Oleh Saudaraku :
Malki Ahmad Nasir
Maret 7, 2007
Dengan disemangati oleh sebuah hadis yang begitu popular bahawa merupakan kewajiban bagi yang hadir dalam suatu majlis menuntut ilmu untuk memberitahukan ilmu yang telah didapat tersebut kepada yang orang tidak hadir. Karena itu dengan inisiatif sendiri, alangkah baiknya jikalau saya melakukan dengan membuat dalam sebuah tulisan tentang apa yang telah didengar dan disimak, khususnya perbincangan dalam majlis ilmu tersebut. Dengan begitu, tulisan ini mungkin juga merupakan kontemplasi dari apa yang saya dengar, walapun tetap merujuk ke teks aslinya, walau ada pemikiran dan opini dari saya terhadap laporan ini.
Diskusi sabtuan INSIST Malaysia kali ini (7 Maret 2007) menghadirkan Dr. Hamid Zarkasi dengan membawa tajuk “Kritik terhadap Gagasan “Pembaharuan” Pemikiran Islam di Indonesia (Merujuk kepada Pemikiran Nurcholish Majid)” dengan mengatakan bahwa diskusi tentang isu ini bukan sebagai usaha mengangkat kembali isu yang telah dianggap basi dan selesai, yang tentunya bagi sebagian orang selalu dikatakan tidak menarik, mungkin perlu juga kita sebagai umat Islam membaca sejarah semangat para Ulama dulu dalam menuntut ilmu, tidak kira mereka sibuk dengan bekerja, berdagang, ataupun kesulitan keuangan yang carut-marut ataupun karena tekanan politik rejim pada masa itu. Yang jelas konsep minal mahdi ilal lahdi telah menyeresap pada jiwa mereka, misalnya Jahiz pengarang kitab Al-Bukhala yang terkenal itu adalah seorang pedagang roti berketurunan Afrika-Arab, ia mati karena tertindih oleh buku-bukunya, dan sebagian buku-bukunya telah diterjemahkan misalnya kitab Al-Bukhala oleh orientalis dari Skotlandia R.B.Serjeant, disebutkan penterjemah ini matinya dengan memegang buku karya Jahiz tersebut. Begitu juga Imam Ibn Taymiyyah yang hidup dalam situasi politik yang carut-marut, ia tidak pernah meninggalkan belajar dan menuntut ilmu, malah magnum opusnya ditulis pada waktu situasi yang menentu, Imam Syafi‘i adalah seorang yatim dan miskin tapi kecintaannya terhadap Ilmu tidak merasa terhalang, begitu juga Abul Hasan al-Tamimi, seorang ulama fikih madhab syafi‘I, adalah seorang yang buta tapi tidak mejadi penghambat ber-talabul-ilmu, tidak juga karena ia kaya dan mendapat rijki yang lebih dari yang lain, menutup diri untuk terus belajar, misalnya Ibn Hazam dan Ibn Khaldun adalah contoh yang baik, malah dalam tradisi muhaddisin tentang riwayat ibn ila abin atau riwayat abin ila ibn, artinya seorang bapa tidak merasa malu belajar kepada anaknya, atau yang senior belajar ke junior, dan contoh dalam hal ini, adalah Abu Hanifah ke Imam Malik, dll.
Berbicara tentang semangat atau norma baik belajar pernah berlaku di Virginia Amerika pada Abab ke 18. di sini pun ada tradisi keilmuan dan budaya ilmu klasik yang begitu mengagumkan. Bukti dari tradisi ini adalah mampu melahirkan Benjamin Franklin, George Washington, Thomas Jefferson, John Adams, James Madison dll. sehingga budaya ilmu tersebut terefleksikan dalam tradisi seorang bapa mewasiatkan anaknya membaca buku klasik, seperti ucapan Josiah Quincy, “I leave to my son, when he shall have reach the age of fifteen, the works of Algernon Sydney, John Locke, bacon, Gardon’s Tacitus, and Cato’s Letters. May the spirit of liberty rest upon him”. (Wan Daud, 1997).
Maka, mereka belajar dan menuntut ilmu bukan untuk tujuan pragmatis sesaat seperti bisa memperoleh jawaban atas soalan-soalan yang diajukan atau mengejar sebuah kedudukan di masyarakat, tapi apa yang mereka lakukan lebih dari itu yaitu membangun tradisi ilmu atau peradaban, karena itu khususnya dalam peradaban Islam, menurut pengamatan Franz Rosenthal dalam karyanya, “Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam”, menyatakan bahwa peradaban Islam adalah dicirikan oleh Ilmu (characterized by knowledge).
Dengan demikian, jelaslah bahwa belajar dan menuntut ilmu tidak seperti meng-order pizza atau mem-book tiket yang bisa ditunggu dalam hitungan jam, hari atau bulan, malah sekarang dengan internet bisa ditunggu dalam hitungan menit. Nah, apa yang sekarang dilakukan dalam bentuk diskusi ini merupakan bagian dari membangun sebuah peradaban. Maka alasan mengangkat isu ini apalagi menyangkut dalam usaha memahami permasalahan yang sangat mendasar merupakan suatu yang signifikan, salah satu alasannya ialah karena ia berkaitan dengan world view, yang kemudian menderivasikan pada pelbagai aspek kehidupan dan juga pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan Islam yang sebenarnya. Dengan begitu, ia adalah babak baru yang seharusnya disadari dan dipahami oleh setiap orang.
Dalam diskusi kali ini ada tiga masalah yang paling mendasar (yang saya anggap) mengenai gagasan pembaharuan yang dibawa oleh NM (nurcholish Majid) yang disebut dalam makalah tersebut itu, yaitu pemahaman terhadap konsep Islam sebagai al-Din (hal. 8 dan 12), pemaknaan makna Allah sebagai Tuhan (hal. 12), dan pemahaman Islam sebagai agama yang inklusif yang berujung terhadap pemahaman pluralisme (hal 13). Disebut bermasalah, kata panulis, karena semuanya akan berkaitan dengan cara pandang atau world view terhadap al-din Islam, misalnya yang pertama, NM menyebut orang yang selalu mengaitkan al-din al-Islam sebagai identitas dirinya sebagai orang yang bersikap apologetic, keengganannya menggunakan identitas tersebut didasari oleh tiga alasan, pertama, akan melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter, kedua, akan berpendirian bahwa dengan menggarap bidang-bidang lain selain bidang spiritual an sich akan merasa tidak akan kalah dengan Barat, ketiga, akan selalu berpikir serba legalistic terhadap Islam dengan kata lain akan melahirkan sikap fikihisme. (hal. 8) Tentunya ini sejalan dengan penafsiran kata al-Islam yang baginya bukan merupakan sebagai identitas sebuah agama, tapi ia cukup ditafsirkan dengan berserah diri sahaja. (hal. 12).
Yang kedua, pemaknaan baru terhadap nama pada lafad Allah, NM menyebut bahwa nama pada lafad Allah tidak merujuk pada nama Tuhan itu sendiri secara definitif, tapi ia adalah dua kata yang digabungkan, yaitu prefix alif lam (al-) dengan kata Illah sehingga ia menjadi sebuah nama Allah, yaitu Tuhan yang sebenarnya. (hal. 12) kemudian ia merujuk pada tafsiran al-Faruqi(?), yang menurutnya, nama tersebut sudah ada dalam tradisi jahiliyyah sebagai penguasa bumi dan langit, tapi tugas-tugas fungsionalnya telah diambil alih oleh tuhan-tuhan kecil. (hal. 13)
Yang ketiga, membangun pemahaman tentang “islam yang inkusif”, sebuah istilah dan pemahaman yang diambil dari gereja yaitu “extra ecclesia nulla sallus” yang ingin mengatakan bahwa penganut selain agama kristian juga akan selamat. Mungkin karena disemangati oleh idea ini, yang jelasnya ia banyak mengatakan dengan menafsirkan al-Din al-Islam sebagai berserah diri. Dan juga bahwa umat islam perlu menafsir ulang kata “kalimah sawa” dengan sebuah pengertian baru bahwa umat Islam perlu merubah sikap terhadap penganut agama-agama lain sebagai pembawa agama yang benar. Argumentasi ini diambil dari surat al-Baqarah (62) dan al-Maidah (69). (hal 13-14). Dari sini, jelas sekali, bahwa NM dengan tidak sadar atau sesungguhnya sadar bahwa ia telah membawa paham pluralisme agama-agama. Sebab, sampai meninggalnya dan pada di setiap buku-bukunya yang diterbitkan ataupun diamanapun ia berceramah tidak pernah mengklarifikasi terhadap ucapannya, artinya tak terbantahkan jikalau ada orang yang mengatakan bahwa ia sedang melakukan program sekularisasi ataupun paham pluralismenya itu.
Lalu apa yang sebenarnya melatarbelakangi NM membuat proyek ini dan juga proyek-proyek lainnya, asumsi dan argumentasi yang paling popular tentang ini adalah karena situasi umat Islam Indonesia yang kurang berminat untuk memperjuangkan tentang lewat politik hal ini sebagaimana dalam ucapan NM, yang berikut ini, “…umat Islam tidak pernah tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan “Islam yes, partai Islam no!!!”. jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak menarik lagi…”. (hal.2 dalam makalah HZ, dalam buku NM hal. 485-486). Juga karena NM banyak terinpirasi oleh pemikir-pemikir Barat dan dengan spontannya NM berusaha untuk mengaplikasikannya, seperti mengutip kata-kata Vladimir Ilich (1870-1924) tentang “tidak ada tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner” (hal. 3), tentang kebebasan berpikir, ia mengutip pendapat seorang hakim Amerika O.W. Holmes yang mengatakan bahwa, “kebebasan berpikir adalah perdagangan bebas dalam ide-ide (free trades in ideas)” (hal. 5), dan lain-lainnya. Dan dalam analisisnya, pemateri Dr. Hamid Zakarsyi (hal. 2) mengatakan jikalau benar apa yang dikatakan NM tentang kondisi Umat Islam Indonesia yang sudah kurang tertarik memperjuangkan Islam lewat politik, maka seharusnya di era reformasi pun demikian, ada konsistensi dan koherennya, tapi kenyataannya parta-partai yang menggunakan nama Īslam banyak memperoleh suara yang cukup signifikan. Artinya alasan tersebut tidak begitu kuat untuk dipegang, sebab justru masa itu, animo umat Islam masih tetap berkeinginan berpolitik dengan partai Islam. Justru disini, muncul asumsi jangan-jangan pernyataan tersebut dimunculkan ada bisikan dari pemerintah ORBA yang baginya kekuatan ideologis umat Islam dianggap sangat membahayakan setelah hilangnya kekuatan ideology komunis (ingat setelah kejatuhan ORLA!!!), dan program de-politisasinya rejim ORBA, yang menghangguskan atau mengubah-suai orientasi partai-partai politik Islam, tapi tetap tokh apresiasi umat Islam tidak pernah menurun untuk memperjuangkan Islam lewat politik. Dengan demikian, kata HZ gambaran NM tentang penolakan terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang tidak valid.
Seterusnya, sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa NM banyak diinpirasi oleh pemikir-pemikir Barat dan tanpa berusaha melakukan kritik terhadap gagasan tersebut, misalnya gagasan perlunya pembaharuan tapi dengan semangat sekularisasi, yang tentunya setiap orang sekarang mengetahui bahwa ia diinpirasi oleh seorang theologian yang bernama Harvey Cox dalam salah satu karyanya, the secular city, kemudian juga berikutnya, ia mengatakan, “..kita harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum yang seluas mungkin, kemudian memilih diantaranya mana yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran.” (hal. 6). Jadi, bagi NM, dari manapun ide-ide itu yang penting mengandung kebenaran, dan pada saat yang sama tidak pernah dijelaskan bagaimana proses keilmuan masuk dalam ranah worldview of Islam. Karena itu, kata HZ (hal. 6) ketika NM tidak menyebut proses ini, sebenarnya ia telah merancukan antara world view Islam dan barat, sebab sangat jelas bahwa istilah dan maksud objektifitas dalam pengertian Barat akan selalu bertentangan dengan istilah dan maksud subjektifitas. Kebenaran objektif adalah kebenaran yang ditentukan menurut ukuran-ukuran social. Tentunya pandangan ini sangat bertentangan dengan world view Islam.
Namun bagi saya, NM sebenarnya telah mengalami split personality, inferiority complex, walaupun ia boleh menjadi ketua selama dua kali periode di HMI tapi selama itu ia telah mengalami kritis identitas sebagai santri, diperparah lagi dengan dibiayai beasiswa oleh semacam ford atau aminef foundation. Mungkin karena ia merasa berasal dari kampong kemudian masuk dalam masyarakat urban atau perkotaan (baca: dalam hal ini adalah budaya abangan dan priyayi) dimana ia menemukan dirinya dalam shock culture. karena perasaan ini tidak hanya dirasakan oleh generasi NM, tapi oleh generasi2 selanjutnya yang sebagian menjadi anggota JIL ataupun oleh generasi selanjutnya yang mempunyai pandangan serupa, perubahan pandangan dan pemikiran ini karena seperti yang telah disebut diatas, bisa juga karena mereka secara kultural, politikal, ekonomikal, dan pendidikan terpinggirkan dalam arus kehidupan masyarakat perkotaan. Dan masyarakat perkotaan mempunyai cara hidup tersendiri yang cenderung ke arah materialistic, trendy, mode, fashion, elitis, dsb. Sebab itu secara umum, mahasiswa yang kuliah di PT semisal IAIN atau PT-STAIN akan merasakan identitas mereka kurang mendapat perlakuan yang baik, atau kurang mendapatkan pengakuan dikalangan masyarakat perkotaan, perlakuan ini akhirnya mengakibatkan munculnya perasaan inferiority complex atau kurang GR (gede rasa). Perlakuan-perlakuan ini akhirnya membuat mereka mencari semacam pelampiasan baik secara positif atau negatif. Mungkin, bagi pelampiasan yang kearah positif itu misalnya dengan penguasaan materi-materi ilmu-ilmu sosial, filsafat dsbnya itu adalah bagus, namun pada saat yang sama, mereka juga melakukan aplikasi teori-teori ilmu-ilmu social terhadap teks-teks agama sebagai usaha aktualisasi diri mereka, atau sebagai media memasuki dunia masyarakat perkotaan. Sebab dengan cara begitu, bagi mereka, akan mendapat perhatian dan sorotan khususnya dari kalangan perkotaan. Karena itu, walau sekarang banyak lulusan doctor atau master khususnya dari universitas-universitas eropa, australia dan amerika, tapi gelar tersebut tidak menjadikan mereka confident atau GR (gede rasa) terhadap Islam, sebab tokh, pada saaat yang sama, mereka telah tersilaukan atau terpaku pada kecantikan Barat. Mungkin karena mereka (barat) menguasai khazanah Islam, seperti penguasaan bahasa Arab misalnya, sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka, akhirnya mereka merasa gemetar dan kagum tentang bagaimana mereka Barat menguasai khazanah Islam atau sumber-sumber yang behubungan dengan sejarahnya, ataupun karena mereka silau oleh materi-materi yang terrefleksikan oleh nama tokoh-tokoh barat, yang dimana-mana, berupa nama jalan, tempat, atau bangunan-bangunan, dan yang paling penting kehidupan masyarakat Barat yang kelihatannya tanpa cacat, dsb.
Dari sinilah kita paham, kasus NM dan orang-orang yang berpaham liberal sebenarnya bukan hanya karena pengaruh ini atau itu, tapi dibalik itu karena mereka telah kehilangan rasa percaya pada dirinya, salah satu alasannya adalah akibat perlakuan-perlakuan kultural masyarakat perkotaan yang diskriminatif.
Sebab itu, pada kasus NM dengan paramadinanya, dan kenapa acara-acaranya selalu diselenggarakan di hotel-hotel, dan lebih banyak melibatkan masyarakat perkotaan, tidak lain tidak bukan, karena ia ingin mendefinisikan dan memasukan Islam pada wilayah perkotaan, dengan mencoba menafsirkan Islam ala perkotaan yang variasinya trendy, mode, fashion, dsb. Yang tujuannya ia boleh merasakan kenikmatan sebagai --dalam istilah Geert- orang priyayi. Saya piker demikian. Semoga bermampaat. Wallahu a‘lam bi-sawab.
Kamis, 03 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar