Kamis, 03 Desember 2009

Istri Sholehah & Kekerasan Rumah Tangga

Oleh Saudaraku :
Sasa Esa Agustiana

Kekerasan dalam rumah tangga...??
hmm..apa ya bentuk2nya? dan solusinya?
Sebuah Renungan Bersama...'Notes Ringan'

Yuk lihat sisi baik pasangan!
Pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, suami sebagai qawwam mampu menasihati dan memperingatkan nusyuz istri dengan penuh kasih sayang.Marilah kita renungkan keterangan Rasulullah saw. yang mengingatkan pada pria bahwa wanita diperlakukan dengan lembut, "Berwasiatlah kepada wanita dengan baik karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Jika engkau paksa meluruskannya pasti engkau akan mematahkannya, tapi jika engkau membiarkannya tentu akan tetap bengkok, berwasiatlah kepada wanita dengan baik." (H.R. Bukhari)

Berikan Kewajiban Nafkah Terbaik
Tak jarang kekerasan menjelma dalam bentuk tekanan secara ekonomi, maksudnya istri sulit memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, karena jumlah penghasilan suami (tetap atau tidak tetap) tidak pernah utuh, sampai di tangan istri (& anak). Suami sama sekali tidak pernah mengajak istri memanage keuangan, banyak pengeluaran di belakang istri, kikir kepada istri, boros di luar sepengetahuan istri, atau berfoya-foya di luar istri, berhutang di belakang istri, memberi pada keluarga sendiri tanpa musyawarah dengan istri,sedangkan dia malaham tidak suka memberi kepada keluarga istrinya.

Harus diakui bahwa kewajiban nafkah memang berasal dari suami, "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. (Q.S. An-Nisa 4: 34), ini harus dicatat bahwa suami tidak serta-merta dapat semena-mena menjatah istri, karena telah merasa kedudukannya lebih kuat di atas istri, seolah istri berhutang budi karena telah dinafkahi suami. Padahal Allah mengatur bahwa nafkah adalah hak istri dan kewajiban suami. Amanat Allah dalam mitsaqan ghaliza (perjanjian yg amat agung antara suami, istri di depan Allah, sekarang dan kelak di akherat) antara lain untuk memberi sandang,pangan papan (yang terbaik, sesuai dgn kemampuan suami tentunya).

Seyogianya, suami yang bertakwa justu selalu berusaha mencukupi sekuat tenaga ekonomi keluarga, meliputi istri dan anak. Berusaha mencukupi pemberian sandang, pangan, dan papan yang terbaik yang dia mampu usahakan. Tidaklah ma'ruuf sampai tega menyalurkan dana tanpa ada musyawarah, suka-suka sendiri mengatur keuangan, dengan maksud kikir, hitungan pada istri sendiri, dibuat istri dan anak tergantung secara material pada suami tanpa diberi keleluasaan untuk memange dan mengembangkan finansial keluarga untuk operasional rumah tangga, infaq, kesehatan, pendidikan, dst..

Sekarang banyak contoh kasus nusyuz suami, karena sang istri kesulitan untuk membiayai rumah tangganya disebabkan suami tidak transparan alias kikir pada keluarga yang menjadi tanggungannya.

Dahulu pun ada contohnya, sbb: Aisyah berkata bahwa Hindun bintu Utbah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang kikir, ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku sehingga aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya." Rasulullah bersabda, "Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik. (H.R. Bukhari dan Muslim). Digambarkan bahwa istri sampai terpaksa mengambil sendiri tanpa sepengetahuan suami, masih dapat dibolehkan Rasulullah saw., untuk mengatasi sekadar yang diperlukan.

Keterangan dalam dua hadis lain menegaskan bahwa istri merupakan amanat di hadapan Allah swt., amanat memberi makan dan pakaian yang terbaik. Dari Umar bin al-Ahwash al- Jasyimi r.a., sesungguhnya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda,
"Bertakwalah kalian kepada Allah tentang istri karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian halal bergaul dengan mereka dengan kalimat Allah dan kewajiban kalian kepada mereka adalah memberi makan dan pakaian dengan cara yang baik." (H.R. Ibnu Majah)

Selanjutnya, dari Hakim bin Mu'awiyah dari bapaknya r.a. berkata kepada Rasulullah saw., "Apakah kewajiban suami kepada istrinya?? Ia menjawab, "Memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, dan janganlah memukul wajah, jangan menjelek-jelekkannya dan janganlah meninggalkannya (di waktu marah) kecuali masih dalam rumah." (H.R. Ahmad)

Jalinan komunikasi
Setelah menikah, kecenderungan berkomunikasi straight to the point (langsung) tak jarang yang berbentuk kalimat perintah, berita, atau sekadar basa basi. Ini merupakan atmosfer tidak sehat yang mengarah pada kekerasan verbal dan nonverbal. Kekerasan verbal misal mengumbar kata cerai, memaki pasangan, mengeluarkan kata-kata yang menyakiti pasangan, atau kata-kata ancaman. Kekerasan nonverbal misalnya bahasa tubuh menjauh, memusuhi pasangan, dingin tidak melayani pasangan (kekerasan seksual), ringan tangan, jarang pulang, acuh, cuek, dan diam seribu bahasa. Seiring hati dan pikiran tidak tertuju pada pasangan, tidak diisi dengan rasa kangen, tidak cemburu (dayuts), masa bodoh, seperlunya, dan akhirnya nafsi-nafsi (masing-masing) seperti dua orang asing yang saling menjaga area agar tidak diintervensi. Padahal, seharusnya istri dan suami ibarat ladang yang saling menutupi kelebihan dan kekurangan masing-masing. (lihat Q.S. Al Baqarah 2: 223).

Wujud komunikasi yang terbaik secara nonverbal misalnya ungkapan belaian cinta-kasih sayang, penuh perhatian, sikap lembut, yang dibumbui dengan kata-kata verbal langsung penuh keikhlasan, berupa panggilan mesra, tatapan penuh gelora yang menggetarkan kalbu menembus hati, dan kata-kata rayuan sanjungan pada pasangan yang bisa membuat hati melayang,
sebagai pupuk rasa mawaddah timbal balik diusahakan oleh suami dan istri (cinta pasca nikah) dan rahmah (melibatkan mereka ingat akan karunia kasih sayangNya).

Jangan heran..., jika banyak rumah tangga yang terasa hambar karena jarang, irit, dan pelit mengungakapkan rasa suka dan duka, ketakutan, harapan, dan cita-cita, lebih betah di luar rumah, safar tanpa mau mengajak pasangan, sengaja membuka komunikasi dengan pihak ketiga, berhubungan intim (zina) dengan pasangan selingkuhnya.

Padahal, pasangan adalah orang yang semestinya paling awal menetahui masalah yang dihadapi pasangannya, bukan lah orang lain. Walaupun begitu, sikap overprotektif dan introvert tidak akan membawa manfaat dalam rumah tangga karena ada sisi ketidakpercayaaan pada pasangan atau masih ada dusta dan sisi gelap yang tidak ingin diketahui pasangan. Sebaiknya dengan sadar ia mesti belajar empati menjaga perasaan pasangannya, ada keberpihakan pada sudut pandang pasangannya yang tidak nyaman bila pasangannya sengaja menimbulkan kecemburuan, terutama dengan menata, memanage pergaulan ba'da nikah untuk menjaga hijab dengan lawan jenisnya, sertakanlah pasangan untuk mengenal akrab dengan kawan pasangannya. Lebih intensif berbagi suka dan duka pada pasangannya.

Bukan berarti... tidak boleh berteman dengan selain pasangannya, tetapi paling fundamental, kemana pun kita berada selalu merasa ada dalam pantauan Allah swt., maka kita insyaAllah telah preventif sebagaimana dalam arahan jangan mendekati zina, Q.S. Al-Isra :32, Q.S. an-nur 30-31, untuk menjaga pandangan, aurat dan farji.
Sakinah akan diraih bila komunikasi yang sehat dibangun berlandaskan ihsan dan kejujuran, tak ada dusta, tak ada pengkhianatan, mengingatkan sebatas amar ma'ruf nahyi mungkar.

Bila ada yang mengalami KDRT selesaikan dengan musyawarah keluarga, tawakal dan menyerahkan semua pada Allah swt. Dia sebagai penggenggam hati makhluk-Nya. InsyaAllah akan memberi jalan keluar yg terbaik Q.S. Ath thalaaq :2-3. Silahkan apakah akan berpisah atau melanjutkan? Apabila berpisah maka patuhilah (Q.S. 65:1), (Q.S. 2:231-232), (Q.S. 4:128).

Maka, bila bertahan tetap bersama peganglah aturan Q.S (at-taghabun 64 :14-15), yaitu perkuatlah diri dengan selau harus mampu berhati-hati akan tipu daya kezaliman pasangannya, kuat rasa maafnya, hatinya selalu mendokan memohon ampunan untuk pasangannya,sadar akan ujian hidupnya, dan mengejar pahala disisi Allah lebih utama, dibanding bersama dengan pasangannya, ia berinfaq untuk dirinya sendiri dengan tawakal menerima type rumah tangganya tersebut.

Sekali lagi akhirnya, marilah kita renungkan keterangan Rasulullah saw. yang mengingatkan pada pria (suami) bahwa wanita (istri) diperlakukan dengan lembut, "Berwasiatlah kepada wanita dengan baik karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Jika engkau paksa meluruskannya pasti engkau akan mematahkannya, tapi jika engkau membiarkannya tentu akan tetap bengkok, berwasiatlah kepada wanita dengan baik." (H.R. Bukhari)

Kemudian, dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku orang yang paling baik kepada istri-istriku." (H.R. Ibnu Majah).

Betapa indahnya, terbukti, Rasulullah saw. amat hafal bahasa tubuh pasangannya, memanjakan dengan pangilan mesra, membantu pekerjaan pasangan, transparan dengan siapa beliau berkawan, selalu ingin didampingi istri, mengajak serta mengayuh biduk rumah tangga, ibadah, dan dakwah.

Wallahu a'lam Bishawwab ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

negeriads.com

Kegiatan Para Pecinta Qur'an & Sunnah