Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, keponakan saya ada masalah dengan rumah tangganya. Saat ini dalam situasi yang perlu mendapat pandangan agar dapat diselesaikan dengan jalan yang baik dan benar, terutama menurut agama.
Mereka menikah 2 tahun yang lalu. Setengah tahun usia pernikahan itu, mereka menghadapi goncangan karena suami tidak dapat mengendalikan perkataannya yang mengatakan istrinya "Pelacur" saat ada perselisihan kecil. Bahkan saat istrinya mengandung pernah melontarkan perkataan bahwa "Janin yang dikandung itu mungkin bukan anaknya". Menurut cerita, kata-kata tersebut sangat menyakitkan hati keponakan saya, sehingga hampir setiap hari ada perselisihan dan pertengkaran. Pada puncaknya orang tua terlibat dalam masalah tersebut. Di hadapan Orang Tua Wanita, sang suami mengatakan bahwa dirinya menceraikan istrinya. Saat itu istrinya sedang hamil.
Mereka pisah rumah, dan sepakat akan menyelesaikan secara hukum dan agama setelah kelahiran anaknya.
Suami tidak lagi membiayai istrinya, bahkan biaya kelahiran anaknya dan semua biaya sampai saat ini dipikul oleh istri dan orang tuanya. Setelah kelahiran anaknya suami tidak pernah memberikan nafkah lahir dan bathin. Tapi dia tidak mau melanjutkan proses perceraian. Bahkan pernah mengancam akan membanting bayinya atau membawa lari. Hal itu tentu sangat menyusahkan dan membuat ketakutan istrinya dan keluarga lainnya. Suami baru mau melanjutkan proses perceraian jika diberi ganti rugi dalam bentuk materi dan uang. Katanya aturan itu ada dalam agama, sebab yang minta cerai pihak wanita. Sebagai tambahan dapat diinformasikan bahwa uang yang diserahkan pihak lelaki saat akan pernikahan juga sudah diambil kembali untuk modal usaha sang suami.
Sampai saat ini, rumah tangga mereka dalam status yang tidak ada kepastian, sementara keluarga telah mencoba untuk merukunkan mereka kembali tapi si wanita sudah sangat trauma dengan rangkaian kejadian yang secara tidak nyaman dialaminya dan begitu menakutkan. Apalagi bila suaminya datang, selalu saja timbul keributan. Sang isteri pun merasa terancam.
Mereka telah memiliki seorang putera yang sekarang berusia 1 tahun.
Rumah dan semua harta benda yang dimiliki oleh istri adalah miliknya sendiri dari orang tua istri. Mohon pandangan dari Ustadz.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
X - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, masalah yang dihadapi keponakan Anda sangat kompleks dan rumit, dan hal ini semakin menipiskan harapan bagi kedua belah pihak (suami-isteri) untuk berdamai kembali. Tapi bukan berarti hal itu tidak mungkin, hanya saja upaya untuk mempersatukan mereka kembali membutuhkan adanya komitmen yang kuat dari kedua belah pihak (terutama suami) untuk merajut kembali benang-benang cinta yang telah terurai, menambah kekurangan-kekurangan yang ada, serta memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Rumitnya masalah tersebut disebabkan karena suami telah melakukan sejumlah pelanggaran berat yang tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim terhadap isterinya. Bahkan bila pelanggaran-pelanggaran seperti itu memang benar dilakukan oleh suami keponakan Anda, maka terus terang saya berani mengatakan bahwa dia bukan tipe suami yang baik atau shaleh, yang patut untuk dijadikan sebagai teman hidup. Sebab suami yang baik tidak mungkin tega untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan juga nilai-nilai kemanusiaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang saya maksud adalah:
1. Dia telah menganggap isterinya sendiri sebagai pelacur atau menganggap anak yang dikandung isterinya bukan anaknya yang sah, tanpa bukti-bukti yang kuat. Ini berarti bahwa dia menuduh isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Meskipun terlihat begitu ringan kata-kata tersebut keluar dari mulut (begitu mudahnya diucapkan), tetapi ia memiliki dampak hukum yang luar biasa.
Dalam Islam, bila seorang Muslim menuduh orang lain berbuat zina, maka dia harus bisa membuktikannya dengan mendatangkan empat orang saksi. Bila tidak, maka dia sendiri yang akan terancam hukuman had (dicambuk sebanyak 80 kali). Allah swt. berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.” (QS. An-Nuur [24]: 4)
Hukum seperti ini semestinya juga berlaku dalam hubungan antara suami isteri. Hanya saja karena rahmat Allah, Allah memberikan alternatif solusi yang bertujuan agar suami yang melakukan hal seperti itu tidak dikenai hukuman had tersebut. Alternatif yang dimaksud adalah Li’an. Li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami, bahwa isterinya telah berzina dengan orang lain, atau bahwa suami menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya. Setelah suami mengucapkan sumpah seperti itu, maka sang isteri pun diminta untuk bersumpah bahwa tuduhan suaminya itu tidak benar.
Hukum li’an ini telah dijelaskan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur [24]: 6-9).
Bila kedua belah pihak sudah sama-sama mengucapkan sumpah, maka berlakulah hukum-hukum sebagai berikut:
- Kedua belah pihak (suami-isteri) harus diceraikan.
- Keduanya diharamkan untuk rujuk kembali.
- Wanita yang melakukan li’an berhak memiliki mahar.
- Anak yang lahir dari isteri yang melakukan li’an harus diserahkan kepada isteri (ibunya).
- Isteri yang melakukan li’an berhak menjadi ahli waris anaknya, dan demikian pula sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah bahwa perkataan yang begitu mudahnya keluar dari mulut suami keponakan Anda itu ternyata bukan perkataan yang sepele, melainkan perkataan yang memiliki dampak hukum yang sangat besar. Oleh karena itu, maka kita pun dituntut untuk berhati-hati terhadapnya.
2. Suami telah melanggar janji (ikrar) yang telah diucapkannya atau ditandatanginya sesaat setelah melakukan akad nikah. Ikrar tersebut dapat dilihat pada sighat ta’lik talak yang dicantumkan dalam buku nikah. Bunyi sighat ta’lik tersebut adalah sebagai berikut:
“Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
- Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,
- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
- Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,
- Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,
kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)
Minggu, 18 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar