang sedang shalat berjamaah, maka hal itu diperbolehkan menurut jumhur bedasarkan hadits Ibnu Abbas رضي الله عنه : "Saya datang dengan naik keledai, sedang saya pada waktu itu mendekati baligh. Rasulallah صلى الله عليه وسلم sedang shalat bersama orang –orang Mina menghadap kedinding. Maka saya lewat didepan sebagian shaf, lalu turun dan saya biarkan keledai saya, maka saya masuk kedalam shaf dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan saya". (HR. Al-Jamaah). Ibnu Abdil Barr berkata, "Hadits Ibnu Abbas ini menjadi pengkhususan dari hadits Abu Sa'id yang berbunyi "Jika salah seorang dari kalian shalat, jangan biarkan seseorangpun lewat didepannya". (Fathul Bari: 1/572)
13. Tidak mengikuti imam (pada posisi yang sama) ketika datang terlambat baik ketika imam sedang duduk atau sujud.
Sikap yang dibenarkan bagi seseorang yang memasuki masjid adalah segera mengikuti imam pada posisi bagaimanapun, baik dia sedang sujud atau yang lainnya.
14. Seseorang bermain dengan pakaian atau jam atau yang lainnya.
Hal ini mengurangi kekhusyu'an. Rasulallah صلى الله عليه وسلم melarang mengusap krikil selama shalat, karna dapat merusak kekhusyu'an, Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jika salah seorang dari kalian sedang shalat, cegahlah ia untuk tidak menghapus krikil sehingga ampunan datang padanya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
15. Menutup mata tanpa alasan
Hal ini makruh sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, "Menutup mata buka dari sunnah rasul صلى الله عليه وسلم". Yang terbaik adalah, jika membuka mata tidak merusak kekhusyu'an shalat, maka lebih baik melakukannya. Namun jika hiasan, ornament dsn sebagainya disekitar orang yang shalat atau antara dirinya dengan kiblat mengganggu konsentrasinya, maka dipoerbolehkan menutup mata. Namun demikian pernyataan untuk melakukan hal itu dianjurkan (mustahab) pada kasus ini. Wallahu A'lam.
16. Makan atau minum atau tertawa.
"Para ulama berkesimpulan oragn yang shalat dilarang makan dan minum. Juga ada kesepakatan diantara mereka bahwa jika seseorang melakukannya dengan sengaja maka ia harus mengulang shalatnya.
17. Mengeraskan suara hingga mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Ibnu Taimuiyah menyatakan, "Siapapun yang membaca Al-Qur'an dan orang lain sedang shlat sunnah, maka tidak dibenarkan baginya untuk membacanya dengan suara keras karean akan mengganggu mereka. Sebab, Nabi صلى الله عليه وسلم pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya ketika merika shalat ashar dan Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, "Hai manusia setip kalian mencari pertolongan dari Robb kalian. Namun demikian, jangan berlebihan satu sama lain dengan bacaan kalian".
18. Menyela di antara orang yang sedang shalat.
Perbuatan ini teralarang, karena akan mengganggu. Orang yang hendak menunaikan shalat hendaknya shalat pada tempat yang ada. Namun jika ia melihat celah yang memungkinkan baginya untuk melintas dan tidak mengganggu, maka hal ini di perbolehkan. Larangan ini lebih ditekankan pada jama'ah shalat Jum'at, hal ini betul-betul dilarang. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda tentang merka yang melintasi batas shalat, "Duduklah! Kamu mengganggu dan terlambat datang".
19. Tidak meluruskan shaf.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, "Luruskan shafmu, sesungguhnya meluruskan shaf adalah bagian dari mendirikan shalat yang benar" (HR. Bukhari dan Muslim).
20. Mengangkat kaki dalam sujud.
Hal ini bertentangan dengan ynag diperintahkan sebagaimana diriwayatkan dalam dua hadits shahih dari Ibnu Abbas رضي الله عنه, "Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintah bersujud dengan tujuh anggota tubuh dan tidak mengangkat rambur atau dahi (termasuk hidung), dua telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki." Jadi seseorang yang shalat (dalam sujud), harus dengan dua telapak kaki menyentuk lantai dan menggerakan jari-jari kaki menghadao kiblat. Tiap bagian kaki haris menyentuk lantai. Jika diangkat salah satu dari kakinya, sujudnya tidak benar. Sepanjang dia lakukanutu dalam sujud.
21. Melatakkan tangan kiri dia atas tangan kanan dan memposisikannya di leher.
Hal ini berlawanan dengan sunnah karena Nabi صلى الله عليه وسلم meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan meletakkan keduanya di dada beliau. Ini hadits hasan dari beberapa sumber yang lemah di dalamya. Tapi dalam hubungannya saling menguatkan di antara satu dengan lainnya.
22. Tidak berhati-hati untuk melakukan sujud dengan tujuh angota tubuh(seperti dengan hidung, kedua telapak tangan, kedua lutuk dan jari-jari kedua telapak kaki).
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jika seorang hamba sujud, maka tujuh anggota tubuh harus ikut sujud bersamanya: wajah, kedu telapak tangan kedua lutut dan kedua kaki". (HR. Muslim)
23. Menyembunyikan persendian tulang dalam shalat.
Ini adala perbuatan yang tidak dibenarkan dalam shalat. Hal ini didasarkan pad sebuah hadits dengan sanad yang baik dari Shu'bah budak Ibnu Abbas yang berkata, "Aku shalat di samping Ibnu Abbas dan aku menyembunyikan persedianku." Selesai shalat di berkata, "Sesungguhnya kamu kehilangan ibumu!, karena menyembunyikan persendian ketika kamu shalat!".
24. Membunyikan dan mepermainkan antar jari-jari (tasbik) selama dan sebelum shalat.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم , "Jika salah seorang dari kalian wudhu dan pergi kemasjid untuk shalat, cegahlah dia memainkan tangannya karena (waktu itu) ia sudah termasuk waktu shalat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
25. Menjadikan seseorang sebagai imam, padahal tidak pantas, dan ada orang lain yang lebih berhak.
Merupakan hal yang penting, bahwa seorang imam harus memiliki pemahaman tentang agama dan mampu membaca Al-Qur'an dengan benar. Sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Imam bagi manusia adalah yang paling baik membaca Al-Qur'an" (HR. Muslim)
26. Wanita masuk ke masjid dengan mempercantik diri atau memakai harum-haruman.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jangan biarkan perrempuan yang berbau harum menghadiri shalat isya bersama kita." (HR. Muslim)
27. Shalat dengan pakaian yang bergambar, apalagi gambar makhluk bernyawa.
Termasuk pakaian yang terdapat tulisan atau sesuatu yang bisa merusak konsentrasi orang yang shalat di belakangnya.
28. Shalat dengan sarung, gamis dan celana musbil melebihi mata kaki).
Banyak hadits rasulallah صلى الله عليه وسلم yang meyebutkan larangan berbuat isbal diantaranya :
A. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda : sesungguhnya allah tidak menerima shalat seseorang lelaki yang memakain sarung dengan cara musbil." (HR. Abu Dawud (1/172 no. 638)
B. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda : Allah عزوجل tidak (akan) melihat shalat seseorang yang mengeluarkan sarungnya sampai kebawah (musbil) dengan perasaan sombong." (Shahih Ibnu Khuzaimah 1/382)
C. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda : "Sarung yang melebihi kedua mata kaki, maka pelakunya di dalam neraka." (HR.Bukhari : 5887)
29. Shalat di atas pemakaman atau menghadapnya.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم berabda, "Jangan kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena sesungguhnya aku telah melarang kalian melakukan hal itu." (HR. Muslim : 532)
30. Shalat tidak menghadap ke arah sutrah (pembatas).
Nabi صلى الله عليه وسلم melarang perbuatan tersebut seraya bersabda : "Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekati sutahnya sehingga setan tidak dapat memutus shalatnya. (Shahih Al-Jami' : 650)
Inilah contoh perbuatan beliau صلى الله عليه وسلم "Apabila beliau صلى الله عليه وسلم shalat di temapt terbuka yang tidak ada seorangpun yang menutupinya, maka beliau menamcapkan tombak di depannya, lalu shalat menghadap tombak tersebut, sedang para sahabat bermakmum di belakangnya. Beliau صلى الله عليه وسلم tidak membiarkan ada sesuatu yang lewat di antara dirinya dan sutrah tresebut." Shifat Shalat Nabi صلى الله عليه وسلم, karya Al-Albani (hal : 55)
Dirangkum dari
"40 Kesalahan Shalat oleh Syaikh Muhammad Jibrin & Al Qaulu Mubin fi Akhthail Mushallin, Syaikh Mansyhur Hasan Salman.
Dan Diterbikan Oleh Al-Amin Publising
(HR. An Nasa'I : 463)
Banyak orang yang lalai dalam shalat, tanpa sengaja melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahuinya, yang mungkin bisa memubat amalan shalatnya tidak sempurna.
kami akan paparkan kesalahan yang sering terjadi dalam shalat.
1. Menunda–nunda Shalat dari waktu yang telah ditetapkan
Hal ini merupakan pelanggaran berdasarkan firman Allah عزوجل ,
, "Sesungguhnya shalat suatu kewajiban yang telah ditetepkan waktunya bagi orang-orang beriman". (QS. An-Nisa : 103)
2. Tidak shalat berjamah di masjid bagi laki-laki
Rasullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Barang siapa yang mendengar panggilan (azan) kemudina tidak menjawabnya (dengan mendatangi shalat berjamaah), kecuali uzur yang dibenarkan". (HR. Ibnu Majah Shahih) Dalam hadits bukhari dan Muslim disebutkan. "Lalu aku bangkit (setelah shalat dimulai) dan pergi menuju orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, kemudian aku akan membakar rumah-rumah mereka hingga rata dengan tanah."
3. Tidak tuma'minah dalam shalat
Makna tuma'minah adalah, seseorang yang melakukan shalat, diam (tenang) dalam ruku'.i'tidal,sujud dan duduk diantara dua sujud. Dia harus ada pada posisitersebut, dimana setiap ruas-ruas tulang ditempatkan pada tempatnya yang sesuai. Tiak boleh terburu-buru di antara dua gerakan dalam shalat, sampai dia seleasi tuma'ninah dalam posisi tertentu sesuai waktunya. Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda kepada seseorang yang tergegesa dalam shalatnya tanpa memperlihatkan tuma;minah dengan benar, "Ulangi shalatmu, sebab kamu belum melakukan shalat."
4. Tidak khusu' dalam shalat, dan melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan di dalamnya.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya, seseorang beranjak setelah megnerjakan shalatnya dan tidak ditetapkan pahala untuknya kecuali hanya sepersepuluh untuk shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau setangah darinya. " (HR. Abu Dawud, Shahih) mereka tidak mendapat pahala shlatnya dengan sempurna disebabkan tidak adanya kekhusyu'an dalam hati atau melakukan gerakan-gerakan yang melalaikan dalam shalat.
5. Sengaja mendahului gerakan iman atau tidak mengikuti gerakan-gerakannya.
Perbuatan ini dapat membatalkan shalat atau rakaat-rakaat. Merupakan suatu kewajiban bagi mukmin untuk mengikuti imam secara keseluruhan tanpa mendahuluinya atau melambat-lambatkan sesudahnya pada setiap rakaat shalat. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti keseluruhannya. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan bertakbir sampai imam bertakbir, dan jika dia ruku' maka ruku'lah dan jangan ruku' sampai imam ruku' ". (HR. Bukhari)
6. Berdiri untuk melngkapi rakaat yang tertinggal sebelum imam menyelesaikan tasyahud akhir dengan mengucap salam ke kiri dan kekanan
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jangan mendahuluiku dalam ruku', sujud dan jangan pergi dari shalat (Al-Insiraf)". Para ulama berpedapat bahwa Al-Insiraf, ada pada tasyahud akhir. Seseorang yang mendahului imam harus tetap pada tempatnya sampai imam menyelesaikan shalatnya (sempurna salamnya). Baru setalah itu dia berdiri dan melengkapi rakaat yang tertinggal.
7. Melafadzkan niat.
Tidak ada keterangan dari nabi صلى الله عليه وسلم maupun dari para sahabat bahwa meraka pernah melafadzkan niat shalat. Ibnul Qayyim rmh menyatakan dalam Zadul-Ma'ad "Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم berdiri untuk shalat beliau mengucapkan "Allahu Akbar", dan tidak berkata apapun selain itu. Beliau صلى الله عليه وسلم juga tidak melafalkan niatnya dengan keras.
8. Membaca Al-Qur'an dalam ruku' atau selama sujud.
Hal ini dilarang, berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas رضي الله عنه, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, "saya telah dilarang untuk membaca Al-Qur'an selama ruku' atau dalam sujud." (HR. Muslim)
9. Memandang keatas selama shalat atau melihat ke kiri dan ke kanan tanpa alasan tertentu.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Cegalah orang-orang itu untuk mengangkat pandangan keatas atau biarkan pandangan mereka tidak kembali lagi". (HR. Muslim)
10. Melihat ke sekeliling tanpa ada keperluan apapun.
Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنها, bahwa ia berkata, "Aku berkata kepada Rasulallah صلى الله عليه وسلم tentang melihat ke sekeliling dalam shalat Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, "Itu adalah curian yang sengaja dibisikan setan pada umat dalam shalatnya". (HR. Bukhari)
11. Seorang wanita yang tidak menutupi kepala dan kakinya dalam shalat.
Sabda Rasulallah صلى الله عليه وسلم, "Allah tidak menerima shalat wania yang sudah mencapai usia-haid, kecuali jiak dia memakai jilbab (khimar)". (HR. Ahmad)
12. Berjalan di depan orang yang shalat baik orang yang dilewati di hadapanya itu sebagai imam, maupun sedang shalat sendirian dan melangka (melewati) di antara orang selama khutbah shalat Jum'at.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jika orang yang melintas didepan orang yang sedang shalat mengetahui betapa beratnya dosa baginya melakukan hal itu, maka akan lebih baik baginya untuk menunggu dalam hitungan 40 tahun dari pada berjalan didepan orang shalat itu". (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun lewat diantara shaf orang yang sedang shalat berjamaah, maka hal itu diperbolehkan menurut jumhur bedasarkan hadits Ibnu Abbas رضي الله عنه : "Saya datang dengan naik keledai, sedang saya pada waktu itu mendekati baligh. Rasulallah صلى الله عليه وسلم sedang shalat bersama orang –orang Mina menghadap kedinding. Maka saya lewat didepan sebagian shaf, lalu turun dan saya biarkan keledai saya, maka saya masuk kedalam shaf dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan saya". (HR. Al-Jamaah). Ibnu Abdil Barr berkata, "Hadits Ibnu Abbas ini menjadi pengkhususan dari hadits Abu Sa'id yang berbunyi "Jika salah seorang dari kalian shalat, jangan biarkan seseorangpun lewat didepannya". (Fathul Bari: 1/572)
13. Tidak mengikuti imam (pada posisi yang sama) ketika datang terlambat baik ketika imam sedang duduk atau sujud.
Sikap yang dibenarkan bagi seseorang yang memasuki masjid adalah segera mengikuti imam pada posisi bagaimanapun, baik dia sedang sujud atau yang lainnya.
14. Seseorang bermain dengan pakaian atau jam atau yang lainnya.
Hal ini mengurangi kekhusyu'an. Rasulallah صلى الله عليه وسلم melarang mengusap krikil selama shalat, karna dapat merusak kekhusyu'an, Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jika salah seorang dari kalian sedang shalat, cegahlah ia untuk tidak menghapus krikil sehingga ampunan datang padanya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
15. Menutup mata tanpa alasan
Hal ini makruh sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, "Menutup mata buka dari sunnah rasul صلى الله عليه وسلم". Yang terbaik adalah, jika membuka mata tidak merusak kekhusyu'an shalat, maka lebih baik melakukannya. Namun jika hiasan, ornament dsn sebagainya disekitar orang yang shalat atau antara dirinya dengan kiblat mengganggu konsentrasinya, maka dipoerbolehkan menutup mata. Namun demikian pernyataan untuk melakukan hal itu dianjurkan (mustahab) pada kasus ini. Wallahu A'lam.
16. Makan atau minum atau tertawa.
"Para ulama berkesimpulan oragn yang shalat dilarang makan dan minum. Juga ada kesepakatan diantara mereka bahwa jika seseorang melakukannya dengan sengaja maka ia harus mengulang shalatnya.
17. Mengeraskan suara hingga mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Ibnu Taimuiyah menyatakan, "Siapapun yang membaca Al-Qur'an dan orang lain sedang shlat sunnah, maka tidak dibenarkan baginya untuk membacanya dengan suara keras karean akan mengganggu mereka. Sebab, Nabi صلى الله عليه وسلم pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya ketika merika shalat ashar dan Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, "Hai manusia setip kalian mencari pertolongan dari Robb kalian. Namun demikian, jangan berlebihan satu sama lain dengan bacaan kalian".
18. Menyela di antara orang yang sedang shalat.
Perbuatan ini teralarang, karena akan mengganggu. Orang yang hendak menunaikan shalat hendaknya shalat pada tempat yang ada. Namun jika ia melihat celah yang memungkinkan baginya untuk melintas dan tidak mengganggu, maka hal ini di perbolehkan. Larangan ini lebih ditekankan pada jama'ah shalat Jum'at, hal ini betul-betul dilarang. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda tentang merka yang melintasi batas shalat, "Duduklah! Kamu mengganggu dan terlambat datang".
19. Tidak meluruskan shaf.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, "Luruskan shafmu, sesungguhnya meluruskan shaf adalah bagian dari mendirikan shalat yang benar" (HR. Bukhari dan Muslim).
20. Mengangkat kaki dalam sujud.
Hal ini bertentangan dengan ynag diperintahkan sebagaimana diriwayatkan dalam dua hadits shahih dari Ibnu Abbas رضي الله عنه, "Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintah bersujud dengan tujuh anggota tubuh dan tidak mengangkat rambur atau dahi (termasuk hidung), dua telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki." Jadi seseorang yang shalat (dalam sujud), harus dengan dua telapak kaki menyentuk lantai dan menggerakan jari-jari kaki menghadao kiblat. Tiap bagian kaki haris menyentuk lantai. Jika diangkat salah satu dari kakinya, sujudnya tidak benar. Sepanjang dia lakukanutu dalam sujud.
21. Melatakkan tangan kiri dia atas tangan kanan dan memposisikannya di leher.
Hal ini berlawanan dengan sunnah karena Nabi صلى الله عليه وسلم meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan meletakkan keduanya di dada beliau. Ini hadits hasan dari beberapa sumber yang lemah di dalamya. Tapi dalam hubungannya saling menguatkan di antara satu dengan lainnya.
22. Tidak berhati-hati untuk melakukan sujud dengan tujuh angota tubuh(seperti dengan hidung, kedua telapak tangan, kedua lutuk dan jari-jari kedua telapak kaki).
Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jika seorang hamba sujud, maka tujuh anggota tubuh harus ikut sujud bersamanya: wajah, kedu telapak tangan kedua lutut dan kedua kaki". (HR. Muslim)
23. Menyembunyikan persendian tulang dalam shalat.
Ini adala perbuatan yang tidak dibenarkan dalam shalat. Hal ini didasarkan pad sebuah hadits dengan sanad yang baik dari Shu'bah budak Ibnu Abbas yang berkata, "Aku shalat di samping Ibnu Abbas dan aku menyembunyikan persedianku." Selesai shalat di berkata, "Sesungguhnya kamu kehilangan ibumu!, karena menyembunyikan persendian ketika kamu shalat!".
24. Membunyikan dan mepermainkan antar jari-jari (tasbik) selama dan sebelum shalat.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم , "Jika salah seorang dari kalian wudhu dan pergi kemasjid untuk shalat, cegahlah dia memainkan tangannya karena (waktu itu) ia sudah termasuk waktu shalat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
25. Menjadikan seseorang sebagai imam, padahal tidak pantas, dan ada orang lain yang lebih berhak.
Merupakan hal yang penting, bahwa seorang imam harus memiliki pemahaman tentang agama dan mampu membaca Al-Qur'an dengan benar. Sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Imam bagi manusia adalah yang paling baik membaca Al-Qur'an" (HR. Muslim)
26. Wanita masuk ke masjid dengan mempercantik diri atau memakai harum-haruman.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, "Jangan biarkan perrempuan yang berbau harum menghadiri shalat isya bersama kita." (HR. Muslim)
27. Shalat dengan pakaian yang bergambar, apalagi gambar makhluk bernyawa.
Termasuk pakaian yang terdapat tulisan atau sesuatu yang bisa merusak konsentrasi orang yang shalat di belakangnya.
28. Shalat dengan sarung, gamis dan celana musbil melebihi mata kaki).
Banyak hadits rasulallah صلى الله عليه وسلم yang meyebutkan larangan berbuat isbal diantaranya :
A. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda : sesungguhnya allah tidak menerima shalat seseorang lelaki yang memakain sarung dengan cara musbil." (HR. Abu Dawud (1/172 no. 638)
B. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda : Allah عزوجل tidak (akan) melihat shalat seseorang yang mengeluarkan sarungnya sampai kebawah (musbil) dengan perasaan sombong." (Shahih Ibnu Khuzaimah 1/382)
C. Rasulallah صلى الله عليه وسلم bersabda : "Sarung yang melebihi kedua mata kaki, maka pelakunya di dalam neraka." (HR.Bukhari : 5887)
29. Shalat di atas pemakaman atau menghadapnya.
Rasulallah صلى الله عليه وسلم berabda, "Jangan kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena sesungguhnya aku telah melarang kalian melakukan hal itu." (HR. Muslim : 532)
30. Shalat tidak menghadap ke arah sutrah (pembatas).
Nabi صلى الله عليه وسلم melarang perbuatan tersebut seraya bersabda : "Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekati sutahnya sehingga setan tidak dapat memutus shalatnya. (Shahih Al-Jami' : 650)
Inilah contoh perbuatan beliau صلى الله عليه وسلم "Apabila beliau صلى الله عليه وسلم shalat di temapt terbuka yang tidak ada seorangpun yang menutupinya, maka beliau menamcapkan tombak di depannya, lalu shalat menghadap tombak tersebut, sedang para sahabat bermakmum di belakangnya. Beliau صلى الله عليه وسلم tidak membiarkan ada sesuatu yang lewat di antara dirinya dan sutrah tresebut." Shifat Shalat Nabi صلى الله عليه وسلم, karya Al-Albani (hal : 55)
Dirangkum dari
"40 Kesalahan Shalat oleh Syaikh Muhammad Jibrin & Al Qaulu Mubin fi Akhthail Mushallin, Syaikh Mansyhur Hasan Salman.
Dan Diterbikan Oleh Al-Amin Publising
Langganan:
Postingan (Atom)